Kebijakan Afirmatif untuk Tingkatkan Partisipasi Politik Perempuan

Tanaya
Mahasiswi tahun pertama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang penuh rasa ingin tahu akan isu- isu faktual di bidang hukum.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2023 21:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tanaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partisipasi politik pada perempuan. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partisipasi politik pada perempuan. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki yang kental masih melanggengkan ketimpangan gender pada perempuan Indonesia di zaman modern ini. Merujuk pada data World Economic Forum (WEF) tentang laporan ketimpangan gender global tahun 2022, diketahui bahwa Indonesia mendapat skor indeks ketimpangan gender 0,697 dan berada di peringkat ke-92 dari 146 negara. Angka ketimpangan gender di Indonesia didominasi dari ketimpangan partisipasi dan pemberdayaan perempuan di bidang politik dengan angka 0,169 atau di bawah rata-rata global.
ADVERTISEMENT
Kurangnya partisipasi perempuan di bidang politik berpengaruh pada kualitas produk-produk politik dan hukum yang dihasilkan pula. Fakta menyebutkan bahwa Komnas Perempuan masih harus mengkaji kembali 421 regulasi yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Berhubungan dengan hal ini, Direktur Pusat Gender dan Demokrasi LP3ES, Julia Suryakusuma, Ph.D., menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam politik sangat krusial dalam perumusan kebijakan yang lebih berperspektif gender dan signifikan bagi perempuan. Pendapatnya juga sejalan dengan teori perwakilan gyroscopic karena perempuan dapat berangkat dari pengalaman dirinya sendiri ketika memperbincangkan kepentingan konstituen.
Demi menambah partisipasi perempuan di bidang politik, pemerintah telah menerapkan kebijakan-kebijakan afirmatif atau affirmative actions. Kebijakan afirmatif sendiri adalah sebuah kebijakan yang memberikan keistimewaan terhadap suatu golongan agar memperoleh peluang yang setara dengan golongan lain demi tercapainya persamaan dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan afirmatif telah mempunyai dasar pada konstitusi yaitu pasal 28H ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Kebijakan afirmatif untuk mendorong partisipasi perempuan di bidang politik di Indonesia hadir lewat dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah dengan mewajibkan partai politik peserta pemilu untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg) (DPR, DPD, dan DPRD). Hal itu secara tegas dinyatakan dalam pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Bentuk kebijakan afirmatif yang kedua adalah dengan menerapkan zipper system atau sebuah sistem yang mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Hal itu juga telah dinyatakan secara tegas dalam pasal 55 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008.
ADVERTISEMENT
Dua bentuk kebijakan afirmatif tersebut telah terbukti meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik, khususnya dalam lembaga legislatif nasional. Pada penerapan kebijakan pengkuotaan 30% caleg perempuan oleh partai pertama kali pada pemilu 2004, persentase perempuan di parlemen meningkat dari angka 9% di tahun 1999 menjadi 11,8%. Sementara itu, penerapan zipper system bahkan berhasil meningkatkan persentase perempuan di parlemen dari angka 11,8% tadi menjadi 18%.
Kebijakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan di politik terbukti diperlukan dan berdampak baik di Indonesia. Kebijakan afirmatif yang lain pun dapat diterapkan untuk menyempurnakan dan melanjutkan dampak baik yang telah ada seperti penempatan caleg perempuan di nomor urut atas. Nomor urut terbukti berdampak pada keterpilihan caleg. Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sekaligus dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan:
ADVERTISEMENT
Laman The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menyebutkan bahwa perempuan dalam memasuki dunia politik memiliki sejumlah hambatan. Hambatan modal sosial dan finansial menjadi salah satu di antaranya. Kebijakan afirmatif lain yang dapat menjadi jawaban atas permasalahan tersebut adalah penyaluran 30% dana bantuan partai politik terhadap kaderisasi dan rekrutmen caleg perempuan.
Penyaluran dana ini dapat digunakan untuk membentuk sekolah legislasi untuk perempuan dan mensubsidi dana kampanye untuk para caleg perempuan. Kebijakan afirmatif ini tidak hanya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik, tetapi juga mengakhiri masalah "asal comot" caleg perempuan yang merupakan implikasi buruk dari pengkuotaan 30% caleg perempuan dalam partai.
Dengan semakin banyaknya perempuan yang terjun ke dunia politik, penyelesaian permasalahan gender akan lebih akurat dengan pertimbangan-pertimbangan realistis yang hadir dari perempuan itu sendiri. Kebijakan berbasis gender yang akan dilahirkan juga akan lebih akomodatif terhadap para perempuan sebagai kaum yang seringkali termarginalisasi. Maka dari itu, marilah kita buat kaum perempuan berdaya agar bisa memberdayakan dan tidak mudah diperdaya.
ADVERTISEMENT