Tentang Memaafkan (Bukan Saling Memaafkan)

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
22 Februari 2023 4:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Benar kata banyak orang. Hidup bukan hanya mencapai keinginan dan kepedulian. Tapi juga soal kemauan untuk belajar. Belajar Belajar untuk menerima realitas, belajar untuk berbesar hati pada setiap keadaan. Apapun bentuknya, apapun alasannya. Tidak cukup hanya berpuas hati di saat mencapai kemenangan. Tapi harus belajar ikhlas meski belum rela. Berani belajar bersikap objektif walau tidak sepakat dan berbeda.
ADVERTISEMENT
Besok-besok jelang tahun politik dan kampanye pilpres. Bukan tidak mungkin, makin banyak perilaku saling mencaci, menghujat, bahkan fitnah. Hoaks dan ujaran kebencian berbasis sentimen olitik pun ditebarkan kemana-mana. Hanya untuk mendukung kandidat yang diusungnya. Belum lagi politik identitas yang jadi sebab masyarakat kian terkotak-kotak. Selain belajar untuk meraih kemenangan dengan cara yang elegan, politik pun harus belajar untuk memaafkan di antara elit politik dan pendukungnya.
Apapun alasannya, belajar memaafkan itu penting. Apalagi di tahun politik, di media sosial, atau di dalam pergaulan. Memaafkan orang lain atas apa yang mereka lakukan memang tidak mudah. Memaafkan atas apa yang orang lain katakan tentang kita memang tidak gampang. Apalagi wujudya fitnah, hoaks, atau aib yang tercela. Memaafkan, bukan dimaaafkan, butuh hati hati yang lapang dan seluas Samudra. Memaafkan, sungguh butuh ketulusan hati untuk bisa melakukannya.
ADVERTISEMENT
Memaafkan kesalahan orang lain memang sulit. Tapi harus diikhtiarkan sebisa mungkin. Sambil menjauhi lingkungan dan pergaulan yang buruk. Karena memaafkan sangat bermanfaat untuk pemiliknya. Agar hidup lebih tenang dan damai, hati lebih lapang. Perlu dipahami, siapapun yang memendam amarah, rasa benci atau dendam terhadap orang lain hanya akan merugikan dan merusak diri sendiri. Karena itu, memaafkan menjadi sikap yang harus dikedepankan siapapun. Sebuah perilaku yang patut didengungkan, di mana pun dan kapanpun.
Memaafkan, bukan saling memaafkan
Memaafkan adalah proses. Harus dilatih dan dibiasakan, selain pasti banyak cobaannya. Maka di saat yang sama, memaafkan jadi bukti seseorang yang sabarnya meluas, syukurnya melangit, dan maafnya mudah untuk diberikan. Bagi siapapun, memaafkan bukanlah melupakan tapi melepaskan rasa sakit. Membuang amarah, benci, iri, dan dendam. Maka, maafkan setiap musuh atau orang lain yang jahat kepada kita. Karena maaf tidak dimiliki orang-orang lemah. Justru dimiliki oleh orang-orang yang kuat untuk memahami orang yang membuat kesalahan.
ADVERTISEMENT
Memaafkan, hanya butuh keberanian dan kemauan. Itulah yang paking dibutuhkan masyarakat dan bangsa Indonesia hari ini. Sebagai ikhtiar untuk selalu memperbaiki diri, di samping menggapai ketenangan hati. Bila memaafkan dianggap sebagai perbuatan mengalah, biarlah bila mampu membahagiakan orang lain. Karena hidup, sejatinya tidak ada yang menang atau kalah. Yang ada, mudah atau tidak untuk memaafkan siapapun.
Seperti mentari di balik awan, pasti ada suka di balik duka. Pasti ada terang di pagi hari setelah melewati gelapnya malam. Beranilah memaafkan, bila tidak tercapai saling memaafkan. Karena memaafkan, tak sulit bagi yang mau tak mudah bagi yang enggan. Salam literasi