Rekonstruksi Pendidikan Adil dan Merdeka

Mu'min Boli
Penulis Buku Generasi Transisi dan Turbulensi Politik (Catatan Kritis Anak Bangsa).
Konten dari Pengguna
27 September 2022 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mu'min Boli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
77 tahun sudah kemerdekaan bangsa ini. Namun, sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia belum juga mampu memenuhi cita-cita kemerdekaan bagi rakyatnya secara optimal. Keadilan dan kemakmuran yang selalu dinarasikan para pejabat di negeri ini, pada faktanya, hanya sebuah demagogi palsu yang tak kunjung terwujud dalam kalbu rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Dalam usia yang hampir senja ini pun, cita-cita besar Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tak kunjung terealisasi. Setiap tahunnya angka putus sekolah melunjak drastis. Pandemi covid-19 yang menghunjam Indonesia pada maret 2020 lalu turut membuka tabir itu, bahwa selama ini pendidikan kita rapuh, gersang secara filosofis dan dialasi nilai komersil yang akut.
Lantas, bagaimana kondisi pendidikan nasional kita saat ini, jika ditinjau dari segi akses memperoleh pendidikan?
Akses Pendidikan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukan bahwa hanya 16,3% dari kelompok masyarakat dengan pengeluaran terendah yang mampu menempuh pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Persentase ini sangat kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat dengan pengeluaran tertinggi yang mampu menempuh pendidikan tinggi yang mencapai 56,87%.
ADVERTISEMENT
Data ini menunjukkan bahwa, masih banyak anak dari kelompok rentan di Indonesia kehilangan kesempatan belajar dan tidak dapat menjangkau layanan pendidikan.
Persentase data di atas pun menunjukkan bahwa meskipun sudah 77 tahun merdeka, akan tetapi masalahnya masih sama seperti saat dijajah kolonial Belanda dulu yakni sulitnya mengakses pendidikan yang layak. Pendidikan hanya privilese dan barang mewah bagi kalangan berpunya.
Adili Pendidikan
Padahal, dalam pembukaan UUD 1945 sudah dijelaskan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia berdiri adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan itu pun diperjelas lagi dalam pasal 31 ayat 1-5 yang pada poinnya ialah bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara dan penyelenggaraan pendidikan haruslah berbasis nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Tapi jika merujuk data BPS di atas, maka mengapa alokasi anggaran 20% dari total APBN negara yang triliunan selama ini belum mampu menjawab masalah minimnya akses dan pemerataan pendidikan?
ADVERTISEMENT
Apa yang salah sebenarnya? Tentu banyak asumsi liar yang berkeliaran di benak kita untuk menjawab itu.
Merdekalah Pendidikan
Selanjutnya, dalam aspek pendidikan sebagai human capital invesment maka nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan adalah fondasi yang patut dijadikan derap langkah pembangunan bangsa. Dengan begitu, upaya menciptakan SDM unggul bisa terwujud secara integratif dengan peradaban dunia.
Menurut saya, untuk menjawab studi kasus pemerataan akses pendidikan yang masih minim, maka ada dua hal yang bisa dilakukan dalam menyikapi itu. Baik dalam perspektif pendidikan dari kerangka makro maupun mikro.
Pertama, rekonstruksi paradigma pendidikan humanis sebagai solusi mendasar. Upaya ini penting sebab di era disrupsi teknologi ini, orientasi maupun arah pendidikan bangsa kita masih tergerus dengan ideologi pasar. Walhasil, pendidikan dikomersialisasikan dan jauh dari amanat konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kedua, reformasi birokrasi lembaga pendidikan berbasis masyarakat sebagai solusi sistemik. Upaya ini juga penting sebab dengan mereformasi lembaga pendidikan dan mensinergikannya dengan sistem sosial maka akan terjawab relevansi pendidikan yang memerdekakan.
Tentu dua upaya di atas memerlukan adanya political will dari pemerintah. Dengan begitu maka pendidikan bisa diakses semua pihak tanpa terkecuali. Itulah pendidikan merdeka. Pendidikan yang memanusiakan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan.