Konten dari Pengguna

Coklat Dubai vs Beras: Pilihan Bijak atau Hanya Ikut Tren?

Tania Amanda Sentosa
Siswa di SMA Citra Berkat
27 Januari 2025 13:44 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tania Amanda Sentosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, tren makanan viral semakin menjamur di berbagai platform media sosial. Salah satu yang sedang naik daun adalah coklat Dubai, yang dikenal dengan rasa lezat dan kemasannya yang mewah. Namun, muncul pertanyaan, apakah coklat Dubai benar-benar pilihan bijak dibandingkan dengan kebutuhan pokok seperti beras? Apakah fenomena FOMO (Fear of Missing Out) menjadi alasan utama masyarakat lebih memilih produk tren dibanding kebutuhan esensial mereka?
Sumber: pixabay.com/ulleo
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay.com/ulleo
Fenomena FOMO dalam Konsumsi Makanan
ADVERTISEMENT
FOMO merupakan dorongan psikologis di mana seseorang merasa takut ketinggalan tren yang sedang populer. Dalam konteks makanan viral, banyak orang yang ingin ikut mencoba demi bisa berpartisipasi dalam tren dan membagikan pengalaman mereka di media sosial. Hal ini didukung oleh influencer dan selebriti yang sering kali mempromosikan makanan viral, sehingga menciptakan rasa penasaran dan urgensi di kalangan konsumen.
Namun, fenomena ini sering kali membuat masyarakat mengesampingkan prioritas yang lebih penting, seperti membeli beras yang merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Alih-alih mengalokasikan dana untuk kebutuhan esensial seperti beras, sayur, dan protein, sebagian orang lebih memilih membeli coklat Dubai dengan harga yang relatif tinggi.
Sumber: pixabay.com/Mojpe
Perbandingan Nilai Antara Coklat Dubai dan Beras
Jika dibandingkan dari segi nilai gizi dan manfaat, beras tentu memiliki keunggulan yang lebih jelas. Sebagai sumber karbohidrat utama bagi sebagian besar masyarakat, beras berperan penting dalam memberikan energi yang dibutuhkan tubuh untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Di sisi lain, coklat Dubai lebih bersifat rekreasional dan konsumtif, yang umumnya tinggi gula dan lemak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, coklat Dubai dijual dengan harga yang tidak murah. Dalam satu kali pembelian coklat Dubai, seseorang bisa mendapatkan beberapa kilogram beras yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga dalam jangka waktu yang lebih lama. Jika masyarakat tidak berhati-hati dalam mengelola keuangan, pengeluaran impulsif untuk makanan viral dapat berdampak negatif pada stabilitas finansial mereka.
Nah, Coklat Dubai memang menarik dan memberikan pengalaman baru, namun bukan berarti harus menjadi prioritas utama dalam pengeluaran. Masyarakat perlu lebih bijak dalam membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta memastikan bahwa keputusan konsumsi yang diambil tidak semata-mata didorong oleh tren atau rasa takut ketinggalan. Dengan pendekatan yang lebih sadar, kita dapat menikmati tren tanpa harus mengorbankan kebutuhan pokok yang lebih penting, seperti beras.
ADVERTISEMENT