Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pemberlakuan Kelas Standar Menjadi Bukti BPJS Semakin Diskriminatif
16 Juni 2022 15:46 WIB
Tulisan dari Tamia Ananda Widori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana perubahan jumlah iuran bulanan BPJS yang akan disesuaikan dengan besaran gaji peserta kini menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan apa landasan atau alasan dibalik perubahan kebijakan yang terkesan terburu-buru dan mendadak tersebut. Apalagi, kebijakan terbaru ini akan segera diberlakukan pada bulan Juli 2022 mendatang.
ADVERTISEMENT
Menurut Asih Eka Putri, selaku anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN, perubahan kebijakan tersebut juga dibarengi dengan penghapusan kelas layanan yang diberikan kepada peserta BPJS dan memberlakukan Kelas Standar. Dengan kata lain, tidak akan ada lagi perbedaan layanan dan fasilitas seperti Kelas 1, 2, dan 3 sebelumnya. Lebih lanjut, Asih menambahkan bahwa penerapan Kelas Standar ini berlandaskan sistem gotong royong di mana peserta dengan gaji tinggi akan membayar iuran lebih besar untuk membantu peserta dengan gaji lebih rendah.
Sistem gotong royong ini memang menjadi prinsip utama dalam menjalankan program BPJS sejak semula. Namun, pada saat itu, peserta BPJS dapat dengan bebas memilih kelas tertentu untuk mendapatkan layanan yang diinginkan. Sedangkan pada Kelas Standar yang diberlakukan mulai bulan depan, tidak akan ada lagi layanan per kelas dengan fasilitas yang berbeda, walaupun peserta BPJS tersebut sudah membayarkan iuran lebih tinggi perbulannya. Selain itu, BPJS juga menambahkan bahwa peserta BPJS yang ingin mendapatkan layanan dan fasilitas lebih lengkap dan lebih baik dapat mengajukan naik kelas dengan membayar uang tambahan dengan jumlah tertentu. Tentu saja hal ini sangat membebani masyarakat, terutama yang bergaji tinggi.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan besarnya biaya Kelas Standar yang diusung oleh BPJS, Saleh Partaonan Daulay selaku Anggota Komisi IX DPR sempat mengusulkan untuk membuat jumlah iuran per bulan sama rata, yakni di angka Rp 75 ribu. Menurut Saleh, jumlah tersebut merupakan jumlah premi yang sangat sesuai dengan kemampuan peserta BPJS yang kebanyakan memilih menjadi peserta Kelas 3. Namun, membludaknya peserta BPJS Kelas 3 ini juga menjadi akibat perubahan kebijakan BPJS di tahun 2021 silam di mana peserta Kelas 1 harus membayarkan Rp 150 ribu dan Kelas 2 sejumlah Rp 100 ribu. Tentu saja peningkatan jumlah premi bulanan BPJS ini banyak membuat masyarakat terbebani dan memilih Kelas 3 yang sesuai dengan kemampuan finansial mereka, yani sebesar Rp 35 per bulan per orang.
ADVERTISEMENT
Namun, sepertinya kebijakan terbaru dari BPJS yang akan diterapkan pada bulan Juli mendatang justru membuat masyarakat semakin kecewa dan tidak puas dengan BPJS. Apalagi, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang mengeluhkan pelayanan para fasilitas kesehatan terhadap peserta BPJS yang terlalu diskriminatif. Salah satunya seperti perlakuan para nakes yang kurang ramah dan profesional saat melayani para peserta BPJS.
Jika kebijakan dari Kelas Standar ini tetap dijalankan, bukan tidak mungkin akan ada banyak masyarakat yang meninggalkan BPJS dan memilih untuk mendaftarkan diri sebagai peserta asuransi non-BPJS. Terutama bagi peserta bergaji tinggi yang bisa saja membayar premi asuransi non-BPJS yang telah ada saat ini walaupun premi yang ditawarkan lebih tinggi dibanding BPJS. Terlebih, saat ini banyak asuransi non-BPJS yang memberikan pelayanan dan fasilitas terbaik kepada para pesertanya. Mulai dari pendaftaraan pemeriksaan tanpa harus mengantri panjang, bebas memilih layanan terbaik sesuai dengan premi yang dipilih, hingga peserta yang dapat memilih rumah sakit tanpa membutuhkan tambahan surat rujukan.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan lainnya adalah masyarakat akan mogok dalam membayarkan premi bulanan BPJS yang membuat defisit BPJS semakin membengkak. Kondisi satu ini tentu akan berdampak pada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada fasilitas kesehatan dan peserta BPJS lainnya. Selain itu, saat ini pelayanan dan kepesertaan BPJS pun sudah tidak relevan dan terlalu diskriminatif. Salah satu contohnya adalah keharusan dan kewajiban warga negara Indonesia untuk menjadi peserta BPJS untuk bisa mendapatkan layanan publik yang diinginkan. Misalnya saja untuk pembuatan SIM hingga jual-beli properti.
Tentu saja hal ini bertentangan dengan UU Kesehatan Bab III Pasal 5, ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. Sayangnya, dengan adanya kewajiban untuk menjadi peserta BPJS telah mematahkan hak tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perubahan kebijakan BPJS yang dilakukan hampir setiap tahunnya ini dirasa sangat tidak efektif dan membebani rakyat. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Trubus Rahadiansyah selaku Analisis Kebijakan Publik Universitas Trisakti yang menyatakan bahwa kebijakan BPJS saat ini tergolong diskriminatif dan sangat membebani rakyat. Apalagi mengingat perubahan kebijakan BPJS terkesan terburu-buru dan mendadak tanpa adanya sosialisasi lebih lanjut dan merata ke semua lapisan masyarakat. Sama halnya dengan perubahan kebijakan mengenai Kelas Standar, berita tentang hal ini baru dibicarakan sejak minggu kedua bulan Juni yang kurun waktunya kurang dari sebulan dari waktu penetapannya.
Terkait dengan problematika perubahan-perubahan kebijakan BPJS ini, sangat disayangkan bahwa pihak-pihak terkait tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu dan wacana tersebut kepada masyarakat selaku peserta BPJS. Selain itu, harusnya pendaftaran pelayanan dan kepesertaan BPJS juga harus disesuaikan dengan aturan Undang-Undang yang ada untuk melindungi hak dan kewajiban dari warga negara Indonesia selaku peserta BPJS tersebut. Jikalau kebijakan terbaru ini tidak dapat diganti, maka pihak-pihak terkait juga harus memberikan alasan dan layanan yang lebih baik kepada peserta bergaji tinggi yang diharuskan membayar iuran lebih besar.