Sikapnya Rapuh, Orang Indonesia Bermentalitas "Korban"

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
16 Februari 2020 10:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak orang ingin menang tapi sikapnya kalah. Inginnya maju tapi sikapnya mundur. Ingin bangsanya makmur tapi sikapnya menderita. Inginnya tidak jadi “korban” tapi sikapnya seperti “korban”. Bahkan banyak orang ingin hidupnya nyaman tapi sikapnya rusuh. Jadi, apapun terletak pada sikap. Karena sikap lebih penting daripada fakta.
ADVERTISEMENT
Dunia dilanda wabah virus corona. Omnibus Law sebentar lagi pun diundangkan. Lucinta Luna dipenjara. Bahkan, kondisi ekonomi nasional pun kurang menggembirakan. Itu semua fakta. Tinggal cara menyikapinya mau seperti apa?
Apapun yang sudah terjadi pasti sulit diubah. Apapun yang sudah dipilih pun tidak bisa diganti begitu saja. Semua ada aturannya. Karena itu semua fakta, sesuatu yang terjadi secara nyata. Maka suka tidak suka, siapapun harus menerima. Dan selanjutnya bersikap untuk menjadikannya lebih baik.
Siapapun mengakui, sikap itu lebih penting daripada fakta. Tapi sayangnya, tidak sedikit orang yang justru bersikap apriori, bikin rusuh, hingga menimbulkan prasangka buruk. Dalam setiap perilaku. Maka keadaan, tidak menjadi lebih baik. Malah lebih spekulatif.
Sikap itu bukan hal sepele.
ADVERTISEMENT
Karena sikap adalah cermin kemauan untuk berhadapan dengan realitas. Dan sikap, adalah perilaku yang didasari pada pendirian dan keyakinan positif. Sungguh, tidak ada keadaan buruk yang disikapi dengan buruk menjadi baik. Hanya sikap baik yang bisa mengubah keadaan buruk menjadi lebih baik. Sederhana sekali.
Jadi, hanya soal cara menyikapi. Hanya soal sikap.
Dari dulu, nenek moyang selalu bilang. Bahwa Indonesia itu negara yang kaya. Manusianya banyak, daratan dan lautannya luas. Sumber daya alamnya melimpah. Dan tanahnya pun subur. Gemah ripah loh jinawi, katanya. Tapi sebaliknya, Singapura atau Korea itu cuma negara yang secara geografis kecil. Bahkan sumber daya alamnya pun miskin. Tapi kenapa mereka bisa lebih maju dari Indonesia? Sungguh, yang membedakan hanya soal sikap. Pendiriannya beda, keyakinannya beda.
ADVERTISEMENT
Hanya soal sikap saja. Mau menerima atau menolak keadaan.
Sikap yang negatif, terlalu berlebihan. Semua kejadian disikapi dengan keluhan, bahkan kebencian. Sikap yang mencari kesalahan orang lain, menyalahkan keadaan. Sehingga mentalitasnya seperti “korban”. Jadi begini, dianggap atas perbuatan orang lain. Sebuah sikap yang salah.
Sikap lebih penting daripada fakta
Sikapnya lemah, perilakunya pun penuh amarah. Jadi tidak berkah, terlalu banyak ulah.
Semuanya dikomentarin, semuanya disalahin. Terus, apa yang sudah dikerjakan untuk menjadikan keadaan lebih baik? Makin banyak saja orang yang bersikap salah.
Status sosial boleh tinggi. Pangkat boleh hebat. Pekerjaan boleh mulia. Tapi sayang, sikapnya lemah. Hanya tahu sedikit mengaku banyak. Kepedulian hanya sebatas bahasan. Terlalu banyak harapan, sedikit perbuatan.
Apapun dan siapapun tergantung pada sikap.
ADVERTISEMENT
Apapun bisa terjadi, tinggal cara menyikapinya. Siapapun bisa terpilih, tinggal cara menyikapinya. Negara tidak setuju eks ISIS pulang lagi. Sementara dulu eks ISIS yang pergi sendiri dan tidak ingin kembali. Jadi yang salah negara atau eks ISIS? Akibat merampok, si maling dihukum berat oleh hakim. Jadi yang salah hakim atau maling? Semua itu tergantung sikap.
Kata Imam Syafi’i, pekerjaan terberat itu ada tiga: 1) sikap dermawan di saat dalam keadaan sempit, 2) menjauhi dosa di kala sendiri, dan 3) berkata benar di hadapan orang yang ditakuti. Itu semua tergantung sikap. Memang sulit tapi butuh sikap.
Apakah kita sudah kehilangan sikap?
Sebab faktanya, gagal mengakui keputusan yang sudah diambil. Tidak bisa menerima realitas yang sudah terjadi. Zaman now, banyak orang yang faktanya pintar. Tapi sikapnya kurang pintar. Banyak orang fakta ekonominya kaya tapi sikapnya miskin.
ADVERTISEMENT
Seperti orang yang lagi baca koran. Katanya, hurufnya kekecilan, jadi susah dibaca. Teks-nya buram. Padahal matanya yang sudah tidak normal. Mungkin sudah plus atau minus, maklum factor umur. Ehhh, setelah pakai kaca mata, baru teks koran itu terbaca dengan jelas. Jadi yang saah korannya atau matanya? Sungguh, yang harus diubah sikapnya. Bukan korannya bukan pula matanya.
Bangsa ini, dunia ini pasti terasa gelap. Karena sikapnya hanya senang memakai “kacamata hitam”. Coba diubah pakai “kacamata bening”, pasti bangsa ini dan dunia ini terang.
Hari ini, banyak orang ingin hidup lebih baik, tetapi tidak punya “kemauan” untuk berubah menjadi lebih baik. Benar kata Bruce Lee “siapapun harus berani memulai untuk memperbaiki sikap, bukan mengubah kondisi di luar kita. Karena berubah dimulai dari dalam ke luar bukan sebaliknya”.
ADVERTISEMENT
Jadi, semuanya tergantung sikap.
Karena dimensi terakhir dalam kebebasan manusia adalah menentukan sikap dalam keadaan sulit. Sikap itu bisa “membaikkan” atau “menghancurkan”… #TGS #BudayaLiterasi