Konten dari Pengguna

Sitti Nurbaya: Cerminan Konflik Budaya di Minangkabau

Syifa Syauqiyah Annur
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
21 Juni 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syifa Syauqiyah Annur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Novel "Sitti Nurbaya" (sumber: memotret sendiri)
Penulis: Marah Roesli
Tahun terbit: 1922
Nama Penerbit: Balai Pustaka
ADVERTISEMENT
Jumlah Halaman: 386 Halaman
Harga Buku: RP. 190.000
Nomor ISBN: 978-979-407-167-0
Profil Penulis: Padang, 7 Agustus 1889, merupakan hari lahirnya sang penulis yang terkenal bernama Marah Roesli bin Abu Bakar. Gelar "Marah" di depan namanya diberikan oleh keluarga ayahnya yang bangsawan kepada dirinya sebab ibunya tidak memiliki gelar putri (bangsawan). Setelah ia lulus dari Rofdenschool 'Sekolah Raja' di bukittinggi, pada tahun 1910. Ia memiliki banyak prestasi sehingga gurunya menyarankannya untuk melanjutkan sekolahnya di Belanda, namun dengan alasan ia anak tunggal, maka orang tua nya tidak mengizinkannya untuk pergi. Marah Roesli pun melanjutkan sekolah Dokter Hewan di Bogor. Pada tahun 1911, ia menikahi gadis Sunda kelahiran Bogor dan memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Marah Roesli dianggap sebagai pengarang roman yang paling terkenal dalam sejarah Indonesia, ia memiliki banyak karya yang sangat memikat hati. Salah satu karya nya yang terkenal dan tak hilang tergerus zaman hingga saat ini yaitu novel "Sitti Nurbaya" yang dibuat olehnya pada tahun 1920 namun untuk membuat karya ini ia butuh waktu 2 tahun lamanya untuk menyelesaikan nya hingga karya ini lahir dengan sempurna dan hadir di tengah-tengah kita saat ini, bahkan cerita novel ini sudah tidak asing lagi di lingkungan kita. Marah Roeli meninggal pada 17 Januari 1968 di Bandung dan kemudian dimakamkan di Bogor.
ADVERTISEMENT
Sinopsis: Cerita novel "Sitti Nurbaya" tidak hanya mengisahkan betapa berat nya perjalanan cinta yang mereka lalui, namun konflik yang diangkat oleh penulis mengenai budaya yaitu adat istiadat yang selama ini diteladani oleh masyarakat di Minangkabau secara turun temurun dan kolonialisme pada masa tersebut. Tema ini merupakan tema tradisional karena terjadi pada masa kolonialisme. Cerita ini diawali dengan kisah persahabatan yang terjalanin sejak Nurbaya dan Samsulbahri masih kecil, namun tanpa mereka sadari semakin mereka tumbuh dewasa rasa persahabat yang mereka jalani dan rasakan berubah menjadi rasa sayang dan cinta untuk saling memiliki. Samsulbahri pun mengutarakan ungakapan isi hatinya dan meyakini bahwa sang pujaan hati pun memiliki perasaan yang sama besarnya dengan cinta yang ia miliki, diterimalah ungkapan rasa yang dimiliki Sam dengan senang hati oleh Nurbaya karena benar akan tebakan Sam bahwa Nurbaya pun memiliki cinta yang sama besarnya dengan cinta yang ia miliki. Sam yang berasal dari keluarga yang berkecukupan karena sang ayah yaitu Sutan Mahmud berprofesi sebagai seorang penghulu yang terkenal di Kampung halamannya. Sam pun memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolahnya di Betawi untuk menjadi seorang dokter. Setelah kepergiannya dapatlah ia sepucuk surat dari sang kekasih namun surat ini bukan berisikan surat cinta, namun kesedihan yang diutarakan oleh sang kekasih, isi surat yang disampaikan Nurbaya kurang lebih nya yaitu dia dijodohkan oleh Datuk Maringgi, seorang lelaki tua yang gila akan perempuan, tak baik budi pekertinya, paras, dan sedikit pula akal pikiran yang dimilikinya, kelebihan yang dimiliki lelaki tua ini hanyalah harta kekayaan yang melimpah. Singkat cerita Baginda Sulaiman yaitu ayah dari Nurbaya seorang saudagar yang jatuh miskin sebab sebuah bencana besar yang menimpa keluarganya sehingga terpaksa Sulaiman meminjam uang kepada Datuk Maringgi karena tak dapat mengembalikan hutang yang dimiliki nya sehingga Maringgi pun memberikan dua pilihan yaitu Baginda Sulaiman akan dipenjarakan dan semua harta yang saat ini ia miliki seperti rumah akan menjadi miliki Datuk Maringgi, atau Nurbaya, putri tercintanya yang cantik nan pintar akan menjadi istri selanjutnya. Nurbaya yang tak tega akan nasib sang ayah pun menyerahkan diri untuk menikah dengan Datuk Maringgi dengan penuh keterpaksaan dan tanpa rasa cinta sedikit pun.
ADVERTISEMENT
Setelah menerima surat tersebut kembali lah Sam ke Padang, ternyata benar akan berita yang disampaikan oleh Nurbaya bahwa ia sudah menikah dengan Datuk Maringgi. Karena rasa cinta yang mereka miliki belum pudar bahkan bertambah setiap harinya mereka pun bertemu untuk melepas kerinduan namun datanglah Datuk Maringgi dan beranggapan bahwa sang istri berselingkuh hingga terjadi keributan antara Maringgi dan Sam, berita ini pun terdengar hingga telinga Sutan Mahmud yaitu ayah dari Sambulbahri, ia pun merasa malu akan perbuatan yang dilakukan oleh anaknya, ia pun mengusir anaknya dari rumah walaupun tindakan ini sudah dilarang oleh Sitti Maryam sang istri, namun tak luluh pula ternyata hati Sutan Mahmud karena amarah dan rasa kecewa nya lebih besar dari pikiran seorang bapak terhadap anaknya pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Samsulbahri pun kembali ke Betawi untuk melanjutkan pendidikan. tak lama sejak kejadian itu dapatlah ia dua buah surat, surat ini kembali menyayat hatinya karena isi dari surat tersebut yaitu kabar duka dari kedua bidadari yang ia sangat cintai yaitu ibundanya dan sang kekasih Nurbaya, hancurlah hatinya hingga tak dapat berpikir mengakhiri hidupnya dan melakukan cara apapun untuk membalas kekejaman Datuk Maringgi.
10 tahun kemudian Samsulbahri menjadi Letnan Sam untuk membantu negara Belanda, sedangkan Datuk Maringgi sangat membela tanah air tempat kelahirannya dengan sepenuh jiwa hingga menjadi pelopor untuk membangkitkan semangat juang masyarakat di Padang agar daerah tersebut tidak dikuasai oleh penjajah. Hingga timbul lah peperangan dan pada saat itu bertemulah Sam dan Maringgi, awal pertemuan ini setelah sekian lama mereka tidak bertemu pun menjadi akhir dari pertemuan mereka, karena Sam membunuh Datuk Maringgi dengan pistol miliknya tepat di jantung Maringgi, sedangkan Maringgi menetak Sam dengan parangnya tepat pada kepala sam. Sutan Mahmud pun tak lama kemudian meninggal akibat kerinduan yang mendalam akan anak dan istrinya. Sudut pandang orang kedua sangat penting dalam cerita ini yaitu Sam yang mengambil alih perjuangan cinta setelah Nurbaya meninggal kan nya atas nama cinta yang selalu mengikat dua sejoli ini. Amanat yang terdapat dalam novel ini yaitu mengajarkan kita tentang betapa pentingnya sosok yang kita cintai sebagai penyemangat hidup dan salah satu tujuan untuk mengejar cita-cita.
ADVERTISEMENT
Kelebihan dan kelemahan: Novel ini sangat menarik bagi saya karena kita di bawa ke masa lampau dengan kondisi yang tidak baik-baik saja dan dengan konflik yang tiada habisnya, dibawakan dengan jelas Kekurangannya banyak menggunakan bahasa daerah yaitu Padang sehingga pembaca yang bukan berasal dari Padang merasa kesulitan untuk memahami maksud dengan lebih jelas, walaupun begitu karya ini merupakan salah satu karya Marah Roesli yang terbaik sepanjang masa menurut saya karena cerita ini tidak asing lagi dibahas dalam lingkungan kita hingga detik ini, dilengkapi dengan puisi yang sangat memperhatikan konteks dari keaslian puisi tanpa menyampingkan nilai sastra sedikit pun.