Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Seulas Mengenai Narasi Besar Kolam Baca
20 Maret 2024 14:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Raja Syeh Anugrah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua hari pasca perayaan Sumpah Pemuda pada tanggal 30 Oktober 2020, Kolam Baca yang saat itu bernama Gerakan Silungkang Membaca lahir. Di Jumat agung, bersandar di pojok surau yang jauh dari jangkauan kota dan dilirik penuh tanya oleh sesiapa saja yang berlalu-lalang. Kini tengah mengembangkan layarnya mengarungi semesta kota, desa dan media.
ADVERTISEMENT
Secarik kain putih yang terpampang jelas—tertulis “Gerakan Silungkang Membaca” dan sesobek kertas kardus yang sengaja diletakkan di pojok dinding tertulis “lapak baca gratis”. Ternyata hanya sekadar menarik lirik saja, tidak menarik tanya-tanya lebih jauh mengenai maksud dan tujuan saudara di sini hendak membikin apa.
Berselang dari sana, gerakan ini mengubah nama menjadi “Gerakan Literasi Masyarakat”. Perubahan yang lebih umum ini tidak sekoyong-koyong begitu saja. Pasalnya ada gayung bersambut yang tertarik bergabung dan menawarkan membuka lapak baca gratis di pusat kota. Maka terbentuklah dua lapak baca yang aktif setiap Jumat dan Ahad.
Gerakan itu lamat-lamat mendapatkan perhatian khusus di kalangan pemuda. Agaknya nama Gerakan Literasi Masyarakat tidak lagi menarik, dan datang usulan agar dibentuknya komunitas. Tapi komunitas dengan nama apa? Dan setelah melewati beberapa fase dinamika, Kolam Baca inilah nama yang muncul ke jagat pemuda tahun 2021 awal untuk disematkan sebagai identitas kita—komunitas literasi yang berbasis di kota.
ADVERTISEMENT
Kota yang dimaksud adalah Sawahlunto secara luas. Bukan titik yang terpusat di pusatnya saja. Mengenai hal ini, memang ada sedikit perbedaan perspektif kala itu perihal sematan bahwa wilayah ‘A’ ya ‘A’ dan bukan ‘B’—beberapa yang paham tentu memaklumi. Sebab maksud ini saya tangkap mengingat sejarah, mengingat kultur masyarakat setempat.
Namun tenang, Kolam Baca secara bukan komunitas anak pusat kota Sawahlunto secara terpusat—hanya saja titik temunya memang di sana. Melainkan milik setiap pemuda berbagai wilayah di kota ini yang berbangga hendak merdeka dari segala macam kungkungan dan kerangkeng kota. Diberi maksud bahwa inilah organisasi berbasis komunitas yang hendak menampung segala aspirasi pemuda mengenai ide, gagasan hingga pengorganisiran gerakan akar rumput yang bersifat kolektif.
ADVERTISEMENT
Kolektif yakni secara gabungan atau bersama-sama dan tidak memiliki keterikatan dengan pemangku kebijakan di kota. Tapi menerapkan asas solidaritas, kesalingan, kesamaan dan sikap yang besar-membesarkan tanpa mengharap materi atau profit. Walau di zaman edan ini, sesuatu yang tidak membuahkan materi itu menjadi tidak menarik dan terkesan konservatif.
Tapi di sini, dasar sebenarnya yakni investasi jangka panjang lewat perawatan ruang pikiran secara berkala. Ruang dialektika secara teratur, termasuk mempertukarkan ide dan memperbincangkan pikiran. Pikiran yang hadir di kala sendiri atau teori yang sudah jamak dipelajari lewat sekolah atau bangku kuliah. Akan jadi sia-sia tanpa di-aksi-kan secara nyata. Dan di sinilah ruang-wadahnya.
Setelah demikian duduk pondasi apa itu Kolam Baca dan kehadirannya di kota untuk apa pula. Lalu langkah sederhananya, wadah ini ke depan hendak dikembangkan secara TSM (terstruktur, sistematis, dan massif). Bahwa tidak hanya langkah-langkah politik elite saja yang digerakaan secara TSM, langkah-langkah komunitas literasi pun mesti demikian, dan pemuda di kota ini seharusnya merespons hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun kendala kini yang tengah dihadapi, terdapat kesamaran komunitas pemuda yang silih berganti hadir lalu hilang dari peredaran. Atau ikatan mahasiswa yang hanya menggebu tak menentu, tanpa arah lalu hilang pula ditelan masa. Lantas dengan apa jejaring itu hendak disalurkan agar ide liar ini tidak lekas lari dari kota—rumah masyarakat dan publik—jikalau basis saja masih terpecah-belah.
Keterpecahan inilah yang sedang ditangkap oleh Kolam Baca. Meski Kolam Baca tak sejago penjaga gawang politik yang menjebak masa dalam perhelatan tahunan saja. Tapi sekali lagi ini adalah wadah bersama, milik semua kaum dan kalangan yang hendak membasahkan diri dalam dialektika-dialektika, dan aksi-aksi sosial berkala.
Tanpa itu, pikiran hanya akan menjadi kincir tanpa air atau angin. Ia ada dengan bentuknya tetapi hilang akan fungsinya. Suatu pikiran yang diibaratkan kincir tersebut perlu terpaan angin agar fungsi sebenarnya untuk menggerakkan pikiran bisa terjalankan. Bahasa yang kerap terngiang semasa dahulu atau agaknya masih relevan di masa kini, “berkaratlah pikiran jika tak digunakan.”
ADVERTISEMENT
Atau yang lebih parahnya lagi bagi kita sekalian perihal dunia pergerakan, jangan sampai “dipukul pahatnya dahulu baru berjalan.” Sebab sampai kapan inisiatif itu dipendam di lautan keputusasaan. Bukankah guna dari jaringan atau suatu wadah ialah penyaluran. Berbicara penyaluran, Kolam Baca beberapa tahun kebelakangan menyalurkan keresahannya lewat Taman Baca Masyarakat.
Ya, kami pun membentuk ruang Taman Baca Masyarakat oleh apa yang disebut inklusif. Terbuka dengan ruangan yang betul-betul beratapkan langit dan beralaskan terpal sederhana pemberian dari seorang kawan. Namun agenda kegiatan itu diakui hanya bertahan satu tahun lebih saja oleh kami sekalian perwakilan pemuda.
Harapan sebenarnya bagi Kolam Baca, apa yang sudah dimulai dapat berkelanjutan dan tidak muluk-muluk pencanangannya. Atau setidaknya gerakan TBM berbasis akar rumput ini, mampu memantik kesadaran bersama di tengah kalangan kita. Sebab pasti ada saja orang-orang yang mampu membaca sinyal tersebut untuk menguatkannya lagi. Kami hitungannya atom yang menjadikannya bom waktu, yang meledak seketika pada momen yang tak dapat kami prediksi.
ADVERTISEMENT
Atau hal yang timbul kini, sebutan relawan yang umum dikenal agak divariasikan dengan sebutan ‘local hero’ agar sebutan tersebut menjadi semacam harapan langsung yang tersalur dan diucapkan secara terus menerus. Menjadi semacam buah bibir dan resapan energi langsung bagi setiap penyandangnya. Daya dari nama itu mampu menjadi energi bagi ia untuk melanjutkan perjuagan-perjuangan.
Hal ini tentu saja masuk ke dalam komponen ide liar. Bisa diperdebatkan atau disanggah jika tulisan ini dibaca oleh sekalian banyak orang terlebih masyarakat kota ini. Lalu, narasi-narasi besar Kolam Baca tak bisa dilepaskan dari napas perjuangan Tan Malaka terhadap republik ini. Muatan gagasan yang bisa dituliskan di paragraf ini adalah mengenai poin-poin yang patut menjadi perhatian bersama.
ADVERTISEMENT
Adalah disiplin atau konsistensi, kekuatan organisasi yang solid, kesatuan politik dalam arti keorganisasian, keterpaduan lembaga atau komunitas, dan perencanaan yang terorganisir dan cerdas, (Anderson, B., Revoloesi Pemoeda, Hal. 333,). Ada sedikit perombakan tulisan di sana yang dirasa relevansi zaman Tan Malaka dulu hampir sama dengan relevansi dunia keorganisasian berbasis komunitas kini.
Ke depannya, Kolam Baca tidak hanya akan menjadi wadah bayangan saja yang kini agak terasa demikian. Namun wadah yang memiliki kekuatan organisasi dengan segala unsur yang dibutuhkan di dalamnya. Unsur ini yaitu individu merdeka yang bebas menyatakan gagasan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan pembangunan kualitas sumber daya manusianya.
Individu yang akan menjadi promotor, penggerak dan penggalang keterpaduan berbagai komunitas atau lembaga. Dengan cara merumuskan perencanaan yang matang melalui proses pengorganisiran yang cerdas. Poin cerdas yang terdapat di dalam tulisan Benedict Anderson tersebut, bersumber dari kecermalangan pemikiran Tan Malaka sebagai orang republik yang melihat dunia secara luas melalui kacamata pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Sekiranya ini narasi dasar yang ditulis penuh sadar untuk keberlanjutan komunitas bernama Kolam Baca ini. Sekian terima kasih atas keutuhan pembaca sekalian yang membacanya secara cermat. Jika Rene Descrates menyebut, “aku berpikir maka aku ada.” Maka bagi Kolam Baca, “kita bergerak, maka kita tumbuh.”