Eksaminasi Tauhid di Tahun Politik

Tamsil Linrung
Senator DPD RI, Pendiri Jaringan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM)
Konten dari Pengguna
1 Juli 2023 8:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tamsil Linrung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, saat penulis menerima kunjungan rombongan Mufti Malaysia. Dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, saat penulis menerima kunjungan rombongan Mufti Malaysia. Dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Buta terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik” (Bertolt Brecht)
ADVERTISEMENT
Bagi seorang muslim yang memahami konsep Islam secara utuh, arena politik merupakan eksaminasi tauhid. Dunia politik yang identik dengan terminologi profan, adalah hamparan sajadah penghambaan seorang insan untuk mengoptimalkan ibadah di mihrab kekuasaan. Tidak mesti dengan menyandang jabatan publik. Namun dilakoni dengan partisipasi sebagai zoon politicon sebagaimana diistilahkan oleh Aristoteles untuk menggambarkan bahwa kita terikat pada kontrak sosial untuk hidup bermasyarakat.
Momentum haji dan hari raya Idul Adha yang sarat dengan simbol sosial kebersamaan, mengembalikan memori kita pada pangkal dari syariat ini yang merupakan manifestasi historis dari pergumulan panjang Nabi Ibrahim AS bersama keluarganya dalam memperjuangkan komunitas masyarakat bertauhid. Haji dan kurban adalah simbol kemenangan transendensi kesadaran kolektif. Dibangun di atas evolusi sosial yang dimotori oleh kekuatan politik minoritas.
ADVERTISEMENT
Ibrahim muda, memilih menjadi oposan saat hegemoni rezim raja Namrud menguasai sendi-sendi kehidupan. Puncak megalomania Namrud terjadi kala ia menahbiskan diri sebagai tuhan. Ketika semua suara kritis dibungkam. Merasa tidak ada lagi yang lebih kuat selain dirinya.
Meski diliputi nuansa rezim represif, tidak memasung daya kiritis Ibrahim AS. Sang Ulul Azmi muncul sebagai kekuatan oposan tunggal yang lantang bersuara mengartikulasikan seruan untuk membangun kesadaran kolektif. Sembari meniti jalan terjal gerakan sosial politik, petualangan nalar kritis Ibrahim AS juga menyusuri pencarian teologis.
Bahwa komunitas masyarakat, umat, bangsa atau bahkan peradaban, harus dibangun di atas fondasi nilai-nilai yang kokoh. Yaitu nilai samawi. Ajaran tauhid yang kemudian menghantarnya melalui banyak etape pengorbanan.
ADVERTISEMENT
Ketika Ibrahim AS membawa obor tauhid, tanpa siapa-siapa menemani. Lalu diwarisi dua garis keturunan. Dari nasab istrinya Sarah, lahirlah Nabi Ishaq dan Yakub, merupakan nenek moyang dari bangsa Romawi dan Bani Israil atau Yahudi. Dari garis keturunan Sarah, juga lahir Nabi Isa dengan risalah teologis agama Nasrani.
Lalu dari garis istrinya Hajar, lahirlah Ismail yang merupakan nenek moyang bangsa Arab. Nasab ini juga bertalian dengan Nabi Muhammad sejauh 42 generasi. Penutup para nabi dan penutup risalah samawi. Dari seorang diri, warisan petualangan teologis Nabi Ibrahim mengisi relung keimanan 4,3 miliar umat manusia secara bersamaan. Muara spiritual lebih dari separuh penduduk dunia saat ini, terpaut pada apa yang diperjuangkan oleh Ibrahim 4300 tahun silam.
ADVERTISEMENT
Dalam rentang waktu itu, gerakan evolusi sosial berbasis monoteisme yang dipelopori Ibrahim mampu eksis. Bangsa-bangsa besar, perdaban besar tumbuh dan tenggelam silih berganti. Tapi tidak pada warisan teologis Ibrahim. Ia membentuk arus sejarahnya sendiri. Kita bisa melacak, tidak ada warisan non bendawi yang bisa bertahan sedemikian lama, kecuali ajaran agama. Kecuali warisan spiritual. Maka fakta empirik ini menjawab pandangan-pandangan yang menegasi peran agama dalam kehidupan sosial manusia. Termasuk yang gegabah hendak memisahkan agama dan politik.
Benih peradaban yang disemai oleh Ibrahim AS memang tidak sempat ia saksikan hasilnya. Ibrahim AS, istrinya Hajar, dan putranya Nabi Ismail bahkan mungkin tidak pernah berekspektasi ketika memulai sebuah kehidupan baru tanpa siapa-siapa dan tanpa apa-apa di jazirah yang kering.
ADVERTISEMENT
Namun satu yang diyakini dan hal itu bisa kita tangkap dari dialog-dialog di dalam Al Quran, bahwa Allah SWT menitahkan Ibrahim untuk turun tangan. Mengambil peran. Perintah itu disambut sepenuh hati.
Maka kemudian kita menyaksikan 42 generasi dari anak cucu Ibrahim AS, secara turun temurun hingga Nabi Muhammad SAW membawa agama tauhid melintasi berbagai rintangan zaman, berhasil mengubah jazirah dari gurun tandus menjadi pusat dan pemimpin peradaban dunia. Tanah Arab menjadi destinasi spiritual, pusat ekonomi dan bisnis, arena ilmu pengetahuan dan kini menjadi salah satu kawasan paling makmur di dunia. Bagaimana hal itu dimulai? Menjawab dahaga spiritual.
Tahun politik, pemilu dan pilpres, merupakan momentum merefleksikan kesadaran teologis dan sosial untuk mengubah nasib bangsa ini. Sebagaimana Ibrahim mampu memelopori perubahan penting dalam tatanan peradaban dan arus sejarah umat manusia. Kekuatan kolektif yang kita miliki sebagai anak bangsa, tentu saja menjadi harapan untuk mewujudkan cita-cita bersama.
ADVERTISEMENT

Nalar Kritis dan Tauhid

Ada dua pelajaran penting yang dapat kita petik dari epos historis Ibrahim sang bapak ajaran samawi, manusia mulia, mata air peradaban dunia. Pertama, nalar kritis. Para saintis kontemporer menyebut dengan istilah critical thinking. Salah satu keterampilan yang diyakini mesti dimiliki untuk mampu mengarungi turbulensi peradaban dalam banyak variannya. Ibrahim melakukan pengujian teologis melalui tesis dan antitesis yang tersaji di hadapannya untuk menemukan Tuhan.
Dalam konteks sosial politik, critical thinking dimanifestasikan melalui gerakan oposan. Mengambil sikap korektif saat hegemoni kekuasaan telah merambah ke berbagai dimensi kehidupan yang mestinya ditempatkan secara independen dan terpisah dari otoritas rezim. Ketika Namrud secara leluasa mengendalikan opini publik, ia dengan jumawa hendak melanggengkan kekuasaan. Mendeklarasikan diri sebagai Tuhan. Tapi kekuasaan itu runtuh di tangan nalar kiritis oposan tunggal, Ibrahim.
ADVERTISEMENT
Perlawanannya memang tidak mudah. Ia menghadapi represi. Bahkan konsekuensi maut menanti. Namun keyakinan bahwa Ibrahim berjuangan menyalakan obor tauhid, membuat Sang Nabi tak beringsut. Toh, ketika harus berakhir di tangan penguasa zalim, ia telah mewariskan teladan. Ibrahim memulai inisiatif individual, menjelma sebagai gerakan kolosal yang kemudian mengubah tatanan global.
Kedua, subtansi perjuangan Nabi Ibrahim adalah tauhid. Termasuk saat Ibrahim meniti jalan sunyi beropisisi seorang diri. Ibrahim mantap. Ibrahim tidak menerima manusia dituhankan hanya karena kekuasaan. Lagi pula, kekuasaan Namrud bukan dimandatkan. Singgasananya dibangun dari darah dan nyawa.
Menghadapi kekuasaan yang kompleks, ia menyusun strategi jangka panjang. Yang fondasi dan landmark perjuangannya diletakkan di Makkah. Dari Irak Ibrahim berhijrah. Menyusun kekuatan dan membangun monumen tauhid. Ka’bah. Baitullah yang awalnya hanya ditawafi oleh 3 orang anak manusia, kini sepanjang tahun dikunjungi lebih dari 2 juta jamaah haji dan 20 juta jamaah umrah.
ADVERTISEMENT
Tidak sulit meletakkan tauhid dalam terminologi politik. Apalagi di Indonesia. Bahkan cukup dengan satu hadits tentang kefakiran yang menggiring pada kekafiran. Dinukil dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW pernah mengingatkan, “hampir saja, kemiskinan itu menjadi sebab kekafiran”. Manusia dalam impitan kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, amat mudah tergelincir menggadaikan agama dan keyakinannya.
Maka memilih pemimpin adil, yang amanah dalam mendsitribusikan kesejahteraan, pemimpin yang berpihak kepada rakyat kecil, merupakan ajang pembuktian kita sebagai insan yang bertauhid. Partisipasi politik seorang muslim adalah sintesis tauhid. Keputusan untuk turun tangan mengambil peran dalam pesta demokrasi mendorong sosok pemimpin yang mampu mensejahterakan dan mendekatkan rakyat kepada Allah SWT, dapat diqiyaskan pada perjuangan para anbiya dalam memerangi rezim zalim.
ADVERTISEMENT
Pemahaman ini juga secara otomatis menggugurkan sikap masa bodoh pada dunia politik. Patut dicatat, ada dosa politik yang harus dipanggul dari kesalahan memilih pemimpin. Konsekuensinya ditangung oleh anak cucu kita. Mereka terancam mewarisi bangsa amburadul, bangsa hilang arah dan menjauh dari cita-cita nasional jika kita apatis dan melakukan pembiaran terhadap potensi kepemimpinan umat.
Contoh nyata yang terjadi akhir-akhir ini, sumber daya alam bangsa Indonesia dinikmati bukan oleh anak bangsa sendiri. Tapi diobral ke bangsa lain. Atas nama investasi, semua insentif dan kemudahan-kemudahan ditawarkan. Termasuk membebaskan investor asing memboyong tenaga kerja kasar dari negara asalnya sebagaimana temuan Ombudsman RI.
Sementara rakyat yang hidup di atas tanah kaya mineral dan berenang di laut berlimpah minyak dan biodiversity, hidup dalam nestapa kemiskinan. Bahkan jika menggunakan standar baru Bank Dunia dengan tingkat pengeluaran Rp32.745 perhari, maka lebih dari 40% penduduk Indonesia saat ini berkategori miskin.
ADVERTISEMENT
*Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI