Konten dari Pengguna

Menelisik Adipati Karna.

tambara boyak
Seorang penuh ingin tahu tentang keilmuan psikologi dan budaya.
7 September 2019 8:51 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tambara boyak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Adipati Karna.
zoom-in-whitePerbesar
Adipati Karna.
Wonten malih kinarya palupi; Suryaputra narpati Ngawangga; Lan Pandawa tur kadange; Len yayah tunggil ibu; Suwita mring Sri Kurupati; Aneng nagri Ngastina; Kinarya gul-agul; Manggala golonganing prang; Bratayuda ingadegken senopati; ngalaga ing Kurawa.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Karna di dunia pada dasarnya dapat dikatakan percobaan dewi Kunti terhadap mantera Adithyahrehdaya yang dianugerahkan kepadanya. Setelah terbukti berhasil, bayi yang seharusnya menjadi anugerah terbaik dari mantera itu justru dibuang begitu saja. Latar belakang kelahiran Adipati Karna tersebut dapat dianggap sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya kelak. Dalam tahap pertama perkembangan hidupnya, Adipati Karna telah kehilangan rasa percaya terhadap ibunya sendiri.
Di samping itu, statusnya sebagai anak kusir membuat Karna mengalami banyak cobaan dalam hidupnya, berbagai penolakan serta penghinaan kerap datang kepadanya, terutama dari para Pandawa. Sebagai seorang putera dewa, Karna ternyata dapat melewati semua cobaan tersebut dengan tabah, hingga akhirnya derajatnya sebagai seorang ksatria dikembalikan oleh Duryudana. Maka dari sini timbul keintiman dan komitmen Adipati Karna terhadap Prabu Duryudana.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sebagai seorang Adipati di Ngawangga, Karna dikenal sebagai seorang bangsawan yang angkuh dan sombong. Jika ditelaah lebih dalam, pada dasarnya wajar-wajar saja ia bersikap seperti itu. Keangkuhan dan kesombongannya dapat dikatakan sebagai akibat dari tahap perkembangan periode masa laten dari dirinya. Mengingat pada masa lalunya ia selalu direndahkan dan dihina. Namun di balik keangkuhan dan kesombongannya tersebut, ia pun dikenal sebagai seorang ksatria yang sangat dermawan. Di sisi yang lain, Adipati Karna sebagai seorang ksatria banyak melakukan manuver-manuver yang dapat dikatakan licik. Kelicikan Karna antara lain, ketika ia mencoba memadu kasih dengan dewi Surtikanti, putera prabu Salya. Meskipun belum memiliki suami, namun Karna sebenarnya sudah mengetahui bahwa pujaan hatinya tersebut merupakan calon istri Duryudana. Tindakan Karna itu sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebuah pengkhianatan. Hal ini pula yang menjadi indikasi bahwa Adipati Karna tidak dapat ditundukkan oleh siapa pun, bahkan oleh orang yang berjasa besar terhadap hidupnya. Manuver lain yang dilakukan oleh Karna adalah berpura-pura menjadi resi ketika berguru kepada resi Parasurama demi mendapat kesaktian.
ADVERTISEMENT
Pada perang Bharatayudha Adipati Karna sempat berselisih dengan Bisma Dewabrata, kakek para Pandawa dan Kurawa. Perselisihan tersebut dipicu oleh penolakan Bisma akan kehadiran Karna dalam pasukannya. Sang resi Bisma tidak ingin Karna yang angkuh dan sombong menjadi salah satu punggawanya. Karena perselisihan itulah, Karna bersumpah tidak akan berperang di padang Kurusetra selama Bisma menjadi panglima perangnya. Meskipun demikian kondisi itu tidak berlangsung lama. Karna akhirnya menemui Bisma yang sedang berada di penghujung ajalnya. Mereka berdua saling meminta maaf atas kesalahan masing-masing. Di akhir perbincangan mereka, sang resi Bisma meminta agar Karna bertempur di pihak Pandawa, apalagi Karna telah mengetahui bahwa mereka adalah adik-adik kandungnya sendiri. Namun pada saat itu Karna bersikukuh menolak permintaan sang resi dan tetap akan membela Kurawa.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya sebelum perang Bharatayudha terjadi, Karna sempat bertemu dengan dewi Kunti, ibu kandungnya. Pada pertemuan tersebut dewi Kunti memohon maaf atas kejadian masa lalu dan meminta agar Karna kembali bersama para Pandawa pada saat perang Bharatayudha nanti. Saat pertemuan itulah Karna menunjukkan keikhlasannya untuk memaafkan ibu yang pernah membuangnya. Meskipun ia menolak untuk membela para Pandawa, Adipati Karna menunjukkan dharma baktinya kepada dewi Kunti dengan bersumpah tidak akan membunuh adik-adiknya sendiri. Ia menjelaskan bahwa pemihakkannya kepada Kurawa tidak lain daripada pengabdiannya kepada kebenaran, tanpa kehadirannya di pihak Kurawa, ia yakin kejahatan para Kurawa tidak akan pernah hancur. Alasan ini pula yang disampaikannya kepada Kresna ketika mencoba membujuknya untuk berada di pihak Pandawa. Meskipun telah ikhlas menerima dan memaafkan masa lalunya serta menerima posisinya sebagai kakak dari para Pandawa, tetap saja Adipati Karna selalu menunjukkan keangkuhannya ketika bertemu dengan adik-adik kandungnya itu. Walaupun pada akhirnya ia memang tetap memegang teguh janjinya kepada dewi Kunti untuk tidak membunuh para Pandawa di perang Bhatarayudha.
ADVERTISEMENT
Adipati Karna dengan segala kompleksitasnya sebenarnya merefleksikan manusia pada umumnya. Ada nilai-nilai dualisme yang terkandung dalam kompleksitasnya itu. Nilai-nilai itulah yang selalu hadir dalam sosok manusia pada umumnya. Adipati Karna menunjukkan kepada kita bahwa dalam kehidupannya, orang baik tidak selalu melakukan kebaikan, ada kalanya orang itu pun melakukan kejahatan. Sebaliknya, manusia yang dinilai jahat ada kalanya pernah berbuat kebaikan. Sosok Basusena memang penuh dengan dualisme, dari silsilahnya saja dapat dilihat bahwa ia merupakan perpaduan antara manusia dengan dewa. Ia berasal dari golongan ksatria namun dibesarkan oleh rakyat biasa. Ia ikhlas serta dermawan, namun dikenal pula sebagai ksatria yang angkuh dan sombong. Di samping itu, Adipati Karna pun merefleksikan sifat-sifat ambisius manusia. Untuk memuaskan hasratnya, terkadang ia dapat melakukan segala cara, termasuk manuver-manuvernya yang penuh tipu muslihat. Dan, sisi dualisme Adipati Karna terjadi karena banyak tahap perkembangan yang tidak dapat dipenuhi oleh Adipati Karna.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang lain, Adipati Karna menunjukkan sebuah arti pengorbanan serta pengabdian kepada kebenaran. Sejak kecil ia sudah diminta untuk berkorban, ia dibuang ke sungai Aswa, dijauhkan dari status kebangsawanannya dan akhirnya hampir sebagian hidupnya dilalui tanpa pernah mengenal orangtua kandungnya sendiri. Semua pengorbannya tersebut harus ia jalani demi terjaganya kehormatan dewi Kunti, ibundanya. Beranjak dewasa, menjelang perang Bharatayudha, ia pun harus berjiwa besar memaafkan kesalahan ibunya, mengikhlaskan masa lalunya serta mengorbankan ambisinya untuk mengungguli Arjuna dalam perang Bharatayudha. Meskipun pengorbanan yang ia lakukan sudah sedemikan banyak, ternyata Karna pun harus mengorbankan dirinya pada perang di padang Kurusetra. Dengan menolak berpihak kepada Pandawa, ia secara tidak langsung telah mengorbankan kejayaan, kehormatan, kemenangan serta tahta yang akan dimilikinya. Sebaliknya ia memilih kekalahan dan kematian yang sudah menjadi takdirnya dengan memilih memihak kepada Kurawa.
ADVERTISEMENT