Strategi Diplomasi Ekonomi dan Ekonomi Digital untuk Daya Tawar Indonesia

Tane Andrea Hadiyantono
Mahasiswa Hubungan Internasional UGM program studi MA in Digital Transformation and Competitiveness
Konten dari Pengguna
12 Maret 2023 13:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tane Andrea Hadiyantono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Sebagai negara dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) ke-16 terbesar di dunia (2021) dan raksasa ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara, maka menjadi unik ketika Indonesia masih dikategorikan sebagai negara middle income oleh Bank Dunia. Untungnya, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan memberikan perhatian khusus pada sektor digitalnya yang berpotensi melompat lima kali lebih tinggi dari capaian saat ini pada 2030 mendatang.
ADVERTISEMENT
Namun sebagai negara berkembang yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap perekonomian global dan investasi asing, Indonesia harus melakukan langkah strategis. Tujuannya agar produk dan aset teknologi tetap menjadi bagian dari kedaulatan negara dan Indonesia bisa mengikis ketergantungan, alias interdependensi, dengan negara Global North.
Oleh karena itu, dalam menyusun langkah strategis kerja sama dengan negara maupun perusahaan asing yang akan berbisnis di Indonesia, sangat penting untuk memahami stance politik dan kebijakan luar negeri yang dimiliki negara pemodal sebelum meneken kerja sama antar negara. Model diplomasi ini disebut sebagai “Diplomasi Ekonomi” yang menjadi sentral dalam kebijakan luar negeri negara di bawah pemerintahan Joko Widodo dengan tujuan utama meningkatkan arus perdagangan dan investasi untuk pertumbuhan yang didorong oleh ekspor.
ADVERTISEMENT
Selain diplomasi ekonomi, sebenarnya terdapat model komunikasi lintas negara yang lebih sesuai dengan framework dunia yang makin digital dan disebut sebagai “Diplomasi Ekonomi dan Inovasi.” Model ini merupakan instrumen diplomasi baru yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam isu-isu ekonomi, teknologi, dan sumber daya manusia yang muncul secara multidimensi dan membuka peluang penciptaan kebijakan yang holistik untuk menjawab disrupsi teknologi yang muncul.
Sementara itu, diplomasi inovasi menjadi konsep bagi Indonesia untuk beradaptasi dengan peluang-peluang baru dan menghadapi tantangan dalam model diplomasi sebelumnya. Melalui model ini, pemerintah dan aktor internasional dapat mengambil peran-peran strategis dan inovatif untuk meningkatkan kontribusi negara dalam urusan internasional.
Melalui esai ini penulis akan memaparkan keadaan ekonomi dan potensi akselerasi pertumbuhan melalui digitalisasi di Indonesia; isu interdependensi terhadap Global North sebagai pemilik teknologi dan modal, serta kesempatan Indonesia untuk melakukan leverage kepada negara mitra melalui diplomasi ekonomi dan inovasi di sektor digital seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam perhelatan G20 melalui forum Digital Economy Working Group (DEWG).
ADVERTISEMENT

Akselerasi ekonomi melalui digitalisasi

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan bahwa Indonesia telah terjebak sebagai negara middle income selama 29 tahun terakhir. Menurut Suharso (Sopiah, 2022), dibutuhkan pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata 6 persen per tahun bila Indonesia ingin keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah. Pernyataan tersebut ia lontarkan dalam perhelatan G20 di Bali saat sesi Indonesia Development Forum 2022: Knowledge and Initiate Session.
Mengacu pada data Bank Dunia (2022), Indonesia sejak 1987 sudah tercatat sebagai negara Low Income, baru pada 1993 negara ini berhasil memasuki level Lower Middle Income dan relatif stabil di level tersebut hingga 2019 yang mana ekonomi membaik dan negara kepulauan ini berhasil masuk ke tingkat negara Upper Middle Income. Namun pandemi Covid-19 menyebabkan ekonomi berjalan mundur dan Indonesia kembali memasuki peringkat negara Lower Middle Income sejak 2020 hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satunya terdapat pada ekonomi digital. Menurut laporan Google, Temasek dan Bain & Company (2022) mengenai ekonomi digital Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi pertama dengan nilai USD 77 miliar pada 2021 dan diprediksi akan tumbuh sekitar lima kali lipat menjadi USD 360 miliar pada 2030.
Potensi ekonomi digital Indonesia berdasarkan laporan Google, Temasek & Bain dalam laporan e-Conomy SEA 2022.
Nilai tersebut berasal dari akumulasi transaksi dari sektor e-commerce, travel, makanan dan transportasi serta media online yang dikumpulkan menjadi gross merchandise value (GMV). Bila dibandingkan dengan PDB Indonesia tahun tersebut di USD 1.186 triliun; maka nilai ekonomi digital Indonesia versi Google berkontribusi sebesar 6,4 persen total PDB 2021.
Meningkatkan transaksi e-commerce dapat dilakukan melalui dua cara, yakni dengan meningkatkan persentase belanja online serta mendigitalkan penjual. Opsi pertama dapat dilakukan dengan menggencarkan kegiatan marketing dan periklanan untuk meningkatkan minat belanja daring.
ADVERTISEMENT
Sedangkan opsi kedua melalui kerja sama strategis berupa literasi digital kepada penjual. Program ini yang kerap dilakukan oleh perusahaan fintech, perbankan, bahkan media sosial seperti proyek UMKM Go Digital & Scale Up with WhatsApp yang mengajak penjual di pasar dan UMKM untuk menjual produk melalui katalog bisnis di aplikasi chatting milik Meta.
Ada juga program jemput bola seperti yang dilakukan oleh GoTo Indonesia, startup fintech DANA dan OVO yang secara satu-persatu mendatangi toko-toko offline dan mengajak mereka untuk menggunakan layanan keuangan daring dan pembayaran melalui QR Code. Partisipasi toko di layanan keuangan online ini akan berkontribusi pada nilai fintech Indonesia.
Adapun fintech menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan sektor yang sangat menjanjikan karena memiliki nilai Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 39 persen. Angka ini merupakan tertinggi kedua di antara negara-negara G20 selama masa pandemi Covid-19 hingga tahun ini. Dengan CAGR sebesar 15 persen dari tahun 2022 hingga tahun 2027 prognosisnya, nilai transaksi sektor fintech global diproyeksikan mencapai USD 28 Triliun pada tahun 2027.
ADVERTISEMENT
Mengutip informasi Kominfo, terdapat lima segmen fintech utama yang memiliki potensi besar dalam mendigitalisasi sektor jasa keuangan di Indonesia, yakni segmen Neobanking, Alternative Financing, Digital Assets, Digital Investment, serta segmen Digital Payments. Namun tidak hanya pada sektor belanja ritel dan keuangan digital, sebenarnya terdapat banyak potensi digitalisasi bisnis yang bisa dijajaki seperti sektor healthtech, IT software, Web3 dan education technology yang tengah menjadi perhatian utama para investor dan venture capitalist.
Potensi adopsi teknologi di sektor service juga disinggung dalam laporan Asian Development Bank yang menyatakan adopsi teknologi dapat menambah ekonomi Indonesia hingga USD 2,8 triliun pada tahun 2040 serta memacu pertumbuhan PDB dengan tambahan 0,55 poin persentase per tahun selama dua dekade berikutnya. Target ini bisa dicapai bila Indonesia melakukan adopsi Industri 4.0 pada sektor manufaktur strategis.
ADVERTISEMENT
Namun yang perlu diperhatikan ke depan adalah siapa yang akan menjadi pemodal dari investasi-investasi teknologi tersebut dan relasi politik dan ekonomi yang terbawa bila pemodal dari negara asing.
Sebagai referensi, investor utama dari perusahaan e-commerce Indonesia mayoritas berasal dari negara asing, sebut saja Temasek dari Singapura, Alibaba dari China, Softbank dari Jepang, kemudian BlackRock, Google dan Facebook yang ketiganya dari Amerika Serikat merupakan korporasi pemegang saham PT. GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Adapun GOTO dimiliki oleh PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa yang per 2021 hingga 86,37 persen sahamnya dimiliki oleh asing.
Kepemilikan yang mayoritas asing ini yang membuat saham GOTO menjadi sensitif terhadap kondisi global dan arah konsep bisnis dari perusahaan multinasional.
ADVERTISEMENT

Daya Tawar Indonesia: Diplomasi Ekonomi dan Inovasi dalam Digital

Daya tawar negara, atau bargaining position dalam hubungan perdagangan internasional umumnya dipahami sebagai seberapa besar nilai ekonomi dan manuver politik sebuah negara dan pengaruhnya terhadap perdagangan global. Sesuai paham kapitalis dan realis, semakin banyak aset yang dimiliki, maka semakin besar power yang dimiliki sebuah negara.
Status Indonesia sebagai negara G20 merupakan salah satu daya tawar yang memungkinkan negara ini menjadi tuan rumah untuk perhelatan akbar para kepala negara ekonomi terbesar di dunia serta menjadi ketua dalam forum Digital Economy Working Group (DEWG) yang diadakan pada September 2022 lalu dengan tema Achieving a Resilient Recovery: Working Together for a More Inclusive, Empowering, and Sustainable Digital Transformation.
ADVERTISEMENT
Melalui DEWG ini, Indonesia berhasil mendapatkan komitmen dari negara-negara mitra terhadap tiga isu prioritas berupa (1) Konektivitas Digital dan Pemulihan Pasca COVID-19; (2) Kecakapan Digital dan Literasi Digital; dan (3) Data Free Flow with Trust and Cross-Border Data.
Melalui DEWG para delegasi membagikan pengalaman dalam melakukan pemanfaatan konektivitas digital serta keamanan digital pada berbagai sektor serta. Tidak hanya itu, terdapat bagian khusus yang membahas bahwa ekonomi digital dapat menjadi solusi bagi kelompok masyarakat rentan yang dapat di-upgrade dengan modal literasi digital dan akses teknologi yang tepat guna.
Poin penting yang berhasil disepakati dalam forum ini adalah kesadaran akan digital-divide atau ketimpangan digital sebagai tantangan yang menghambat seluruh lapisan masyarakat untuk menikmati manfaat dari ekonomi digital. Persetujuan para delegasi akan konsep interaksi orang-ke-orang, serta konektivitas digital yang berpusat pada orang sesuai rekomendasi yang ditawarkan Kepresidenan G20 menjadi bukti power leverage Indonesia dalam mengarahkan komitmen baik transformasi digitalisasi global.
ADVERTISEMENT
Stabilitas ekonomi ini tidak hanya meningkatkan pertumbuhan kapita, namun juga menjadi kesempatan untuk terlepas dari jebakan negara pendapatan rendah yang belum bisa memaksimalkan aset teknologi untuk mendulang profit berlipat.
Ekonomi yang hawkish akan berdampak positif pada iklim berusaha dan membuka lebih banyak kesempatan berbisnis, yang idealnya semakin banyak dibiayai oleh pemodal nasional. Namun mengingat posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang mengalami ketergantungan dengan investasi, teknologi dan tensi geopolitik asing, maka pemerintah maupun sektor bisnis harus cerdas dalam memilih mitra. Selain framework kerja sama bilateral dan multilateral, kerangka keamanan digital internasional menjadi variabel yang harus dipertimbangkan juga.
Terakhir, menganalisa kebijakan eksisting dan paket-paket insentif bisnis yang dapat membantu usaha digital dan transformasi digital di Indonesia menjadi kunci penting untuk memudahkan administrasi, birokrasi dan dalam menjalin hubungan baik dengan multi-pihak.
ADVERTISEMENT