Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tunjangan Perumahan Anggota DPR vs Ancaman Tapera untuk Rakyat
14 Oktober 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari TAJUDDIN NABIL ALMAHDI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, sebanyak 580 anggota DPR tahun 2024-2029 telah dilantik pada Selasa 1 Oktober 2024 silam.
ADVERTISEMENT
Pelantikan tersebut berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 1206 Tahun 2024 Tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pemilihan Umum 2024.
Para pejabat ini bakal dipastikan akan mendapatkan tunjangan perumahan dalam masa periode mereka. Hal ini berdasarkan pada penandatanganan surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01//09/2024 pada 25 September 2024 lalu. Besar nominalnya memang belum diketahui secara pasti dan rinci. Namun yang jelas nominalnya berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 70 juta per bulan. Alasan pemberian tunjangan ini adalah anggapan rumah dinas DPR di Kalibata, Jakarta Selatan, dirasa sudah tak layak huni lagi.
Kabar ini pun langsung membuat kaget publik, mengingat nominal tunjangan yang akan diberikan sangatlah besar. Apabila diasumsikan per anggota DPR akan memperoleh 50 juta sebulan, maka dapat diperkirakan bahwa per orang adalah Rp 600 juta dalam setahun. Angka tersebut semestinya sudah cukup untuk memperoleh satu unit rumah lumayan bagus di daerah penyangga Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pemberian tunjangan ini juga diberikan secara langsung tunai dan dapat dikelola mandiri oleh setiap anggota Dewan. Dengan jumlah anggota sebanyak 580 orang untuk periode ini, maka negara harus menggelontorkan dana anggaran sebanyak Rp 348 miliar setahun. Sehingga dalam lima tahun masa jabatan, negara perlu mengeluarkan setidaknya RRp 1,740 triliun untuk tunjangan masing-masing anggota.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa kebijakan tersebut adalah tindakan pemborosan uang negara serta tidak menguntungkan kepentingan publik. ICW menduga bahwa perencanaan tersebut tidak mementingkan rakyat dan hanya untuk memperkaya anggota DPR saja.
Adapun argumentasi utama Sekjen DPR adalah agar para aggota Dewan lebih fleksibel dalam memilih rumas dinasnya sendiri. Padahal esensi awal pemberian rumah dinas bagi anggota Dewan yaitu agar menunjang kinerja kerja mereka. Sedangkan peralihan menjadi tunjangan yang awalnya pemberian rumah fisik, dapat menyebabkan kesulitan dalam mengawasi pemakaian tunjangan tersebut. Apalagi tunjangan langsung dikirim ke rekening pribadi penerima yang mana makin sulit lagi pengawasan pengelolaan dana tersebut.
ADVERTISEMENT
Potensi-potensi tadi menimbulkan kekhawatiran, apakah para anggota Dewan dapat bertanggungjawab dalam pengelolaan. Ataukah malah berdampak pada penyalahgunaan dan pemborosan anggaran. Mengingat dana yang digelontorkan berasal dari pajak masyarakat itu sendiri. Sebab itu, aspek pengawasan dan pengelolaan menjadi hal yang paling vital ketimbang fleksibilitas dalam memilih rumah sendiri sebagaimana argumentasi Sekjen DPR.
Oleh karena itu, ICW meminta agar:
Iuran Tapera
Di sisi lain, kebijakan tunjangan rumah anggota DPR ini memicu kecemburuan sosial. Hal ini dapat terjadi terutama mereka yang berasal dari kalangan buruh atau pekerja. Kebijakan tersebut dirasa tidak adil di mana anggota DPR dapat asyik menikmati tunjangan, sementara para buruh atau pekerja akan segera dipotong gajinya sebanyak 3 persen untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
ADVERTISEMENT
Peraturan Tapera sendiri merujuk terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera. Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa pekerja swasta akan dibebankan kewajiban Tapera, yang mana awalnya hanya wajib bagi para ASN, PSN, TNI, Polri, serta pegawai BUMN dan BUMD.
Iuran yang dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) ini menuai protes karena dianggap memberatkan para pekerja, yang gajinya sudah dipotong oleh program pemerintah lainnya, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan potongan iuran lainnya.
Para masyarakat pun juga mengkritik terkait tunjangan perumahan untuk DPR tersebut. Karena rasanya tidak adil ketika orang yang memiliki banyak uang mendapatkan tunjangan perumahan, sementara rakyat kecil dengan penghasilan pas-pasan, harus mengalami pemotongan gaji untuk perumahan yang tidak jelas kapan akan terwujud dan di mana lokasinya.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, rumah dinas bagi anggota DPR sebenarnya tidak begitu penting. Selama ini, rumah dinas di Kalibata pun jarang digunakan oleh para anggota DPR. Sebagian besar justru ditempati oleh staf atau orang dekat anggota Dewan tersebut.
Oleh karenanya, rencana pemberian tunjangan perumahan bagi anggota Dewan ini seharusnya dipertimbangkan kembali. Di tengah kondisi di mana masih banyak warga mengalami kesulitan, terlebih masalah keuangan menjadi hal yang sangat sensitif. Jangan sampai tunjangan perumahan ini justru memperlebar kesenjangan dan meningkatkan kecemburuan sosial.
Jikalau rumah dinas memang tetap diperlukan, maka DPR bisa melakukan perbaikan terlebih dahulu pada perumahan yang sudah ada di Kalibata. Perbaikan memang memakan biaya yang besar, tetapi kemungkinan tidak akan mencapai Rp 1,740 triliun.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Rencana pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR perlu dikaji kembali. Mengingat kebutuhan tunjangan memerlukan pengawasan pengelolaan anggaran serta apakah kebutuhan untuk membeli rumah dinas baru sangat diperlukan atau tidak. ICW juga menilai kebijakan tunjangan perumahan sebagai pemborosan anggaran dan mendesak pembatalannya, serta mengusulkan agar para anggota Dewan tetap tinggal di rumah dinas yang ada di Kalibata. Di sisi lain, masih ada rakyat yang memiliki berbagai permaslahan terutama masalah keuangan yang lebih penting untuk diselesaikan. Banyak rakyat kecil dengan penghasilan pas-pasan harus dipotong gajinya untuk rumah yang tidak jelas di mana dan kapan dibangunya. Oleh karena itu, diperlukan solusi permaslaahan yang konkret dan anggota DPR diharapkan lebih menunjukkan sikap empati terhadap rakyat. Karena kebijakan tersebut dapat memicu ketimpangan sosial antara pejabat dengan rakyat kecil biasa yang dibebankan Tapera.
ADVERTISEMENT