news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tentang Kata 'Picek' dan Pentingnya Kesantunan Berbahasa

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2021 13:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by athree23 from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by athree23 from Pixabay
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba video lama sebutan “picek” Bupati Banjarnegara viral lagi. Entah kenapa, masih banyak orang yang terlalu mudah mengumbar kontroversial lalu jadi polemik. Bahasa-bahasa yang tidak pantas pun jadi “biang” keributan yang tidak produktif. Mau sampai kapan bangsa Indonesia begini?
ADVERTISEMENT
Agak prihatin, mencermati perilaku orang-orang yang gemar menimbulkan polemik. Kata-kata atau bahasa yang kontroversial diangkat ke publik lalu jadi kontroversial. Sementara PPKM dengan berbagai level terus berlanjut di masa pandemi COVID-19, Kian membatasi produktivitas. Dan bangsa Indonesia belum mampu “keluar” dari kondisi pandemi untuk segera pulih dan normal. Sementara di Inggris sana, Premier League telah berputar dan penontonnya membeludak seakan tidak ada COVID-19.
Jadi harusnya bagaimana kita berbahasa sebagai bangsa?
Saya berpendapat hati-hatilah dalam berkata-kata dan berbahasa. Apalagi di media sosial atau di area publik. Jangan sampai karena sentimen atau celetukan yang sifatnya informal jadi menimbulkan polemik dan kontroversial. Hingga jadi masalah hukum atau delik aduan. Patut diketahui, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa jadi alat untuk menjerat pelakunya. Bahkan di Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut “melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”. Jadi, berhati-hatilah.
ADVERTISEMENT
Bertutur kata dan menyebut “picek” lalu menjadi viral dan polemik sama sekali tidak produktif. Kita masih ingat tentang penggunaan kata “anjay” oleh seorang artis band. Belum lagi polemik yang timbul akibat istilah “pulang kampung” dan “mudik” yang jadi perdebatan. Maka siapa pun pengguna Bahasa, hati-hatilah dalam bertutur kata. Lalu bagi penyimak pun harus dilihat manfaat dan konteks-nya. Agar tidak jadi ribut atau perdebatan yang tidak produktif. Carilah bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.
Sebagai sikap dalam berbahasa, kata “picek” atau "anjay" yang dipolemikkan itu bukanlah kata baku. Itu hanya Bahasa gaul atau bahasa lisan. Jadi agak sulit mempersoalkan “kata gaul” yang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karena sifatnya informal. Kata “picek” tidak ada di KBBI, kata “anjay” pun tidak ada di KBBI. Lalu untuk apa dipersoalkan? Pasti tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik. Jadi, kata-kata itu dipakai oleh orang yang tidak tahu cara menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahkan kesantunan berbahasa pun diabaikan. Kita cukup tahu kualitas berbahasa orang-orang tersebut, mungkin masih sangat rendah. Kok bisa memakai Bahasa yang kurang pas atau tendensi-nya negatif. Sama sekali kurang mendidik. Sehingga cukup disarankan memakai kata-kata yang lebih baik atau lebih pantas. Agar tidak jadi masalah, tidak jadi polemik. Selesai. Bila esok, ada yang menggunakan kata-kata seperti "jijay", "alay", "lebay", "tokay", dan sejenisnya. Apa mau diributkan? Sungguh, sangat membuang waktu dan tidak produktif.
Tentang kata picek dan pentingnya kesantunan berbahasa
Maka siapa pun yang aktif di media sosial atau tokoh public harus hati-hati. Jangan sampai gara-gara tuturan atau Bahasa jadi masalah. Secara prinsip, saat menggunakan bahasa atau kata-kat itu harus memperhatikan dua hal: 1) bentuk bahasa dan 2) penggunaannya. Misalnya, kata “picek”. Secara bentuk kata "picek" tidak ada di KBBI, maka kata itu tidak pantas digunakan karena tidak baku. Tapi bila penggunaan kata “picek” dijadikan sapaan atau umpatan kepada seseorang ya berarti salah, tidak pantas digunakan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, setiap perilaku berbahasa dapat dilihat dari sisi “makna”.
Seperti kata “picek” maka harus dilihat konteksnya. Soal hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.
Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif—tergantung si orang yang memakai bahasa itu. Di situlah terlihat kualitas berbahasa seseorang.
ADVERTISEMENT
Maka, berbahasalah yang pantas dan berterima.
Kata-kata yang diadopsi dari Bahasa gaul, seperti “pecek”, "anjay" dan sebagainya yang tidak pantas dan tidak santun sebaiknya diabaikan. Bagi yang paham, cukup diimbau mereka untuk tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas itu. Beri tahu mereka untuk menggunakan kata-kata dan bahasa yang pantas. Bahasa yang santun. Agar tidak jadi polemik.
.
Lakoff, seorang linguis dari Universitas California menegaskan aspek penting dalam berbahasa. Agar tidak menimbulkan friksi. Tentang pentingnya kesantunan berbahasa yang harus dilihat dari 1) formalitas, 2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah, ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa berarti tidak santun. Bahasa yang tidak santun cukup diberi tahu yag santun dan abaikan perdebatannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Bahasa pun ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi. Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Maka saya menduga kata "picek" itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah. Jadi untuk apa diributkan?
Sekali lagi, siapa pun berhati-hatilah dalam berbahasa. Apalagi di media sosial. Intinya, setiap kata dan bahasa yang digunakan itu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, pilihlah bahasa yang pantas dan tidak menimbulkan polemik. Ributlah soal yang produktif dan solutif tentang persoalan sosial. Jangan ribut soal kata-kat atau bahasa yang tidak berkualitas. Salam bahasa.
ADVERTISEMENT