Konten dari Pengguna

Dilematika Legalisasi Ganja Untuk Kepentingan Medis di Indonesia

Tampaty Simbara Galilea Ujung
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7 Oktober 2024 16:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tampaty Simbara Galilea Ujung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: (Tampaty Ujung)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: (Tampaty Ujung)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peraturan yang berlaku secara dinamis sering tidak menyesuaikan dengan kebutuhan Masyarakat. Undang-Undang narkotika secara tegas telah membatasi penggunaan psikotropika dalam keperluan di bidang Kesehatan, salah satunya adalah ganja. Hal ini merupakan konsekuensi yang harus dijalankan Pemerintah Indonesia setelah meratifikasi International Ophium Convention dan berpandangan ganja hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Ganja memiliki senyawa yang efektif untuk menyembuhkan penyakit. Namun, Legalisasi ganja di Indonesia justru dilarang keras oleh pemerintah. Jika kita menilik Pasal 28 H UUD 1945 yang memberikan jaminan kepada setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin ini akan memunculkan kontradiktif dengan larangan ganja untuk keperluan medis.
ADVERTISEMENT
Regulasi legalisasi ganja di Indonesia seharusnya dapat berkaca pada praktik legalisasi ganja medis di negara lain seperti Jerman, Italia, Belanda, dan lain-lain. Jika menyelisik lebih lanjut mengenai manfaat ganja untuk kepentingan kesehatan, diketahui bahwa ganja memiliki kandungan Tetrahydrocannabinol (THC) dan juga zat Cannabidiol (CBD). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nicoll dan Alger, dengan judul: “The Brain’s Own Marijuana” diketahui bahwa kandungan tersebut identik dengan zat yang diproduksi oleh otak manusia. Adapun beberapa penelitian juga telah meneliti bahwa kandungan CBD dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan rasa sakit. Selain itu, pada dasarnya CBD juga tidak menyebabkan adiksi, hanya kandungan THC yang dapat menyebabkan ketergantungan. Namun, hal tersebut juga bergantung pada kadar penggunaanya, yakni apabila sudah melebih 5% dapat menyebabkan ketergantungan.
ADVERTISEMENT
Kandungan CBD inilah yang dibutuhkan oleh penderita Cerebral Palsy di Indonesia sebagaimana yang menjadi permohonan para pemohon legalisasi ganja untuk kepentingan medis. Namun, MK tetap memfokuskan pada bahaya sosial yang akan ditimbulkan dari adanya legalisasi ganja medis. Padahal, fakta menunjukan bahwa jumlah penderita Cerebral Palsy di Indonesia meningkat setiap tahunnya dan setiap satu anak yang lahir berpotensi terkena Cerebral Palsy. Hal ini ditunjukkan dari data yang diperoleh dalam hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa pada tahun 2018 jumlah penderita Cerebral Palsy di Indonesia mencapai 866.770.000 orang, dengan rincian penderita Cerebral Palsy sedang sejumlah 717.312.000 orang dan Cerebral Palsy berat sejumlah 149.458.000 orang. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi yang mampu mengakomodir kebutuhan dan memberi manfaat bagi penderita Cerebral Palsy di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ditinjau Dari Hukum Kesehatan
Menanggapi pentingnya legalisasi ganja, Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Beliau juga menjelaskan Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya dan yang paling utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif. Psikoaktif ini bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental. Lalu senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang. Penyakit Cerebral Palsy gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja. Beliau juga mengatakan semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takaran, cara penggunaan, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi.
ADVERTISEMENT
Jika kita mengkorelasikan antara pelarangan ganja yang ada di UU Narkotika dengan apa yang sudah dikatakan oleh Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM tersebut berarti beliau mendukung apa yang ada didalam UU Narkotika tersebut. Namun, Jika kita menyelisik ke dalam UU Kesehatan terbaru kita, kita akan dihadapkan dengan suatu kebingungan dengan diperbolehkannya penggunaan narkotika apabila dengan resep tenaga medis dan ini ditindaklanjuti oleh PP Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan undang-undang kesehatan yang menerangkan bahwa hanya apoteker dan/atau apoteker spesialis saja yang dapat memberikan narkotika berdasarkan resep di fasilitas pelayanan kefarmasian. Dalam hukum pidana apabila suatu perbuatan yang diduga sebagai suatu tindak pidana dan masing-masing norma tersebut saling bertentangan satu sana lain maka dibutuhkan asas lex specialis sistematis untuk menyelesaikan permasalahan ini.
ADVERTISEMENT
Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial
Menurut teori hukum progresif yang digagaskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, hukum seyogyanya dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum, maka ketika terjadi persoalan dimana undang-undang tidak dapat lagi melayani prinsip-prinsip keadilan, hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki bukan manusia yang dipaksa masuk kedalam hukum tersebut.
Jika kita meninjau kehadiran UU narkotika, UU Narkotika ini dirasakan belum dapat mewujudkan pilar dari hukum untuk manusia dengan kenyataannya yang kita lihat ternyata berbanding terbalik mereka justru dipaksa untuk masuk dalam skema hukum yang jelas telah menimbulkan kerugian konstitusional atas hak kesehatan yang dimiliki seperti yang terjadi pada kasus Fidelis Ari Suderwato yang harus berakhir di penjara selama 8 bulan karena dinyatakan bersalah akibat mencoba mengobati istrinya yang sakit menggunakan ganja dan Reyndhart Rossy yang dipidana akibat mencoba mengobati dirinya yang sakit dengan air rebusan ganja, berdasarkan putusan diatas tentu hal tersebut sangat tidak adil sebab pada kenyataanya apa yang mereka lakukan adalah salah satu cara yang harus ditempuh agar dapat tetap bisa bertahan hidup. kemudian pelarangan tersebut juga berakibat pada terhentinya pengobatan bagi anak-anak yang membutuhkan ganja sebagai alternatif pengobatan akan penyakit yang diderita seperti yang dialami oleh Musa dimana ia tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan menggunakan ganja akibat terhalang UU narkotika yang berlaku sekarang.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu langkah hukum yang dapat dilakukan untuk pelegalisasian penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia yaitu dengan melakukan revisi pada UU Narkotika dan mengeluarkan ganja dari golongan narkotika I, dikarenakan pada kenyataan yang terjadi keberlakuan UU narkotika sudah tidak relavan lagi dengan kenyataan sekarang dimana bahwa ganja sangat dibutuhkan sebagai alternatif pengobatan dan ganja sendiri sudah terbukti memiliki manfaat yang luar biasa pada dunia medis serta dengan fakta yang terjadi sekarang dimana PBB dan komisi obat telah menghapus ganja dan resin ganja dari schedule IV konvensi tunggal narkotika.
Untuk itu diharapakan pemerintah dapat segera merevisi UU narkotika karena sebagaimana yang digagaskan pada teori hukum progresif bahwa hukum dalam hal ini UU harus dipandang dalam proses menjadi (Law as a process, law in the making) ia tidak bersifat mutlak melainkan harus bergerak mengikuti kedinamisan kehidupan manusia dan terus mengubah kearah yang lebih baik, karena pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT