"BISA GAK KITA BALIK SEPERTI DULU LAGI?", Balikan dan Seni Filosofi Jepang: KINTSUGI

Konten dari Pengguna
28 Januari 2017 22:51 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarifah Sadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Biasanya sering kita lihat dan dengar di TV sinetron, atau mungkin pesan Whatsapp dari si masa lalu.
Kalimat tersebut biasanya merupakkan sebuah ekspresi untuk menghadapi sebuah kenyataan dengan cara menawarkan solusi untuk sebuah trauma atau kesalahan yang sudah lewat, dengan memaafkan atau meminta maaf. Keinginan untuk melepaskan kesalahan dengan menutupinya dengan gombalan, seakan kesalahan tidak pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Kita memahami bahwa trauma dapat ditutupi tapi tidak dapat dihilangkan, dengan berdamai dengan kesalahan, memandang sebuah cacat dan ketidaksempurnaan menjadi hal yang dapat diutarakan dengan bangga. Seperti bekas luka jahit akibat jatuh di kelopak mata kanan saya, daripada operasi plastik untuk menutupi, saya lebih bangga dengan codet ini, bahwa jatuh dan dijahit membuat saya lebih hidup dan lebih kuat (+lebih ngeri).
Ide dari berdamai dan merangkul kehancuran dan kerapuhan merupakan bagian dari filosofi budaya Jepang yang diwujudkan dengan menambal mangkuk, gelas dan produk tembikar lainya yang disebut KINTSUGI.
Secara harfiah berarti KIN (emas), TSUGI (sambungan), adalah seni memperbaiki tembikar yang pecah dengan mengumpulkan remah-remah kehancuran dan menyambungnya dengan resin yang dicampur bubuk emas.
ADVERTISEMENT
Budaya asia memiliki sejarah panjang dalam hal pembuatan tembikar, sehingga tembikar2 terbaik berasal dari asia, seperti China yang pada masa Dynasti Shang memiliki ukiran yang rumit. Pastinya semua tembikar dari China dianggap barang mewah dan merupakkan barang berharga.
Cerita tentang Kintsugi mucul di abad ke 15, seorang militer Jepang, Shogun Ashikaga Yoshimasa, secara tidak sengaja menjatuhkan mangkuk teh favoritnya yang mahal, pemberian dari China. Yoshimasa mengirimkan mangkuk tersebut ke China untuk direparasi, mungkin masih garansi setahun. Tapi setelah diperbaiki di China, ternyata hanya distaples dengan plat besi yang jelek dan bulky, what do you expect huh?
Kesal dengan servis garansinya, Yoshimasa meminta seniman terbaik di Jepang untuk menyambung kembali mangkuknya dengan sesuatu yang lebih indah, bagaimana pun caranya.
ADVERTISEMENT
Seni Kintsugi akhirnya menjadi populer dengan membuat barang pecah belah menjadi indah, lebih indah dari sebelumnya. Banyak yang sengaja menghancurkan tembikarnya untuk dibuat menjadi kintsugi.
Filosofi ini mengarah kepada filosofi estetika Jepang yang lebih luas, disebut WABI SABI, melihat keindahan tidak seperti idealisme budaya barat akan kesimetrian dan geometris, tapi dari Budhisme, sebuah konsep akan ketidaksempurnaan, kefanaan (next time dibahas).
Fraktur pada mangkuk keramik tidak mewakilkan akhir dari hidup si mangkuk tersebut, tapi merangkai momen esensial dengan menghiasi ketidaksempurnaan dengan signifikasi emas, representasi akan sesuatu yang bisa dibanggakan.
Seni yang luar biasa dari kintsugi melambangkan kebenaran bahwa perbaikan membutuhkan transformasi, bahwa kondisi yang mulus kurang indah daripada yang pernah hancur. Dan bagaimana cara pandang kita untuk bisa mengapresiasi sebuah ketidaksempurnaan dan kecacatan yang mutlak, dapat menjadi lebih indah walau tidak menghapus jejaknya.
ADVERTISEMENT
Sekarang, berpikir untuk balas Whatsappnya?
This is my first story and as you can see, this is far from perfect, but let's embrace the imperfection. KINTSUGI Y'ALL!