Konten dari Pengguna

Sekala Niskala: Duka Tanpa Air Mata

16 Maret 2018 15:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syifa Nuri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekala Niskala: Duka Tanpa Air Mata
zoom-in-whitePerbesar
Bicara soal film drama mengharukan, yang paling pertama muncul di benak saya adalah adegan tangisan deras atau teriakan merana. Entah menangisi orang yang meninggal, kekasih yang kabur, atau drama kehidupan lainnya. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dibuat menangis ketika menonton film. Dari mulai menangis sesenggukan, menangis dalam diam, sampai menangis sambil marah-marah. Semua tangisan saya dipicu oleh para aktor yang secara brengsek bisa mengirimkan pesan kesedihan mereka dengan sukses pada saya.
ADVERTISEMENT
Namun, semua tangisan saya itu enggak ada artinya jika dibandingkan dengan kesedihan yang saya rasakan ketika nonton film Sekala Niskala hari Senin kemarin. Film karya Kamila Andini yang sekarang baru saja diputar secara terbatas di beberapa bioskop di kota tertentu saja, sukses membuat saya sedih luar biasa tanpa meneteskan air mata sedikit pun. Film ini gila, magis, indah, dan dalam.
Sekala Niskala bercerita soal kembar buncing (berbeda jenis kelamin) bernama Tantri dan Tantra yang tinggal di suatu daerah di Bali. Kedua anak ini begitu dekat, saling melengkapi, saling mengerti. Kamila Andini menggambarkan hubungan Tantri dan Tantra ibarat telur. Putih dan kuning. Tantri putih, Tantra kuning. Telur yang sejak awal terbentuk memiliki dua elemen berbeda, tapi saling melengkapi, membentuk suatu kehidupan.
ADVERTISEMENT
Sekala Niskala sendiri adalah filosofi masyarakat Bali, tentang dua dunia paralel. Dunia nyata, dan dunia magis. Dua dunia ini memang bukan hal yang aneh dalam masyarakat Indonesia. Kehidupan beragama sendiri menghasilkan pemahaman bahwa dua dunia paralel ini memang ada. Dan itulah inti dari film ini. Bagaimana Tantri yang sedang mengalami tahap berduka berupa penolakan dan isolasi, menciptakan Niskala-nya sendiri.
Tantri menciptakan Niskala ketika dirinya menyadari bahwa Tantra, si saudara kembar, jatuh sakit. Dirinya yang mencuri dengar percakapan kedua orang tuanya tentang Tantra yang sakit keras, membuat Tantri berusaha untuk “menghidupkan” Tantra dalam dunia ciptaannya. Dari awal adegan, Tantri terlihat menolak menengok Tantra di ranjang rumah sakit. Sebelumnya pun, Tantri seperti sudah tahu bahwa meninggalnya Tantra sudahlah pasti, dan ia harus melakukan sesuatu untuk menjaga Tantra tetap “hidup”.
ADVERTISEMENT
Dalam Niskala rekaan Tantri ini, ia berusaha untuk membawa kembali Tantra ke dalam Sekala. Hal itu ia sampaikan uniknya bukan dalam dialog. Tantri menari, mementaskan seni penuh makna, sambil mengajak main adiknya yang sedang sekarat. Setelah Tantri menciptakan Niskala, menariknya film ini terus berjalan sambil memperlihatkan bahwa Sekala dan Niskala berjalan beriringan, sangat nyata seperti apa yang kita alami sehari-hari. Realitas dalam Sekala dan Niskala seakan bercampur menjadi satu. Kamila membuat hilang batasan antara dunia realitas dan dunia magis.
Dalam Niskala, Tantri bisa dengan kuat menyampaikan rasa duka mendalamnya terhadap Tantra melalui gerakan tarian luar biasa yang merupakan usaha Tantri untuk membangunkan Tantra. Misalnya ketika tarian ayam yang terinspirasi dari ritual tajen yang sebelumnya Tantri saksikan. Tantri dan Tantra yang menari seperti benar-benar tengah beradu, sampai Tantri jatuh dari ranjang rumah sakit dan tergeletak di bawah dan menunjukan ia sudah kalah. Kekalahan itu merupakan perwujudan dari satu kalimat Tantri yang menunjukan bahwa, tak mengapa ia kalah, selama Tantra yang mengalahkannya.
ADVERTISEMENT
Lalu ketika tarian monyet di akhir film, Tantri yang terinspirasi dari monyet yang ia temukan di pinggir pantai, terus menari dan menari dengan penuh amarah tanpa memedulikan Tantra yang sudah tak bisa lagi meresponnya. Bahkan tidak dalam Niskala. Tantra sudah kehilangan seluruh fungsi inderanya bukan lagi di Sekala, tapi di Niskala. Itu sekaligus menandakan Tantri yang mulai menerima perginya Tantra. Tantri menarikan tarian monyet, yang dalam kisah ksatria di masyarakat Indonesia biasanya digambarkan sebagai seorang ksatria, dengan mengerahkan kemampuan terakhirnya, sisa napas terakhirnya untuk membangunkan Tantra.
Sekala Niskala pun punya sinematografi yang luar biasa indah, bergaya surealis, untuk mengerjemahkan berbagai rekaan Tantri tentang Niskala. Hal-hal rekaan ini mampu digambarkan dengan sangat tepat, tentang betapa bulan purnama yang digemari Tantri dan Tantra jadi simbolisasi “hidup” Tantra. Ketika semakin lama film berjalan, cahaya bulan semakin redup. Menandakan hidup Tantra yang semakin hilang. Sampai di akhir film, matahari terbit dengan Tantri yang menyambutnya, menunjukan akhir “hidup” Tantra dan penerimaan Tantri akan hilangnya hal itu.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu semua, Sekala Niskala sampai sekarang jadi film yang paling impas buat saya karena saya nonton dari deretan L, terbawah paling dekat ke layar. Saya sama sekali tidak menyesal menonton film gila ini sambil mendongak sampai pusing. Sekala Niskala bisa memberikan pesan duka yang luar biasa mendalam, yang dirasakan oleh seorang anak terhadap saudara sedarahnya, tanpa menggunakan setetes pun air mata. Setidaknya tidak ada air mata mengalir dari mata Tantri, berbeda dengan sang ibu yang tentu saja bersikap kuat dan menangis diam-diam ketika sedang memasak di dapur. Saya bisa dengan puas keluar dari bioskop, dan tersenyum senang, tapi hati saya menangis kencang karena bisa dengan nyata merasakan duka mendalam Tantri yang kehilangan bagian kuning dari telurnya.
ADVERTISEMENT