Victim Mentality

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
12 Maret 2024 17:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Momen puasa, mungkin bisa jadi momen untuk introspeksi diri. Khususnya bagi mereka yang saat ini menganggap dirinya sebagai korban dari orang lain atau keadaan. Sebut saja, victim mentality atau victimhood. Tercermin dari perbuatannya yang membenci orang lain berketerusan, meneror orang lain, hingga merasa paling benar sendiri. Bahkan membaca tulisan seperti ini pun tersinggung, dianggap menyindir bukan nasihat. Apa yang terjadi hari ini dianggap perbuatan orang lain. Maka jadilah disebut “victim mentality”, menganggap dirinya sebagai korban.
ADVERTISEMENT
Kaum victim mentality sering lupa. Bahwa “tidak ada asap tanpa ada api”. Tidak pula ada akibat tanpa sebab. Cuma hebatnya pemilik victim mentality yang “menerima akibat” rajin dan jago bersilat lidah, bicara ke sana-sini seolah-olah dia adalah korban. Sementara si pemilik sebab, hanya bisa diam dan bersikap sabar. Ketika itu terjadi, di situlah pemilik “victim mentality” merasa menang dan semakin jumawa untuk melakukan apa saja yang dianggapnya benar.
Victim mentality, mentalitasnya sebagai korban. Lalu mengabaikan alasan kenapa akhirnya dia merasa jadi korban? Seolah-olah apa yang dialaminya atas sebab orang lain, hingga lupa kesalahannya sendiri. Merasa insecure, benci yang pantang menyurut, cemas yang berlebihan, depresi, hingga ujungnya berharap orang lain mengasihani dirinya. Kasihan pada orang-orang yang mentalitasnya korban (victim mentality). Karena mereka gagal introspeksi diri, lalu menyalahkan orang lain. Tiap ada masalah justru mencari penyebab salahnya, bukan mencari solusi atau memperbaiki diri. Cara berpikirnya tidak ada jalan keluar, dan menghakimi salahnya kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Mungkin perlu dibuktikan melalui riset. Tapi victim mentality biasanya terjadi pada orang-orang yang gemar berbuat zolim. Bertindak tidak adil, kejam atau sewenang-wenang kepada orang lain. Zolim karena menuntut hak tanpa mau mengerjakan kewajiban. Menyerang orang lain, sambil membenarkan tindakan buruknya sendiri. Zolim karena 1) berpaling dari perintah Allah SWT, 2) melanggar hukum-hukum Allah SWT dan rasul-Nya, 3) suka melakukan kemungkaran, 4) selalu mengingkari kebenaran, dan 5) gemar melakukan perilaku tercela seperti dusta, khianat, aniaya, menghina, dan sebagainya. Bertindak zolim tidak pernah sadar, tahunya hanya menjadi korban. Victim mentality
Victimmentality, merasa jadi korban orang lain
Victim mentality, kata-katanya atau narasinya sering berkebalikan. Tidak sesuai fakta, justru memanipulasi fakta menjadi bahan argumen untuk kepentingannya sendiri. Merasa menjadi korban, untuk memengaruhi orang lain. Agar peduli dan dikasihani. Seperti di taman bacaan pun ada orang-orang yang bermentalitas korban – victim mentality. Tidak mau menyuruh anaknya membaca, tidak pernah mau membantu taman bacaan, hingga cuek atas aktivitas taman bacaan. Lalu bilangnya, tidak dapat apa-apa dari taman bacaan. Lah kok bisa?
ADVERTISEMENT
Jadi, hati-hati dengan mentalitas korban alias victim mentality. Karena akhirnya menjadikan orangnya merasa paling benar, bertindak defensif, dan selalu menyalahkan orang lain. Tanpa mau introspeksi diri, tanpa mau bertanya tentang “kenapa semuanya terjadi pada saya?”. Jangan menganggap diri jadi korban tanpa menyadari kesalahan diri sendiri. The show must go on, lebih baik introspeksi diri dan ikhtiar memperbaiki diri. Katanya “Allah tidak pernah salah menempatkan takdirnya”. Nah, itulah yang patut direnungkan.
Daripada bertindak victim mentality, lebih baik diam. Diam untuk merenung akan pentingnya memperbaiki diri. Diam untuk berfokus pada solusi, bukan mencari siapa yang salah. Karena sejatinya, diam bukan berarti lemah. Tapi lebih baik untuk masa yang akan datang. Sambil tetap sabar dan syukur dalam segala keadaan. Hanya diam yang seringkali lebih efektif daripada berkata-kata seolah-olah menjadi korban dari orang lain. Jadilah literat #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
ADVERTISEMENT