Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
MPR : Ekonomi Digital Harus Meneguhkan Demokrasi Ekonomi
28 September 2021 8:13 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Tamsil Linrung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gemuruh pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia yang jadi magnet bagi para investor, perlu didorong agar memberikan benefit yang optimal bagi ekonomi rakyat. Ada kecendrungan, ekonomi digital semakin meminggirkan sektor ril. Terutama usaha kecil dan mikro. Hal ini lantaran arus investasi jumbo yang mengalir dari luar, juga disertai banjir produk impor melalui platform yang memperoleh suntikan modal. Khususnya ecommerce.
ADVERTISEMENT
Telaah kritis ekonomi digital itu mencuat dari Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk “Digitalisasi Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi” di Tangerang Selatan (27/9). Pimpinan Badan Pengkajian MPR, Tamsil Linrung dalam sambutannya menyatakan, di awal kemunculannya ekonomi digital diharapkan menjembatani inklusi ekonomi. Terutama di daerah.
Namun perkembangan mutakhir mengindikasikan terjadi sentralisasi. “Ekonomi digital tampak sangat Jakarta sentris. Padahal, kita berharap sektor ekonomi baru ini membuka akses, terutama bagi ekonomi di daerah,” imbuh Senator DPD RI ini.
Menurut Tamsil, hal itu seolah merepetisi problem klasik ekonomi masa lalu. Selain dalam aspek aksesabilitas yang masih terbatas di kota-kota besar di Pulau Jawa, siklus ekonomi yang terjadi juga minim pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pasalnya, ekonomi digital tumbuh dari momentum sektor konsumtif. Namun di saat yang sama, terjadi keterbatasan suplai. Situasi tersebut menambah ketergantungan pasar domestik dari importasi yang berefek pada eksistensi pengusaha lokal.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Tamsil menekankan pentingnya kehadiran negara dalam merespons fenomena ekonomi baru ini. Ketua Kolompok DPD di MPR ini menekankan, Pokok-Pokok Haluan Negara yang sedang dibahas dan dipersiapkan oleh MPR, harus mampu menangkap berbagai tantangan digitalisasi ekonomi guna mendorong tegaknya demokrasi ekonomi.
Yaitu bangunan perekonomian yang berpihak pada rakyat kecil, dan pada saat yang sama memberi ruang tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha besar.
Senada, ekonom Bhima Yudhistira merekomendasikan agar pemerintah meregulasi startup digital untuk bekerjasama dengan UMKM, khususnya di sektor business solution yang jadi kendala utama pelaku usaha lokal. Selain itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) ini juga menilai pentingnya evaluasi total seluruh perjanjian perdagangan bebas yang merugikan atau tidak dimanfaatkan dengan optimal.
ADVERTISEMENT
“Solusi berikutnya, Indonesia perlu memperbesar non-tariff measures dan pengaturan digital untuk mencegah banjirnya barang impor melalui ecommerce,” imbuh Bhima.
Selain itu, Bhima juga menyoroti dampak ekonomi digital di sektor tenaga kerja. Menurutnya, model kemitraan yang dikembangkan oleh startup meningkatkan risiko pekerja. “Konsep tersebut memang menguntungkan bagi business owner. Namun mitra tidak punya kepastian nasib. Tidak ada jaminan sosial dan proteksi dari perusahaan yang sebetulnya mempekerjakan mereka,” imbuhnya.
Karena itu, Bima memandang perlunya melibatkan mitra sebagai bagian dari pemilik saham startup melalui koperasi. Gagasan itu, juga jadi manifestasi demokrasi ekonomi di era gig economy. Yaitu ekonomi digital berbasis kekeluargaan dan gotong royong.
Sementara itu, dosen pascasarjana ilmu manajemen UI, Harris Turino menilai kecendrungan monopolistis seperti terjadi di beberapa sektor ekonomi digital merusak pasar. Animal spirit untuk menguasai semua, merupakan konsekuensi yang harus dihadapi.
ADVERTISEMENT
“Namun dalam konteks ideologi ekonomi Pancasila yang dianut Indonesia, pemerintah harus berpihak kepada yang lemah dan memberi ruang yang lain untuk tumbuh. Harus ada proteksi dari negara di dalam PPHN,” paparnya.
Tim Media dan Komunikasi
B-107