Konten dari Pengguna

Ultras, Hegemoni Budaya Supporter Sepakbola dari Italia.

tambara boyak
Seorang penuh ingin tahu tentang keilmuan psikologi dan budaya.
9 Juni 2020 19:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tambara boyak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ultras Lazio
zoom-in-whitePerbesar
Ultras Lazio
Berbicara tentang suporter sepak bola, tentu kita harus mengenal kriteria dan perbedaan dari macam – macam suporter. Hooligan, kaum hooligan adalah fans bola yang brutal ketika tim idolanya kalah tanding. Merupakan stereotip supporter bola dari Inggris, tapi kemudian menjadi fenomena global. Sebagian besar dari Hooligan adalah para back-packer yang telah berpengalaman dalam bepergian. Mereka sering menonton pertandingan yang resikonya besar. Banyak dari mereka rajin keluarmasuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik. Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pilihannya, dan memilih berpakaian 'asal' agar tak dideteksi oleh polisi. Meski demikian mereka tak mau menggunakan senjata. Para Hooligan biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama melainkan berpencar - pencar.
ADVERTISEMENT
Ultras, diambil dari bahasa latin yang berarti diluar dari kebiasaan. Para Ultras ini tak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel tim favoritnya selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang permainan dan menyalakan gas warna warni untuk mencari perhatian. Jika Anda sering melihat pergerakan manusia seperti gelombang di dalam stadion, itulah hasil instruksi dari para Ultras yang sangat kreatif kepada penonton yang lain. Karakter mereka temperamental seperti para Hooligan jika timnya kalah tanding atau diremehkan. Namun berbeda dengan Hooligan, tujuan utama mereka adalah mendukung tim, bukan untuk unjuk kekuatan lewat adu fisik. Anggota Ultras adalah mereka yang sangat setia dan loyal terhadap tim favoritnya cukup lama.
The VIP, bagi mereka, yang penting bukan menonton bola, tapi malah supaya ditonton penonton lain. Sebagian besar kelompok ini adalah para pebisnis tingkat tinggi yang menyaksikan pertandingan di kotak VIP, demi sebuah gengsi untuk pencitraan diri. Dan karena namanya juga bisnis, segalanya dihitung sebagai investasi. Tak heran jika dalam areal VIP, atau yang biasa disebut 'skyboxes', para jutawan ini bisa bertemu dengan rekan bisnis lainnya dan menghasilkan dealdeal penting. Mereka tak peduli dengan hasil skor kecuali itu akan mempengaruhi bisnis yang digelutinya.
ADVERTISEMENT
Daddy atau Mommy, adalah mereka yang suka melibatkan atau membawa anggota keluarga mereka saat menonton pertandingan. Bagi mereka, menonton pertandingan bola layaknya sebuah rekreasi keluarga untuk mempererat kebersamaan. Karena itu, mereka menonton bola jika tiket tidak terlalu mahal atau hanya pada pertandingan penyisihan saja. Sebagian dari para Daddy atau Mommy ini adalah karyawan profesional yang gemar sepakbola tapi tidak terlalu fanatik. Letak tempat duduk mereka saat menonton biasanya jauh dari para fans yang ugal-ugalan seperti Hooligan dan Ultras. Mereka tentu khawatir jika anak-anak mereka menjadi sasaran jika terjadi kericuhan massa. Christmas Tree, dipanggil Christmas Tree atau 'Pohon Natal' karena sekujur tubuh dan pakaiannya dipenuhi berbagai atribut tim mulai dari pin, badge, stiker, tato, corat-coret wajah dan rambut dengan aneka gaya. Berbeda dengan Ultras dan Hooligan yang selalu laki-laki, fans Christmas Tree bisa pria maupun wanita, tampil sendirisendiri maupun berpasang-pasangan. Mereka tak hanya menonton bola tapi juga berusaha menunjukkan identitas negara atau tim favoritnya lewat busana tradisional khas negara mereka. Biasanya duduk berkelompok di areal yang jauh dari para Hooligan dan Ultras.
ADVERTISEMENT
The Expert, sebagian besar adalah bapak-bapak pensiunan yang telah berumur. Mereka tak sayang menggunakan uang pensiunnya untuk nyemplung dalam ajang pertaruhan. Tak heran wajah mereka selalu tegang sepanjang pertandingan. Tak jarang pula nereka meneguk berbotol-botol minuman karena saking tegangnya. Namun para 'ahli' pertaruhan ini biasanya hanya tertarik pada pertandingan sekelas Piala Dunia dan Piala Eropa saja, bukan pada pertandingan liga atau antarklub. Di tangan mereka selalu tergenggam telepon dan koran untuk memprediksi akhir dari permainan. Letak duduk mereka selalu dekat gawang untuk memudahkan mereka berteriak memberi semangat. Layaknya pelatih, mereka juga mengarahkan strategi apa yang harus dijalankan pemain. Couch Potato, mungkin inilah kelompok terbesar dari fans sepakbola. Mereka ini tidak menonton langsung di stadion, melainkan lewat televisi di rumah. Tipe ini berasumsi bahwa menonton di televisi lebih enak dan nyaman daripada membuang uang untuk sebuah pertandingan yang belum tentu bagus. Prinsip fans jenis ini adalah murah meriah. Sambil menonton, tersedia selalu camilan dan minuman didekatnya. Tak hanya keluarga, agar acara nonton lebih seru, mereka biasa mengundang tetangga dan keluarga besarnya. Di Indonesia dikenal istilah nonton bareng alias Nobar, meski hanya di depan televisi, mereka juga berdandan seolah - olah ada di dalam lapangan. Kaos tim, bendera, dan segala macam atribut ikut meramaikan ajang nonton bareng.
ADVERTISEMENT
Fenomena Ultras mulai muncul di Italia pada akhir dekade 1960- an. Mereka sering mengklaim suatu titik khusus di stadion saat pertandingan berlangsung. Mereka juga memiliki beberapa karakteristik dalam mendukung timnya, termasuk menyanyikan yelyel dan lagu-lagu dukungan ketika tim pujaan bertanding, tidak duduk selama pertandingan berlangsung, selalu berusaha menonton langsung setiap pertandingan, dan menempati tribun atau area tertentu di stadion. Ultras adalah kelompok suporter yang fanatik dan terkenal militan dalam mendukung tim kesayangan mereka. Ultras mempelopori suporter yang terorganisir dalam mendukung tim kesayangan dengan aksi-aksi yang teatrikal yang kemudian menjalar ke beberapa Negara seperti Prancis, Denmark, Belanda, dan Skotlandia.
Ultras identik dengan kelompok suporter yang sulit diatur. Dalam tradisi sepak bola Italia, Ultras adalah penguasa di dalam stadion. Mereka menganggap polisi adalah musuh, sehingga muncul istilah ACAB (All Cops Are Bastard), Ultras lebih memilih tribun dibelakang garis gawang karena polisi tidak diperkenankan berada di tribun ini. Tribun belakang gawang ini
ADVERTISEMENT
kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva, Ultras menempati salah satu curva, baik curva nord (utara) maupun curva sud (selatan). Kelompok Ultras yang pertama kali muncul adalah Fossa dei Leoni (AC Milan) didirikan pada tahun 1968. Setahun kemudian para pendukung klub Internazionale Milan mendirikan Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzura). Fenomena Ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an. Kekerasan juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah Ultras di Italia, tetapi diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri dalam kehidupannya. Biasanya grup Ultras akan bertempat di suatu tribun di stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso. Masalah timbul apabila ada seseorang (bukan anggota Ultras) yang telah memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk ke tribun yang kebetulan ditempati Ultras dan mendapat tempat yang nyaman, tetapi ketika grup Ultras masuk, maka orang tersebut akan diusir dari tempat duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso juga memiliki kekuatan tersendiri di tribun tersebut, apabila ia memerintahkan untuk melempar benda-benda kelapangan, maka akan dilemparkan benda tersebut ke lapangan, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satupun tifosi yang berani melawannya.
ADVERTISEMENT
Fenomena Ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil ikut melestarikan paham- paham tua seperti fasis dan sosialis komunis. Dalam tradisi Ultras di Italia, terdapat beberapa kode etik yang disebut Ultras Codex. Salah satu fungsi kode etik itu adalah untuk mengatur pertempuran antar Ultras supaya bias berlangsung lebih adil dan berbudaya. Salah satu kode etik itu adalah dalam hal bukti kemenangan, bendera dari Ultras yang kalah akan diambil oleh Ultras yang menang. Kode etik lainnya adalah seburuk apapun para tifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, tidak diperkenankan untuk melapor ke polisi. Pola tindak kebrutalan suporter Italia mengalami perubahan, Ultras kini meniru gaya Inggris dengan berhadapan langsung secara frontal. Selama ini bentuk kekerasan di persepakbolaan Italia lebih condong menggunakan petasan atau kembang api yang di lemparkan ke tengah lapangan. Kini pola itu mulai berubah. Seperti di Inggris, Ultras tidak lagi menggunakan atribut klub dan bergerak dalam kelompok kecil.
ADVERTISEMENT