Konten dari Pengguna
Pembatasan Impor BBM SPBU Swasta, Antara Kebijakan dan Potensi Monopoli Pasar
20 September 2025 9:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Pembatasan Impor BBM SPBU Swasta, Antara Kebijakan dan Potensi Monopoli Pasar
Pembatasan impor BBM bagi SPBU swasta berdampak pada kelangkaan pasokan, harga, dan pekerjaan, meski pemerintah klaim untuk stabilitas energi.Syifa Nur Syiami
Tulisan dari Syifa Nur Syiami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memperlakukan pembatasan impor bahan bakar minyak (BBM) bagi badan usaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta. Kebijakan ini membatasi kenaikan impor BBM jenis bensin non-subsidi maksimal 10% dari volume penjualan tahun sebelumnya. Misalnya, pada tahun 2025, tambahan kuota impor bagi SPBU swasta seperti Shell dan BP-AKR berkisar antara 7.000 hingga 44.000 kiloliter, sementara PT Pertamina Patra Niaga memperoleh tambahan volume sekitar 613.000 kiloliter.
ADVERTISEMENT
Pembatasan ini telah menyebabkan kelangkaan pasokan BBM di SPBU swasta, terutama di wilayah-wilayah tertentu. Sejak akhir Agustus 2025, beberapa SPBU swasta mengalami kekurangan stok dan terpaksa menyesuaikan jam operasional serta jumlah karyawan. Akibatnya, konsumen menghadapi keterbatasan pilihan dan potensi kenaikan harga BBM.
Di sisi lain, Kementerian ESDM menyatakan bahwa kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk memonopoli pasar. Mereka menegaskan bahwa impor BBM tetap diperbolehkan untuk badan usaha swasta, hanya saja dilakukan pengaturan agar tidak terjadi over supply yang dapat merugikan stabilitas energi nasional. Pemerintah juga beralasan bahwa langkah pembatasan impor diperlukan karena kondisi global sedang bergejolak, terutama terkait harga minyak dunia yang tidak stabil. Pernyataan ini sekaligus menjadi bantahan atas anggapan bahwa Pertamina diberi posisi dominan secara sengaja.
ADVERTISEMENT
Namun, pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa mekanisme impor satu pintu melalui Pertamina berpotensi menimbulkan masalah dalam persaingan usaha. Dalam teori ekonomi mikro, pasar yang sehat seharusnya memberi kesempatan yang sama bagi setiap pelaku. Ketika salah satu pihak memiliki kontrol lebih besar terhadap suplai, potensi diskriminasi harga dan keterbatasan distribusi bisa terjadi kapan saja. Situasi ini memperlihatkan bahwa tujuan menjaga pasokan stabil sering kali berbenturan dengan prinsip persaingan usaha yang adil.
Selain itu, pegawai SPBU swasta juga ikut turut terdampak. Ketika pasokan BBM terganggu dan penjualan menurun, bisa terjadi risiko pemutusan hubungan kerja jika kondisi berlarut-larut. Dalam laporan ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan, sektor ritel energi termasuk dalam kategori rawan terhadap fluktuasi pasar, sehingga pembatasan impor berpotensi langsung memengaruhi stabilitas pekerjaan. Jika SPBU swasta kesulitan bertahan karena keterbatasan pasokan, maka ribuan pegawai yang bekerja di lini operasional maupun manajerial terancam kehilangan mata pencaharian.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini memang lahir dari niat pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional, namun pelaksanaannya kurang tepat. Jika terus dipaksakan, risiko yang muncul akan besar dan banyak pihak yang terdampak. Masyarakat seharusnya memiliki hak untuk bebas memilih dan membeli bahan bakar dari penyedia lain. Jika kebijakan ini tetap diteruskan, hal ini dapat termasuk dalam kategori monopoli pasar, karena pemerintah terlihat sangat condong pada Pertamina dan sangat membatasi peran SPBU swasta. Kondisi ini justru berpotensi merugikan perekonomian jangka panjang, karena pasar BBM akan semakin terkonsentrasi pada satu pelaku dominan. Pemerintah sebaiknya mencari jalan tengah agar stabilitas pasokan tetap terjaga tanpa mengorbankan prinsip persaingan sehat maupun hak pekerja.

