Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kilas Balik Penderitaan Psikologis Korban Bencana Tsunami Aceh 2004
14 November 2023 8:23 WIB
Tulisan dari Syifa Afran Fathiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bumi Aceh sekitar pukul 07:59 WIB pada 26 Desember 2004 silam diguncang gempa tektonik dengan kekuatan 9,1 SR. Bencana yang melanda lepas pantai barat Aceh yang datang tanpa peringatan itu ternyata tidak berhenti di gempa bumi saja. Akibat aktivitas tektonik di zona subduksi antara Lempeng Indo-Australia yang bergerak di bawah Lempeng Eurasia membuat gelombang tsunami dahsyat menerjang daratan Aceh.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Aceh kala itu masih belum mengetahui dengan baik bagaimana mitigasi bencana sehingga banyak korban yang kehilangan nyawa akibat bencana tersebut. Hal tersebut menyebabkan beberapa orang yang selamat dari tsunami tersebut harus kehilangan keluarga dan orang terdekatnya. Ditinggalkan oleh orang yang tersayang secepat itu akan menimbulkan dampak kepada penyintas. Korban yang selamat dari bencana tersebut harus mampu bertahan hidup dan beradaptasi dengan cepat pada saat perasaan sedih, takut, cemas, trauma, duka cita, dan perasaan negatif lainnya yang menyelimuti dirinya. Hal ini yang mengancam kesehatan jiwa penyintas karena trauma dan ketidaksiapan untuk kehilangan, baik orang terdekatnya, mata pencahariannya, ataupun harta bendanya.
Total korban jiwa dari bencana tsunami tersebut berjumlah 281.000 jiwa dengan total korban jiwa di Indonesia berjumlah 221.000 jiwa. Adapun korban jiwa di Banda Aceh cukup banyak yaitu 78.417 jiwa. Hal ini dikarenakan orang-orang di Banda Aceh dan sekitarnya tidak langsung menjauhi laut setelah gempa terjadi. Sehingga saat tsunami mulai datang, banyak korban yang tersapu ombak. Lain halnya dengan korban jiwa di Simeulue yang hanya sedikit jumlah korbannya yaitu kurang dari 10 jiwa. Alasannya karena masyarakat Simeulue yang menerapkan “Smong” yaitu tradisi turun temurun yang menjadi edukasi kebencanaan. Selanjutnya kerugian yang diperoleh akibat bencana ini ditaksir sekitar 11,116 triliun rupiah.
ADVERTISEMENT
Kilas Balik melalui Museum Tsunami Aceh
Pengalaman pahit tersebut tersimpan rapi menjadi sejarah pada Museum Tsunami Aceh. Berlokasi di Jalan Sultan Iskandar Muda Kota Banda Aceh, museum tersebut didesain dengan arsitektur yang unik. Bagian lantai 4 dari bangunan tersebut dibuat khusus untuk evakuasi jika terjadi bencana serupa yang dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Bagian bawah Museum ini layaknya rumah adat Aceh yang memiliki panggung agar air bisa mengalir melewati bangunan. Selanjutnya ukiran-ukiran di dinding museum merupakan representasi dari tari saman Aceh. Sehingga museum ini tidak hanya sebagai sejarah dan edukasi tentang kebencanaan saja, namun juga memasukkan unsur daerah yang harus dilestarikan.
Tidak hanya sebagai tempat edukasi dan penyimpanan barang temuan pasca tsunami, di museum ini pengunjung bisa merasakan sensasi betapa ketakutan dan frustasinya para korban bencana. Dari koridor utama museum, terdapat jembatan panjang yang gelap dan sempit. Disana terasa gelap dan lembab karena di setiap dindingnya terdapat air yang berjatuhan dan diperdengarkan suara gelombang tsunami. Bagian museum selanjutnya yaitu lorong kebingungan. Pengunjung akan merasakan reaksi psikologis para korban saat terjadinya bencana alam tersebut. Ketika melewati lorong tersebut akan terasa pusing dan langkah kaki semakin berat karena rutenya yang melingkar dan semakin menanjak. Pada dinding sebelah kanannya terdapat 99 nama Allah SWT. hal tersebut berarti korban tsunami yang berserah diri pada Allah SWT. saat tsunami melanda.
Bagaimana Penderitaan Psikologis yang Dialami Korban Pasca Bencana Tsunami Aceh 2004?
ADVERTISEMENT
Bencana apapun itu tentu akan membuat korban penyintas mengalami suatu reaksi psikologis. Pasca bencana melanda suatu daerah, korban akan merasakan gejala seperti sedih, bingung, shock, tidak percaya, bingung, pandangan kosong, sulit konsentrasi, cemas, takut, serta marah. Berbagai reaksi tersebut lumrah dirasakan oleh mereka yang tertimpa bencana, khususnya pada Tsunami Aceh 2004.
Reaksi Psikologis tersebut akan menjadi perilaku maladaptif bilamana tidak mendapat bantuan dengan segera. Jika gejala-gejala tersebut berlangsung lama di dalam diri korban penyintas bencana maka bagaimana ia berpikir, berperasaan, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-harinya akan terhambat. Hal inilah yang dinamakan gangguan psikologi pasca bencana. Berbagai contoh dari gangguan psikologis tersebut yaitu seperti Post-Traumatic Stress Disorder, Acute Stress Disorder, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Apa yang Bisa Dilakukan untuk Membantu Mengakhiri Penderitaan Psikologis Korban Pasca Bencana Tsunami Aceh 2004?
Korban yang selamat dari bencana tentu saja akan terkena dampak psikologis. Namun tingkat keparahan dari gangguan psikologis setiap orang akan berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena tinggi rendahnya ketangguhan seseorang terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
Gangguan psikologis yang paling umum diderita oleh penyintas bencana alam adalah trauma. Menurut American Psychiatric Association (dalam Hatta, 2015) trauma adalah stres atau tekanan yang meningkat sehingga menyebabkan gangguan pada emosi, perubaha perilaku, dan pemikiran sehingga membawa dampak kepada kehidupan sehari-harinya akibat peristiwa pahit ataupun mengerikan.
Gejala yang ditimbulkan oleh trauma yaitu gejala fisik seperti tubuh terasa panas, sulit menelan, kelelahan, perut terasa mual dan tidak nyaman, dada terasa sakit, dan detak jantung menjadi lebih cepat. Gejala kedua yaitu pada kognitif seperti bermimpi buruk, tidak fokus, dan curiga. Gejala berikutnya terjadi pada emosi (afektif) yaitu takut pada hal yang tidak logis, sering merasa bersalah, sedih, panik, ragu-ragu, dan murung. Gejala terakhir yaitu pada perilaku seperti menolak dan malas bergaul, tidak suka kegiatan, pendiam dan pemarah, kehilangan nafsu makan, perilaku berubah dari pola sebelum terkena peristiwa mengerikan.
ADVERTISEMENT
Trauma bisa dipicu karena mengalami dan melihat suatu peristiwa pahit atau mengerikan. Kehilangan seseorang, dalam konteks bencana tsunami seperti orang terdekat yang termasuk dalam korban jiwa akibat tsunami, bisa menyebabkan seseorang terkena trauma. Selain kehilangan orang terdekat, kehilangan pekerjaan dan harta benda juga membuat seseorang menjadi trauma. Perilaku yang ia tampilkan akan berbeda sebelum ia mengalami kehilangan-kehilangan di hidupnya tersebut. Jika trauma sudah mengganggu kehidupan sehari-harinya, maka perlu ditindaklanjuti oleh pihak profesional. Kita bisa mengantisipasi trauma yang semakin membuat seseorang menjadi maladaptif dengan dilakukan pertolongan pertama pada kondisi psikologis penyintas. Pertolongan pertama untuk memulihkan trauma para penyintas bencana tsunami tersebut merupakan tugas yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia kesehatan, khususnya psikologi. Jika kondisi psikologis para korban penyintas bencana semakin memburuk, maka mereka akan terhambat dalam bertahan hidup dan beradaptasi setelah menghadapi tragedi mengenaskan di dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Adapun langkah yang bisa dilakukan untuk menangani psikologis para korban penyintas dengan memastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi terlebih dahulu. Kita bisa mengacu pada hierarki kebutuhan Maslow. Setelah dilakukan evakuasi korban dan pemeriksaan fisik pertama kepada para penyintas yang mengalami luka ringan sampai berat, dipastikan terlebih dahulu kebutuhan fisiologisnya seperti penyintas saat itu sedang kelaparan atau kehausan. Selanjutnya pastikan juga suasana pengungsian yang dihuni penyintas bisa membuatnya merasa nyaman dan aman.
Jika penyintas mengalami kesulitan mengatasi emosi yang meluapnya maka bisa disarankan menerapkan salah satu teknik PFA (Psychological First Aid) yaitu grounding techniques untuk membawa penyintas menuju ketenangan dan mengurangi kecemasan. Tujuan melakukan hal tersebut agar kondisi emosi penyintas menjadi lebih stabil. Jika emosi penyintas tersebut menjadi lebih stabil, maka sudah bisa membangun bonding antara relawan dan penyintas agar penyintas menjadi lebih terbuka dan membangun kepercayaan ke relawan. Jika kepercayaan tersebut sudah tumbuh, maka relawan bisa mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk membantu menangani kondisi psikologis penyintas. Perlu diperhatikan juga informasi mengenai faktor risiko gangguan psikologis sebelum, saat terjadi, dan pasca kejadian bencana.
Ketika semua informasi mengenai penyintas telah terkumpul dan masalah dari tipe dan jenis trauma penyintas sudah dipastikan, maka dapat dilakukan strategi untuk menindaklanjuti dari trauma penyintas tersebut. Berbagai strategi yang dapat dilakukan seperti memberikan terapi tertentu ataupun konseling sesuai kebutuhan. Namun dengan intervensi psikologis saja tidak akan cukup. Penyintas bisa dibantu untuk membangun relasi sosial dengan penyintas lainnya agar mereka nantinya bisa saling mendukung satu sama lain. Karena dukungan sosial bisa membuat seseorang merasa lebih dicintai, merasa dirinya berharga, dan diperlukan dalam suatu kelompok.
ADVERTISEMENT
Ketika kondisi psikologis penyintas pasca bencana perlahan sudah mulai membaik sehingga mereka harus diberikan psikoedukasi terkait trauma pasca bencana, upaya untuk mengurangi stres, dan meningkatkan perilaku adaptif. Perlu disampaikan juga pada keluarga penyintas lainnya mengenai menetapkan rutinitas yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis penyintas. Sehingga penyintas bisa memulihkan traumanya dengan aktivitas-aktivitas yang bisa ia lakukan sendiri. Penting untuk diinformasikan juga kepada penyintas saat traumanya kembali muncul dan mengganggu kesehariannya maka ia harus segera menghubungi layanan kesehatan atau layanan psikologis terdekat. Karena trauma tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, penanganan yang dilakukan psikologis hanya agar penyintas bisa beradaptasi dengan baik dan bisa beraktivitas dengan adaptif.
Referensi
Hatta, K. (2015). Peran orangtua dalam proses pemulihan trauma anak. Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 1(2), 57-74.
ADVERTISEMENT
Mohammadi, M. R., & Mirzamani, S. M. (2007). Psychological aspects of disaster. Iranian Journal of Psychiatry, 2(1), 1-12.
Vernberg, E. M., Steinberg, A. M., Jacobs, A. K., Brymer, M. J., Watson, P. J., Osofsky, J. D., ... & Ruzek, J. I. (2008). Innovations in disaster mental health: Psychological first aid. Professional Psychology: Research and Practice, 39(4), 381.