Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Etnis Papua dalam Imperfect The Series: Potret Samar dari The Other
3 Januari 2023 15:19 WIB
Tulisan dari Syifa Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dengan cerita yang berbeda, serial ini menawarkan kisah sehari - hari dari 4 gadis kos, yaitu Neti (Kiki Saputri), Prita (Aci Resty), Endah, dan Maria (Zsa Zsa Utari) yang dikemas secara lebih ringan. Saya sendiri melihat bahwa sajian alurnya sangat menarik untuk dikaji, terutama dengan adanya kombinasi aspek drama dan komedi.
Jika ditelaah lebih dalam, Imperfect The Series menyuguhkan cultural value dari para pemerannya. Perbedaan paling menonjol yang saya lihat adalah sosok Maria. Dia merupakan pendatang baru dari Papua yang merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
Berkaca dari poin tersebut, masih ada hal samar yang dapat saya sorot tentang Papua dalam dekapan serial drama komedi ini.
Pembentukan Citra Etnis Papua dalam Imperfect The Series
Saat ini, industri film Indonesia masih bersifat Jawa sentris, terutama Jakarta (Stefanie, 2022). Perspektif yang diambil rata-rata bersumber dari pihak mayoritas di Jawa, termasuk cerita pada Imperfect The Series. Mereka punya power dalam penciptaan karya.
ADVERTISEMENT
Pada serial ini, potret Maria secara fisik adalah gadis berkulit gelap dan berambut keriting. Well, sebuah appearance yang memang melekat dengan pandangan orang-orang secara umum tentang Papua. Ditambah dengan lingkungan berlatar Jakarta, Maria semakin terlihat jelas sebagai minoritas dari luar Jawa dengan ‘ciri khas’ Papua yang kental. Do you also see that?
Lebih jauh lagi, saya mengamati bagaimana Imperfect The Series menyajikan watak Maria. Image utamanya adalah penganut Kristen yang sangat religius, berjiwa solid, tangguh, dan berani. Dia seperti pahlawan bagi tokoh lain.
Di sisi lain, saya juga melihat beberapa image pendukung yang menjadi sisi komedi Maria.
Maria diposisikan sebagai orang yang agak udik, awam dengan kehidupan orang Jawa yang terkesan lebih modern. Hal tersebut berkaitan dengan dirinya yang tergolong jauh dari pendidikan. Pada unsur ini, saya tertuju pada scene komedi saat Neti, Prita, dan Endah mengajarkan Maria cara menggunakan fasilitas kosan yang belum pernah ia temukan. Ada juga scene komedi lainnya saat dia tidak tahu cara menggunakan ponsel, terutama versi smartphone. Coba deh kita lihat berdasarkan realita, di zaman sekarang ini orang-orang Papua dan daerah luar Jawa lainnya juga sudah semakin maju dengan kehidupan yang lebih meningkat, tapi kenapa media film terus membuat stereotip orang Papua yang selalu paling tertinggal? Media film seakan-akan menggiring perspektif bahwa etnis Papua punya tingkat lebih rendah. Tingkah udik Maria yang dijadikan bahan komedi ini agak berlebihan bagi saya sebagai penonton.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hal lain yang menyita perhatian saya adalah sosok Maria yang pemberani ini didukung oleh dirinya yang mudah emosi dan galak, cenderung melibatkan tendensi agresivitas. Gambaran ini didukung oleh tokoh figuran bernama Joseph, kakak laki - laki Maria yang juga hidup di Jakarta. Scene Maria memarahi para customer lokal restoran habis-habisan atas hal kecil sampai mereka ketakutan dan dia dihentikan sebagai pelayan karena mengganggu kenyamanan, serta saat Joseph menggunakan kekerasan untuk mengancam orang lokal dengan penuh emosi, merupakan image pendukung yang dibalut komedi sehingga terlihat lebih ringan. Di balik itu, saya menyoroti adanya stigma ‘orang Papua galak’ yang terus disampaikan media film. Hal ini bisa menimbulkan prejudice nyata di benak khalayak. Mereka masih saja ditampilkan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang lain di beberapa titik yang mungkin tidak disadari penonton secara langsung, alias berbentuk kamuflase.
ADVERTISEMENT
Konsep The Other
Maria yang terlihat paling udik, kurang berpendidikan, dan galak merupakan stereotip negatif yang tidak henti mengarah pada etnis Papua dengan ciri khas kulit hitam dan rambut keriting. Mereka seakan-akan memang ‘berbeda’. Karakteristik tersebut tampaknya didesain untuk melengkapi hiburan. Namun, semua itu bisa saja berpotensi menjadi interpretasi penonton. In the other words, media film secara lowkey masih menciptakan potret The Other. Tidak begitu terlihat, namun nampak.
The Other adalah istilah yang diidentifikasi oleh Edmund Husserl, seorang penemu fenomenologi. Berdasarkan Brooklyn Academic (2009), konsep ini mengacu pada suatu grup atau kelompok as being different in some fundamental ways. Mereka hampir selalu dilihat sebagai golongan inferior, dianggap lebih rendah dan berbeda. Di masyarakat, mereka dicirikan kurang cerdas dan kurang bermoral, bahkan dapat dianggap sebagai bagian yang membahayakan. Posisi mreka berada di titik marjinal, baik dari segi ras maupun budaya. Di serial ini masih ada sebuah bayangan samar yang tergambar bahwa orang Papua itu relatif berbeda, rendah, bahkan berbahaya.
ADVERTISEMENT
Penggambaran stereotip serupa yang berkaitan dengan konsep The Other dapat ditemukan di film-film yang telah tayang sebelumnya. Sebuah penelitian (Tuhana, 2012) tentang serial berjudul Keluarga Minus (2011) memuat pemaparan bahwa tokoh utama yang bernama Minus adalah orang Papua dengan kulit gelap dan rambut keriting, yang mana pemikirannya masih dianggap primitif, serta tergolong bodoh jika dibandingkan tokoh-tokoh lain yang berasal dari Jakarta sebagai latar kota serial tersebut. Penelitian lainnya (Larasati, 2014) yang fokus pada film Lost in Papua (2011) menunjukkan hasil bahwa film ini menggambarkan betapa tertinggalnya peradaban etnis Papua di sana dengan potret suku tradisionalnya yang masih minim busana, bahkan identik dengan kekerasan. Sementara itu, para tokoh explorers dari Jawa digambarkan sebagai orang-orang modern.
ADVERTISEMENT
Dari dulu hingga sekarang, gambaran di media film hampir selalu demikian. Ada boundaries yang dilukis sebagai pembeda antara kelompok dari Jawa sebagai mayoritas dengan etnis Papua sebagai minoritas yang menjadi ‘orang lain’, tidak dikategorikan dalam kata ‘kita’.
Peran Media Film dalam Representasi Etnis Papua
Beberapa tahun ke belakang, isu-isu dengan highlight Papua pernah menjadi topik kritis. Image mereka yang galak, keras, dan kurang berpendidikan menyebabkan adanya perilaku diskriminatif masyarakat. Fenomena yang sering disorot media adalah perilaku diskriminatif masyarakat lokal Yogyakarta pada para pelajar Papua. Dilansir dari sebuah penelitian (Sulaeman, 2017), selain karena warna kulit yang berbeda, mereka didiskriminasi karena berpotensi untuk berbuat onar dan kekerasan. Pendatang dari Papua tampak berada di posisi The Other yang menjadi pengecualian di antara para pendatang dari daerah lain.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya fenomena tersebut, media film yang telah erat dengan masyarakat Indonesia seharusnya bisa menciptakan karya hiburan dengan potret yang lebih terbuka saat mengangkat identias etnis Papua, tidak hanya mengambil point of view pihak mayoritas, tetapi juga melakukan research lebih dalam tentang Papua saat ini. Media film tidak sepatutnya terus menggiring khalayak pada bayangan stereotip negatif tentang etnis Papua yang bisa menciptakan prejudice dan diskriminasi secara berkepanjangan dari waktu ke waktu.
It should not work in that way.