Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Memulai Tradisi Berpikir Kritis Lewat Komunitas
7 April 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Raja Syeh Anugrah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tradisi berpikir kritis bisa dibentuk dan disusun secara tersistem melalui pelbagai ruang. Sekolah, lingkungan sosial, organisasi maupun komunitas yang di dalamnya terdapat sub-sistem pengaturan ke arah kerja-kerja pikiran.
ADVERTISEMENT
Seorang individu yang cakap dalam penggunaan pikiran, dan dengan itu ia mampu mengemukakan pandangannya, maka ia termasuk individu kritis.
Setidaknya ada tujuh ciri tradisi berpikir kritis; berpikir sistematis, ingin tahu, berpikir terbuka, gigih dalam kebenaran, analitis, percaya diri terhadap pemikiran kritis, dan bersikap dewasa. Ciri-ciri ini tentu tidak mutlak, bahkan masih banyak ciri lainnya yang teridentifikasi maupun tidak.
Para tokoh nasional Indonesia terutama orang-orang Sumatra Barat seperti Agus Salim, Hatta, Syahrir, Rahmah el-Yunusiyah, Rohana Kudus, Natsir, Buya Hamka, M. Yamin, Adinegoro, Buya Syafii Ma’arif, dan lain-lain. Ia bisa menjadi besar dari segi sumbangsihnya, tidak berlepas diri dari cara pikir, laku dan tindakan—yang mengacu pada “tradisi berpikir kritis.”
Kesohoran dan keharuman nama mereka dalam berkiprah di kancah nasional tak lain disebabkan oleh kecanggihan pikiran. Penunjang utamanya yakni pendidikan, pengalaman dan kualitas intelektual yang dibina secara mandiri maupun tersistem sepanjang waktu.
ADVERTISEMENT
Adapun catatan mengenai berpikir kritis. Di awali dari kisah Sokrates (w. 399 SM) yang ditulis oleh Plato (w. 347 SM) muridnya. Sokrates yang dikenal sebagai filsuf Athena itu, di akhir hayatnya terkena delik disebabkan daya kritis pikirannya. Pikiran Sokrates dianggap berlainan dari keumuman masyarakat Athena sebab ia selalu mempertanyakan hal-hal yang menurutnya butuh penjelasan rasional.
Sokrates berpendapat bahwa, bagi seorang individu untuk memiliki kehidupan yang baik atau memiliki kehidupan yang layak untuk dijalani, ia harus menjadi penanya yang kritis dan memiliki jiwa yang interogatif. Sokrates berprinsip betapa pentingnya mencari bukti, memeriksa penalaran dan asumsi dengan cermat, menganalisis konsep dasar, dan menelusuri implikasi tidak hanya dari apa yang dikatakan tetapi juga dari apa yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi paradigma Sokrates, diniatkan oleh Kolam Baca sebagai rumpun komunitas literasi yang ada di Sawahlunto agar tradisi berpikir kritis dapat mengakar. Wadah yang diinisiasi dari kegelisahan, keresahan dan kekritisan itu. Ke depannya hendak diaktualisasikan lewat inovasi yang berbentuk komunitas pemuda, pelajar, dan mahasiswa. Dengan dasar hendak merangkul-solidaritas guna menjaga alam pikir bersama.
Penulis menyadari bahwa memulai tradisi berpikir kritis itu sesederhana pertanyaan Socrates, “kenalilah dirimu?” Namun sarat makna akan jawaban yang dihasilkan kemudian setelah pertanyaan itu diajukan. Komunitas di sini dimaksudkan sebagai jawaban dari hasil refleksi yang panjang. Hal yang awalnya hanya ide di dalam pikiran, terimplementasikan lewat tindakan.
Komunitas Tempat Berhimpun
Ada suatu adagium yang secara interpretasi begini, “jadikanlah rumah komunitas sebagai tempat saling besar dan membesarkan.” Sementara merujuk ke dalam Q.S. al-Baqarah ayat 148, terdapat kalimat Quran “fastabiqul khairat”—“berlomba-lombalah dalam kebaikan.”
ADVERTISEMENT
Dalam konsep Islam, kaitan tradisi berpikir kritis ini ter-output melalui “berlomba-lomba dalam kebaikan.” Lanjutannya “di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian.” Mengumpulkan di sana yaitu terkumpulnya insan-insan yang dinyatakan sebagai khalifah fil ard’ ke dalam wadah sebagai tempat berhimpun.
Wadah yang dimaksud yaitu rumah komunitas. Tempat insan-insan itu membangun gagasan, pikiran, ide, dan aksi-aksi yang bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Dalam memberikan dampak, perluasannya melalui kerja-kerja pikiran yang disistemkan ke dalam satu sinyal yang sama—atau kesepahaman.
Lantas ketika elemen yang dikonsepkan oleh Kolam Baca yakni pemuda, pelajar, dan mahasiswa terhimpun secara bersama-sama. Selanjutnya bermusyawarah sebagaimana konsep alam Minangkabau yaitu mencari mufakat. Sebagai forum pertukaran ide yang ditengarai oleh kesepahaman tadi. Melalui cara pandang yang tajam, dan keberperanannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin keadaan sosial yang dirasakan pada saat sekarang hanya sebatas direspons angin lalu saja. Tanpa ditindak-lanjuti lewat aksi-tindakan yang berusaha melakukan perbaikan lewat daya upaya bersama. Perbaikan bukan bermaksud mengambil alih tugas otoritas pemangku yang berkewajiban, melainkan yang tadi; berperan.
Berperan banyak ragamnya. Bisa menyumbangkan ide, pemikiran, gagasan, karya atau popularitas suatu nama lewat pengharumannya di kancah nasional berdasarkan legitimasi daerah. Tetapi pertanyaan penting sebelum jauh mengapa pentingnya berhimpun di komunitas. Apakah jika orang-orang yang dianggap mampu berjalan sendiri, pikirannya senantiasa terdidik kritis?
Jawabannya “belum tentu”. Sebab lanjutan dari Sokrates mengenai tradisi berpikir kritis adalah cara seseorang menanggalkan ke-egosentrisan-nya dan ke-etnosentrisan-nya. Tidak ada lagi embel-embel primordial kedaerahan yang menyekat ruang gerak individu dari lain daerah. Atau yang didapati dalam hal ini bisa jadi segi perbedaan kesukuan, latar belakang maupun kepentingan.
ADVERTISEMENT
Wadah komunitas tidak sesempit dikonstruk sebagai ruang orang-orang elite. Orang yang hendak bertumbuh, dan mau keluar dari kerangkeng keumuman atau sama sekali belum memiliki kualifikasi pun, boleh. Ekosistem dapat terbangun ketika jaringan dijalin lewat kesalingan.
Kesalingan yang mengisi kekurangan, mengapresiasi suatu prestasi-potensi, atau bertukar pikir ketika menemui kebuntuan. Atau sesederhana bertanya, “bagaimana prosesmu berkarir?” atau “bagaimana perencaanmu kemarin?” sampai “sudahkah mendaftarkan diri di suatu ajang perlombaan? Hingga “kurekomendasikan untuk kamu bisa asah bakatmu!”
Itu semua, ialah obrolan dan pertanyaan dasar yang kerap berseliweran dalam rumah komunitas. Kenormatifan ini tidak perlu ditinjau secara muluk-muluk. Cukup lewat pikiran yang terbuka, jiwa yang lapang, dan hati yang tercerahkan.
Tradisi Aksi
Dominasi anak muda di tahun 2024 yang berdasarkan data sekitar 55% ini tidak bisa dipungkiri. Perbedaan zaman yang amat signifikan ketimbang tahun-tahun lalu, tak luput mejadi sorotan persoalan. Pasalnya terletak pada penyesuaian karakter, minat dan kecenderungan dari generasi kini dan mendatang.
ADVERTISEMENT
Tak perlu jauh berbicara Tan Malaka dengan MADILOG-nya (Materialisme, Dialektika, dan Logika) yang pernah membangun basis lewat Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Atau Syahrir dengan kitab “Perjuangan Kita”, atau Hatta dengan “Alam Pikiran Yunani” yang sama-sama berkecimpung dalam organisasi pergerakan PI (Perhimpunan Indonesia) di Belanda.
Terdekat ini saja, apa respons anak muda terhadap isu publik di lingkungan sosialnya? Semasifnya pemberitaan media semacam Tempo, Kompas, Jawa Pos, dll,. itu. Tak semuanya tahu apa pemberitaan yang tengah diwartakan. Atau pemberitaan media lewat Kumparan, Narasi, Mongabay, Greenpeace atau Malaka Project sekalipun. Tak semuanya mau menelaah muatan konten itu secara analitis.
Namun penulis di sini tidak sedang beromantika lewat segala macam problematika klasik. Di mana narasi permasalahan lebih menarik ketimbang suatu tawaran. Maka konklusi tawaran konkret bagi penulis adalah mentradisikan aksi. Berpikir dengan matang lalu memecahkannya lewat rumusan tindakan—dan rumah komunitas mesti berperan, dan mempeloporinya.
ADVERTISEMENT
Aksi ini tentu beragam macam. Seperti melingkar berdiskusi membicarakan suatu isu, menganalisis suatu kebijakan, bertukar cerita perihal ide dan kerja-kerja pikiran, sampai menciptakan karya lewat tulisan, musik, seni budaya, videografi, fotografi, lukisan sampai menggerakan pasar tradisional.
Dari kegiatan kecil itu, asal konsisten, sistematis, terstruktur dan masif. Segala ide akan mudah terakomodir. Seperti apa yang dikatakan Syahrir, “hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan,” bukan?
Live Update