Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Sulitnya Mengukur Kedewasaan
12 Februari 2025 19:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kawan saya tanya, gimana mengukur kedewasaan seseorang? Agak susah sih, jawabnya. Dewasa nggak dewasa itu ukurannya apa ya? Usia, kemapanan, emosi atau apa. Jadi menurut saya, ukuran dewasa itu yang tahu ya si orang yang katanya dewasa itu. Usianya dewasa tapi perilakunya sering mengeluh, atau usia belum dewasa tapi omongannya setinggi langit? Apa sih dewasa itu?
ADVERTISEMENT
Katanya, dewasa bisa dilihat dari cara seseorang mengelola emosinya. Mengendalikan amarah lalu menyimpan rasa kecewa. Bila kita ketemu orang dewasa tapi bersikap egois, arogan, subjektif, mudah marah, tidak peduli, dan mau menang sendiri. Orang suka kerja keras dan berpendidikan, apa pasti dewasa? Dewasa itu samar.
Novelis terkemuka Ernest Hemingway dalam kisahnya The Old Man and the Sea menitip pesan bahwa pelajaran tersulit orang dewasa adalah kebutuhan tanpa henti untuk terus maju, tidak peduli betapa hancur perasaannya. Sekecewa apapun, orang dewasa harus tetap berjuang. Karena the show must go on.
Ukuran dewasa, mungkin salah satunya dilihat dari sikap hidup yang tidak berhenti ketika lelah. Terus melangkah ketika hati hancur, terus bergerak ketika dizolimi. Dewasa itu harus mampu berdamai dengan diri sendiri, apapun keadaannya. Tidak ada tombol jeda untuk berkeluh-kesah, tidak ada waktu berkecil hati, hingga tidak ada proses tanpa dikerjakan. Terus ikhtiar dan berjuang untuk memperbaiki diri. Terus hidup untuk berbuat baik dan menebar manfaat di mana pun.
ADVERTISEMENT
Ernest Hemingway menegaskan pentingnya keberanian dalam menghadapi kesulitan. Selalu gigih di segala keadaan, termasuk saat menghadapi kekalahan. Bila perlu tetap tegak di saat pertempuran berisiko tinggi sekalipun.
Sedih, sulit atau kondisi jatuh sering dianggap orang dewasa sebagai bagian hidup yang paling kejam. Salah, karena siapapun tidak ada yang benar-benar mempersiapkan diri untuk sedih dan jatuh. Justru ajaran terbesar adalah adanya cerita tentang cara bertahan untuk selalu optimis dan bangkit untuk mencapai tujuan. Kisah tentang setelah malam yang gelap pasti ada pagi yang cerah. Sayangnya, orang dewasa sering menghilangkan ilusi yang menghibur itu.
Orang dewasa, terkadang gemar murung sendiri. Berkeluh kesah, merasa jadi korban dan begitu pesimis, lagi pikirannya negatif. Lupa untuk selalu tersenyum, bersyukur, dan menikmati yang ada. Selalu optimis bahkan berkiprah dalam ibadah nan berkah. Dewasa untuk percaya selalu bisa dan bisa.
ADVERTISEMENT
Entah bagaimana, sebagai orang dewasa, kita masih bertahan hingga kini. Itulah keajaiban yang patut disyukuri. Hidup tanpa henti, hidup terus bahkan ketika harapan terasa jauh. Kita terus bergerak. Kita tersandung, kita patah, kita jatuh berlutut tetapi kita bangkit dan melangkah. Selalu ada kekuatan untuk bangkit dan optimis. Orang dewasa yang berjalan di atas hati nurani, untuk menumbuhkan optimisme dan cita-cita. Bukan sebab keberanian tapi cukup hanya bisikan kecil di telinga yang menyatakan “teruslah maju.”
Dewasa itu pasti melelahkan. Pasti ada ketidak-adilan bahkan kezoliman dari orang lain. Selalu ada hari-hari di mana berat itu terasa tidak tertahankan. Tapi tetap menyuruh kita untuk melangkah ke depan. Sebagai bukti bahwa kita masih ada dan belum menyerah. Kita masih berjuang, masih bertahan, bahkan menolak kegelapan menghabisi kita.
ADVERTISEMENT
Seperti berkiprah secara sosial di taman bacaan, tetap memilih untuk ada dan selalu optimis tercapainya sebuah harapan. Itulah arti kedewasaan yang paling sederhana. Tetap melakukan apa yang harus dilakukan. Terkadang, dewasa itu memang dilematis. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi