Konten dari Pengguna

Peran Budaya dalam Membangun Karakter di Tiongkok

Syifa Syarifa
A graduate in Human Rights & International Politics, University of Glasgow.
9 Juni 2021 12:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syifa Syarifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi digital natives, penulis sangat aktif berselancar di media sosial baik instagram, twitter dan youtube. Selain dapat membangun jejaring yang lebih luas, media sosial juga dapat menjadi ajang diskusi dalam menyikapi berbagai fenomena yang terjadi pada masyarakat lokal maupun internasional. Dari media sosial pula, penulis menyadari bahwa akhir-akhir ini sebagian dari masyarakat kita mudah tersulut emosi dan terkesan pendek sumbu. Penyebabnya beragam, mulai dari saling hujat idola masing-masing hingga perbedaan argumen dalam menyikapi fenomena sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pemilihan kata yang digunakan terkadang seperti tidak ada opsi lain, selain kata-kata kasar, kotor dan merendahkan. Puncaknya adalah saat Digital Civility Indeks (DCI) yang dirilis Microsoft baru-baru ini menunjukkkan bahwa tingkat kesopanan digital netizen Indonesia menduduki urutan terbawah se-Asia Tenggara. Miris bukan? Padahal, bangsa kita awalnya dikenal sebagai bangsa yang senantiasa beramah-ramah, bukan bermarah-marah. Keadaan yang terus menerus seperti ini berpotensi menyebabkan perpecahan dan ketidakpercayaan pada bangsa sendiri, bahkan dapat memberi celah untuk kembali dijajah bangsa lain. Hal ini sebagaimana ungkapan Soesanto Tirtoprodjo, “Riwayat sejarah negara kita telah memberi pelajaran, bahwa jatuhnya bangsa kita ke dalam lumpur penjajahan ialah adanya perceraian diantara bangsa kita sendiri” (Pringgodigdo, 1945; Kusuma, 2004: 111).
Ilustrasi Cyberbullying. Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Cyberbullying. Sumber: Freepik
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat berakar dari melemahnya karakter Bangsa Indonesia. Perlu digarisbawahi bahwa karakter suatu bangsa sangat mempengaruhi kualitas bangsa tersebut. Jika karakter yang dimiliki baik dan kuat, maka bangsa tersebut adalah bangsa yang kuat. Sebaliknya, jika karakter yang dimiliki lemah, maka bangsa tersebut adalah bangsa yang lemah dan dapat memberi celah untuk dijajah bangsa lain. Karakter yang baik perlu dibentuk sejak muda. Sebab, kegagalan pembentukan karakter pada usia muda akan berdampak pada pribadi yang bermasalah di usia dewasa.
ADVERTISEMENT
Pembentukan karakter bagi generasi muda dapat disampaikan melalui Pendidikan Generasi Muda (PGM). Istilah ini mungkin masih terdengar sedikit asing bagi sebagian orang. Sebab, biasanya orang-orang hanya mengenal Pendidikan Karakter. Padahal, di samping Pendidikan Karakter, juga ada Pendidikan Generasi Muda (PGM). Secara subtansi, keduanya hampir sama. Perbedaanya, ada pada subjek didik PGM yang memfokuskan sasarannya pada generasi muda. Secara sederhana, generasi muda yang dimaksud adalah mereka yang berusia 15-35 tahun. Adapula yang mengatakan bahwa batasan usia muda ialah 32 tahun.
Sayangnya, model pembelajaran PGM masih sedikit dan belum banyak yang mengembangkannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengembangan model pembelajaran PGM yang diadopsi dari nilai-nilai positif masyarakat lokal maupun internasional. Misalnya dari nilai-nilai pada Masyarakat di Cina, atau yang sekarang dikenal dengan Tiongkok. Kita mungkin tidak asing dengan hadist yang berbunyi “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina" Meskipun hadist tersebut diragukan sanadnya, hal ini dapat menunjukkan bahwa sejak dulu pendidikan di Tiongkok sudah dapat dikatakan maju.
Ilustrasi Negara Tiongkok. Sumber: Freepik
Sesama bangsa timur, tidak ada salahnya kita belajar dari Negeri Tiongkok. Meskipun memiliki ideologi yang berbeda, Tiongkok dan Indonesia memiliki karakteristik budaya yang hampir sama, yaitu budaya ketimuran. Tiongkok juga menjadi salah satu negara adidaya atau adikuasa potensial yang terus mengalami perkembangan dan berhasil menjadi kompetitor Negara Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Tiongkok juga mempunyai sejarah peradaban besar yang telah berkontribusi dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, sosial dan ekonomi. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas bagaimana sistem pendidikan di Negara Tiongkok. Sebab, penulis bukan agen sosialisasi pemerintah Tiongkok yang menguasai betul bagaimana sistem pendidikan di sana. Akan tetapi, tulisan ini akan mengeksplor bagaimana kebudayan Tiongkok dapat berkontribusi positif dalam membangun karakter yang baik bagi masyarakatnya terutama generasi muda.
ADVERTISEMENT
Kebudayaan Tiongkok biasanya identik dengan simbol naga dan ornamen-ornamen dengan hiasan serba merah. Di kalangan anak muda, biasanya yang paling populer adalah Shio, atau zodiak ala Tiongkok untuk menentukan nasib asmara, karir, kesehatan dan keberuntungan berdasarkan tahun lahir yang digambarkan dalam bentuk berbagai jenis hewan. Namun, kebudayaan Tiongkok tidak hanya mewujud pada benda-benda saja, melainkan juga mewujud pada diri setiap manusianya. Kebudayaan Tiongkok dapat dikatakan bersumber dari ajaran Konfusius yang banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Tiongkok. Berdasarkan ajaran Konfusius, dikenal adanya lima sifat mulia (wu chang), yakni: ren (cinta kasih), yi (kebenaran), li (kesusilaan), ci (kebijaksanaan), xin (kejujuran). Pertama adalah ren (cinta kasih), ajaran konfusius meyakini bahwa cinta kasih akan melahirkan segala kebaikan serta dianggap sebagai sesuatu yang bersifat timbal balik. Contoh dari perilaku ren, adalah atasan yang menghargai bawahannya, maka akan dihargai kembali oleh bawahannya. Seorang suami yang mencintai istrinya maka akan dicintai kembali oleh istrinya, begitupun seorang ayah yang mencintai dan mengasihi anaknya akan dicintai dan dikasihi kembali oleh anaknya. Segala sesuatu harus dilakukan dengan didasarkan pada perasaan cinta kasih sehingga apa yang diperoleh adalah sesuatu yang baik adanya.
ADVERTISEMENT
Kedua, yi (kebenaran). Prinsip kebenaran adalah salah satu hal yang penting dalam kehidupan. Ketika kehidupan sudah jauh dari kebenaran maka akan timbul kekacauan seperti perilaku korupsi, pelanggaran hukum dan ketidakadilan yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, setiap perilaku perlu diselaraskan dengan mempertimbangkan adanya benar dan salah. Ketiga adalah li (kesusilaan), ukuran etika yang menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku. Li diwujudkan melalui perilaku yang susila dengan mengindahkan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Selain itu, li juga diwujudkan melalui sopan santun, tata krama dan budi pekerti baik kepada orang tua, teman sebaya, maupun mereka yang lebih muda.
Keempat, ci (kebijaksanaan). Prinsip ini menghendaki perilaku yang bijaksana dengan mempertimbangkan setiap keputusan yang diambil, senantiasa berorientasi pada masa depan dan memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Sikap dan perilaku yang bijaksana akan menghindarkan seseorang dari segala kemungkinan buruk yang terjadi. Tentunya, kebijaksanaan ini juga harus didasarkan pada kepentingan bersama, sehingga tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Kelima, xin (kejujuran). Kejujuran menjadi hal yang penting karena bertemali dengan kepercayaan. Seseorang yang tidak jujur akan kehilangan kepercayaan dari orang lain. Prinsip kejujuran harus senantiasa diterapkan dalam berbagai hubungan baik hubungan kerja, hubungan rumah tangga atau keluarga, hubungan pertemanan maupun hubungan sosial di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain lima sifat mulia (wu chang), dikenal pula delapan kebajikan (ba de) yang meliputi: 1) Xiao (bakti), yaitu senantiasa berbakti kepada orang tua, guru dan leluhur yang sudah meninggal. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, ketidakberbaktian akan berakibat pada terhambatnya rezeki. 2) Ti (rendah hati), tidak menyombongkan diri dan senantiasa menghormati setiap orang. 3) Zhong (setia), yaitu setia kepada pasangan, atasan, kerabat dan negara. 4) Xin (dapat dipercaya), dengan senantiasa bertindak jujur untuk menjaga kepercayaan orang lain. 5) Lin (susila), dengan memiliki sopan santun, tata krama dan budi pekerti. 6) Yi (bijaksana), yang dijalani dengan berpegang teguh pada kebenaran dan kepentingan bersama. 7) Lian (suci hati), yaitu menjaga kesucian diri untuk tidak melakukan tindakan yang menyimpang. 8) Chi (tahu malu), yaitu senantiasa mawas diri dan merasa malu jika melanggar aturan.
ADVERTISEMENT
Karakter-karakter tersebut diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi oleh setiap orang tua kepada anaknya. Sebab, mereka meyakini bahwa keluarga memainkan peran penting dalam membangun negara yang kuat dengan mempercayakan keluarga untuk turut membangun karakter dan kepribadian yang baik pada anak-anaknya. Dengan demikian, generasi-generasi tersebut diharapkan tidak hanya berbakti kepada orang tua, tetapi juga kepada negara. Upaya-upaya tersebut dapat diterapkan di Indonesia dengan memanfaatkan warisan budaya dan kearifan lokal yang ada di berbagai daerah. Meskipun kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah beragam, tetapi secara umum memiliki esensi dan nilai-nilai yang sama, yaitu nilai-nilai yang arif. Sudah seharusnya, budaya dan kearifan lokal di Indonesia berkontribusi bagi pembentukan karakter generasi mudanya sebagaimana peran budaya dalam membangun karakter di Negara Tiongkok.
ADVERTISEMENT