Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rakai Pikatan; Cinta Sejati dan Ambisi Penyatuan Dua Wangsa Seteru.
2 Juni 2020 20:10 WIB
Tulisan dari tambara boyak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Candi Plaosan adalah bukti nyata bahwa kekuatan cinta mampu menyatukan sekat perbedaan. Candi nan cantik ini dibangun oleh Rakai Pikatan yang beragama Hindu untuk permaisuri terkasihnya Pramodhawardani yang memeluk Budha. Mengunjungi Plaosan tidak hanya mengajarkan tentang kekuatan cinta namun juga makna toleransi yang sesungguhnya. Candi Plaosan sebuah kisah candi paling “romantis” .Jauh sebelum William Shakespeare menciptakan kisah romantis Romeo Juliet – Hamlet, jauh sebelum kisah romantis titanic sering kita lihat di televisi, dan jauh sebelum drama-drama romantisme Korea beredar di Indonesia; Rakai Pikatan telah mempersembahkan bukti cinta yang tulus dan tidak mengenal batasan agama, bangsa, dan budaya. Candi Plaosan memiliki sejarah yang unik, candi ini merupakan persembahan dari Raja Rakai Pikatan untuk Putri Mahkota Pramodhawardhani. Kompleks candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram kuno. Candi ini sebagai bukti cinta dari Raja Rakai Pikatan yang beragama Hindu, untuk Putri Pramodhawardhani yang beragama Budha. Walaupun pada akhirnya kisah cinta mereka tidak selalu berjalan mulus. Perbedaan bukanlah alasan untuk melenyapkan cinta yang telah tumbuh. Namun justru cintalah yang seharusnya bisa menjadi alat untuk menyatukan perbedaan. Mungkin hal itulah yang dipegang teguh oleh Rakai Pikatan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mendirikan bangunan nan cantik, Candi Plaosan, bagi istrinya yang sangat dia kasihi, Pramodhawardani.
ADVERTISEMENT
Pramodhawardhani, dia adalah Putri utama dari Samaratungga dari dinasti Syailendra, kakak Balaputradewa yang menguasai Sriwijaya, dalam prasasti Kayumwungan dia meresmikan bhumisambara, dalam prasasti Tri Tepusan dia membebaskan pajak untuk pemeliharaan Bhumisambhara dengan sebutan Sri Kahulungan, dengan demikian Pramodhawardhani secara tidak langsung adalah Rani tanah Jawa mewakili Samaratungga ayahnya. Rakai Pikatan, dia bernama Mpu Manuku, dan bergelar Rakai Patapan ketika dirinya menguasai daerah Patapan, setelah bergelar Rakai Pikatan dan mendirikan sebuah daerah bernama Mamwrati dengan kotanya bernama Mawratipura. Sepertinya memang Rakai pikatan telah merencanakan langkah-demi langkah dengan seksama, mulai dari cara pendekatannya ke Dinasti Syailendra, cara dirinya mendapatkan kepercayaan untuk menyakinkan Raja Samaratungga, caranya untuk mendapatkan hak membangun daerah Mamwrati dan paling hebat adalah meyakinkan Pramodhawardhani menjadi istrinya. Meski sang raja Rakai Pikatan beragama Hindu dia tetap memberikan kebebasan kepada istri dan warganya untuk memeluk keyakinan yang berbeda. Candi Plaosan bukan hanya menjadi tanda bersatunya dua wangsa besar, Syailendra dan Sanjaya, namun juga menjadi bukti nyata toleransi umat beragama.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana Rakai Pikatan dapat mengawini Pramodhawardani, secara dia adalah dari dinasti Sanjaya, dinasti yang pecah karena perbedaan agama. Tentunya kala itu tidaklah mudah dan butuh jiwa besar untuk mengabdi ke dinasti lain yang telah menyingkirkannya, dendam kemungkinan ada, dan sebaliknya bagi yang menerima pengabdian yaitu Raja Samaratungga sama beratnya untuk menerima secara terbuka. semasa mudanya Rakai Pikatan telah memiliki ambisi besar, didukung pemikiran yang cemerlang tokoh ini tak ubahnya cerita sosok Raden Wijaya yang tunduk kepada Kediri yang telah menguasai Singhasari milik mertuanya, jika Rakai Pikatan mendapatkan kedudukan untuk pertama kalinya dari dari pemerintahan Samaratungga sepertinya inilah tonggak awal dari sebuah sejarah besar Jawa di masa Mataram Kuno karena dari diterimanya seorang tokoh dari dinasti lain dalam barisan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Ada hal yang sama menariknya dalam proses masuknya Rakai Pikatan yang berwangsa Sanjaya kedalam tata kepemerintahan Raja Samaratungga yang berwangsa Syailendra, adalah keterbukaan secara elegant oleh Raja Samaratungga, bukankah hal semacam ini sudah dapat diperkirakan lebih jauh, terlebih dirinya dikelilingi oleh banyak penasihat namun tetap saja penerimaan pengabdian Rakai Pikatan diterima, ada satu hal yang jarang kita lihat yaitu “panariman ing garis pepesthen” atau penerimaan digaris nasib, inilah yang dilakukan oleh Raja Samaratungga dengan tenang menerima apa yang harusnya diterima secara garis nasib, namun tidak diikuti oleh anak bungsunya yang bergelar Balaputradewa sehingga nantinya akan timbul konflik yang berakibat tersingkirnya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Dalam proses awal dirinya menjadi Raja Mataram dengan menyatukan 2 wangsa, tentunya Rakai Pikatan paham bahwa Raja yang berkuasa dengan menganut Hindu Syiwa beristrikan Budha, justru memiliki bangunan pemujaan Budha sangat besar, akan dikemanakan rakyat yang menganut ajaran Syiwa seperti dirinya, untuk menjawab hal tersebut dan membayarkan apa yang telah dilakukan beberapa tahun silam maka dibangunlah kompleks Syiwagrha untuk memuliakan pemujaan kepada Hindu Syiwa, dengan demikian Rakai Pikatan menempatkan antara Hindu dan Budha sama bergengsinya, Bhumisambhara untuk menghormati kemuliaan Samaratungga dan Syiwagrha untuk menghormati leluhurnya berikut kemulian Trihita Karana sekaligus ungkapan cinta kepada Pramodhawardhani. Dengan terbangunnya Bhumisambhara dan Syiwagrha maka kemasyuran tanah Jawa dengan pusatnya di Mataram Kuno tidak tertandingi, kesempurnaan agama, kesempurnaan pemerintahan dengan penguasa tunggal Sang Nalendra Gung Binathara berpermaisuri Putri Agung, berpenasihat Utama, bagaikan Syiwa dan Parwati di kelilingi Wisnu dan Bhrahma.
ADVERTISEMENT
Betapa hebatnya pencapaian itu namun sampai detik ini tak ada yang menempatkan posisi Rakai Pikatan dalam sejarah Jawa.