Konten dari Pengguna

Kita Seorang ‘Impostor’ di Kehidupan Nyata?

Syifa Febriyanti
Psychology student at Brawijaya University.
21 Desember 2020 5:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syifa Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Game 'Among Us'. Foto: Pinterest
zoom-in-whitePerbesar
Game 'Among Us'. Foto: Pinterest
ADVERTISEMENT
Di tahun 2020 kita semua pasti mengenal game yang akhir-akhir ini sedang ramai dimainkan oleh para generasi muda, yaitu game Among Us. Game ini memiliki karakter impostor di dalamnya yang bertugas untuk menipu, mengacaukan permainan secara diam-diam bahkan sampai membunuh karakter lainnya untuk menang. Tetapi tahukah kalian bahwa di kehidupan nyata kita bisa menjadi karakter impostor itu sendiri? Dalam dunia psikologi fenomena itu dikenal dengan istilah ‘Impostor Phenomon’ atau impostor syndrome.
ADVERTISEMENT
Impostor syndrome adalah sebuah kondisi dimana seorang individu merasa bahwa dirinya telah ‘menipu’ banyak orang akan prestasi yang diraihnya, seorang impostor akan merasa tidak percaya pada keterampilan, bakat, dan pencapaian yang mereka miliki. Mereka lebih mempercayai bahwa hasil baik yang mereka peroleh itu hanya karena faktor keberuntungan semata bukan karena kemampuan mereka sendiri.
Konsep dari impostor syndrome ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 oleh Paulinne R. Clance dan Suzanne A. Imes, yang berprofesi sebagai psikolog klinis. Clance dan Imes memperkenalkan fenomena ini dengan istilah ‘Impostor Phenomon’. Dalam American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual kondisi ini tidak digolongkan sebagai penyakit kejiwaan, namun dapat ditemukan terjadi pada banyak individu dan jika terjadi secara terus-menerus sindrom ini dapat menimbulkan gangguan kecemasan, stres, bahkan depresi.
ADVERTISEMENT
Ada tiga tipe perilaku yang kerap dijumpai dalam pribadi seorang impostor. Yang pertama, sebagian impostor bersikap lebih spesifik dan mengarah kepada kejadian di masa lalu. Contohnya, seorang impostor tipe ini akan berfikir bahwa tugas yang telah ia kerjakan kemarin memiliki banyak kekurangan, atau saat berdiskusi kemarin ia tidak memberikan kontribusi yang signifikan.
Tipe yang kedua yaitu mereka yang mengarahkannya kepada kejadian yang belum terjadi atau kejadian yang akan datang, ia akan merasa bahwa untuk tugas atau kegiatan berikutnya ia tidak akan dapat melakukannya dengan baik. Pola sentral pemikiran seorang impostor tipe kedua ini adalah dimana ia merasa bahwa dirinya telah melakukan sesuatu dengan baik hari itu, tetapi semua kerja kerasnya hanyalah hasil dari keberuntungan dan esoknya ia tidak akan se-sukses hari itu (Sakulku & Alexander, 2011).
ADVERTISEMENT
Sedangkan tipe ketiga lebih mengarah pada keterampilan atau bakat mereka, impostor tipe ketiga ini mengakui bahwa hasil kerja mereka membuahkan hasil yang baik dan begitu seterusnya, tetapi dibandingkan mempercayai bahwa hasil tersebut memang berasal dari kemampuan mereka sendiri mereka lebih mempercayai bahwa hasil baik mereka dihasilkan oleh faktor keberuntungan atau karena bantuan dari orang lain.
Pada awal penelitian Clance dan Imes, sindrom ini banyak ditemui pada wanita sukses yang memiliki prestasi tinggi, namun pada penelitian selanjutnya ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara gender dengan munculnya sindrom ini atau dengan kata lain laki-laki juga bisa menjadi impostor dalam kehidupan mereka (Buchalter, 1992; Harvey,1981; Topping & Kimmel, 1985; dalam Clark, Vardemen, & Barba, 2014). Bahkan sindrom ini tidak mengenal usia, artinya siapapun bisa mengalaminya. Individu yang mengalami sindrom ini tidak mau dilihat orang lain sebagai pribadi yang ‘gagal’, memiliki karakter yang perfeksionis, sangat memperdulikan pandangan orang lain, dan kerap merasa cemas saat menghadapi kesulitan dalam proses pembelajaran (Langford & Clance, 1993).
ADVERTISEMENT
Munculnya karakter impostor dalam pribadi seseorang sebetulnya berhubungan dengan sensasi-persepsi yang didapat dari orang lain. Contohnya saat seseorang mendengar orang-orang membicarakan bahwa dirinya adalah sosok yang pintar dan berprestasi berulang kali, maka terbentuklah persepsi dalam dirinya bahwa ia adalah orang yang pintar dan berprestasi. Dari sanalah mulai muncul tekanan yang membuatnya takut akan kegagalan saat menemui kesulitan dalam suatu hal. Rasa takut itu muncul karena ketakutan jika dirinya akan dilihat sebagai ‘penipu’ oleh orang lain jika ia gagal dalam suatu hal.
Contoh lainnya yaitu banyak kasus dimana para orangtua senang membanding-bandingkan anak mereka dengan orang lain, bahkan ada beberapa orangtua yang sering membandingkan anak mereka sebagai seseorang yang kurang pintar dibandingkan orang lain. Dalam kasus tersebut, persepsi bahwa dirinya tidaklah pintar akan tertanam dalam diri sang anak. Sehingga ketika sang anak mendapatkan prestasi dalam bidang akademik, ia tidak akan percaya bahwa hal tersebut adalah hasil dari kemampuannya sendiri karena telah terbentuk keyakinan bahwa dirinya bukanlah sosok yang pintar seperti apa yang ia dengar dari orangtuanya.
ADVERTISEMENT
Dari perilaku-perilaku yang dianggap simple itulah dapat mengubah persepsi orang lain terhadap dirinya sendiri yang kemudian memunculkan tekanan-tekanan yang dapat membangkitkan karakter impostor dalam diri mereka.
Lalu bagaimana cara agar kita bisa menghindari karakter impostor ini tumbuh dalam diri kita?
Karena pada dasarnya akar dari tumbuhnya karakter impostor ini adalah buah hasil dari pemikiran negatif akan diri kita sendiri, maka tahap awal yang harus kita rubah adalah pemikiran tersebut.
Mulai percaya pada dirimu sendiri. Percaya bahwa kamu dan segala hasil yang kamu dapatkan berasal dari kemampuan yang kamu punya. Kita bisa biasakan untuk berucap pada diri sendiri “Saya bangga dengan apa yang telah berhasil saya capai.” Dengan apresiasi kecil tersebut akan tumbuh rasa percaya akan kemampuan yang kita miliki.
ADVERTISEMENT
Buat daftar catatan. Kamu bisa mulai dengan menulis daftar mengenai hal-hal yang ingin kamu capai kedepannya. Mungkin saat menulis daftar tersebut pikiran bahwa apakah kita mampu untuk mencapainya tidak dapat kita hindari. Saat hal itu terjadi, tanyakan pada diri sendiri apa yang membuat kita bisa berpikir seperti itu. Dari sana kita bisa tahu jika memang ada yang harus kita perbaiki atau itu hanyalah kecemasan belaka.
Tanamkan jika kesempurnaan bukan segalanya. Cobalah untuk menanamkan pemahaman jika kesempurnaan bukanlah hal utama yang harus kita raih, sebaliknya dibandingkan kesempurnaan hal yang paling utama adalah usaha yang terbaik. Ketika kita mengejar sebuah hasil dengan pemikiran bahwa yang harus kita lakukan adalah usaha terbaik yang kita miliki, maka tidak akan ada tekanan dan rasa cemas akan kegagalan.
ADVERTISEMENT
Sifat dari karakter impostor ini merupakan gejala umum yang mungkin sering kita rasakan. Oleh karena itu, jika kamu merasa bahwa dirimu memiliki impostor syndrome jangan takut untuk mengkonsultasikannya dengan psikolog atau tenaga professional terkait kesehatan mental lainnya. Karena jika salah ditangani, hal ini bisa berkembang menjadi gangguan kesehatan jiwa lainnya yang lebih parah seperti gangguan kecemasan sampai depresi.
Daftar Pustaka
Wulandari, A. D., Tjundjing, S. (2007). Impostor Phenomon, Self-Esteem, Self-Efficacy. Indonesia Psychology Journal, 23(1), 63-67. Retrieved from http://repository.ubaya.ac.id/23841/1/V_023_N_001_A_008.pdf
Hawley, K. (2019). I—What Is Impostor Syndrome?. Aristotelian Society Supplementary Volume, 93(1), 203-226. doi:10.1093/arisup/akz003
Ati, E. S., Kurniawati, Y., Nurwanti, R. (2015). Peran Impostor Syndrome Dalam Menjelasakan Kecemasan Akademik Pada Mahasiswa Baru. Jurnal Mediapsi, 1(1), 1-9. doi:10.21776/ub.mps.2015.001.01.1
ADVERTISEMENT
Bennet, J. (2019, June 4). How to Overcome ‘Impostor Syndrome’. The New York Times, Smarter Living, p. TP6. Retrieved from https://www.nytimes.com/guides/working-womans-handbook/overcome-impostor-syndrome