Konten dari Pengguna

Singkong, Cemilan yang Mulai Ditinggalkan

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
26 Maret 2020 20:00 WIB
clock
Diperbarui 2 Juni 2020 8:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bila ada tanaman yang hidupnya gak ribet, itu bisa jadi namanya “manihot utilissima”. Alias SINGKONG. Mau tanah subur atau gersang, singkong tetap tumbuh. Bisa ditanam di mana saja, gak perlu perawatan khusus. Alamiah, tanpa pupuk sekalipun.
ADVERTISEMENT
Singkong, dalam keadaan apapun. Tetap tumbuh, tanpa direkayasa. Simpel dan alami. Gak pernah ribet apalagi galau. Hebatnya singkong. Semua bagian pohonnya berguna. Daunnya buat lalapan atau sayur. Batangnya dibikin pagar. Buahnya pun ciamik.
Singkong, memang luar biasa. Saat tumbuh menjulang tinggi ke atas pohonnya. Tapi bagian yang membesar tetap ada di bawahnya; akar yang jadi buahnya. Beda dengan orang. Tidak sedikit yang makin menjulang pangkat dan jabatannya, justru makin menjauh dari akarnya. Hingga lupa diri.
HARUSNYA SEPERTI SINGKONG, SIAPAPUN SAAT MENINGGI ATAU MENJULANG; BISA PANGKAT, HARTA ATAU KEDUDUKANNYA. TAPI MANFAATNYA TETAP TERASA SAMPAI KE BAWAH, KE ORANG-ORANG YANG MEMBUTUHKAN.
Singkong, cemilan yang mulai ditinggalkan orang
Sayangnya, zaman now banyak orang udah gak suka ngemil singkong. Katanya gak keren, gak bonafid. Mereka lupa, banyak makanan keren di swalayan di resto padahal bahan dasarnya dari singkong. Singkong yang sudah direkayasa. Mungkin udah zamannya. Banyak yang keren hari ini karena rekayasa. Terlalu gampang merekayasa diri. Biar dibilang ini, biar dibilang itu. Padahal bukan aslinya, bukan apa adanya.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah, saya suka singkong. Apalagi singkong yang dicabut dari kebun sendiri. Di Kaki Gunung Salak Bogor kebunnya. Singkong paling cocok jadi partner ngopi.
Kenapa singkong? Karena dari singkong, saya belajar untuk tetap apa adanya. Gak perlu gagah-gagahan, apalagi cuma di dunia yang sementara. Dunia diserang virus corona saja udah kalang kabut. Singkong semasa hidupnya itu ada di dalam tanah. Manusia diuji Covid-19 dan harus #DiRumahAja udah pada gelisah, galau. Nah kalau sudah begitu, terus apa sih yang mau digagah-gagahin dari manusia.
Sekarang ini, banyak orang pengen hidup sederhana. Tapi sayang, mereka gak suka singkong. Justru singkong itu gurunya hidup sederhana. Kontradiktif. Apalagi mereka yang income-nya pas-pasan. Tapi gaya hidupnya selangit. Beda antara yang diucap dengan yang dikerjakan. Itu gak sederhana namanya.
ADVERTISEMENT
SINGKONG itulah gurunya hidup sederhana. Nrimo ing pandum, istilahnya. Qona’ah alias apa adanya. Saking sederhananya, pohon singkong mau setinggi apapun. Dia tetap rendah hati, tetap gak mau menampakkan buahnya. Lalu membiarkan orang-orang mencabut dan menikmatinya.
Sayang, hari ini banyak orang udah gak doyan makan singkong. Bisa jadi, singkong itu cemilan yang sudah mulai ditinggalkan orang. Entah kenapa? Mungkin karena kurang bergengsi … Tabikk #FilosofiSingkong #ManihotUtilissima #BudayaLiterasi