Konten dari Pengguna

Apa Akibat Jurusan IPA, IPS dan Bahasa di SMA di Hapus dalam Kurikulum Merdeka?

Tantan
Praktiisi Pendidikan, merupakan Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, Tinggal di Kota Moci
28 Juli 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi pembelajaran Kurikulum Medeka di SMA (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi pembelajaran Kurikulum Medeka di SMA (dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pro dan kontra penghapusan penjurusan di SMA menjadi hal yang cukup menarik di dunia Pendidikan. Karena hanya pada era kurikulum merdeka ini jurusan atau peminatan dihapuskan oleh pemerintah. Dan yang ada adalah pemilihan mata pelajaran, siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran tertentu berdasarkan minat dan cita-citanya.
ADVERTISEMENT
Baik yang pro maupun kontra, argumentasinya seharusnya disandarkan pada kepentingan peserta didik. Itu artinya semua pihak beritikad baik untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Ya itulah Indonesia, kita patut berbangga karena masyarakat ikut peduli terhadap pendidikan generasi kedepan.
Itulah pentingnya duduk bersama, karena ide atau gagasan setiap orang baik itu para pakar pendidikan, praktisi atau orang yang peduli terhadap pendidikan seharusnya menjadi aset gagasan yang berharga untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Pengambilan keputusan tidak hanya disandarkan pada orang yang pro saja, karena urusan pendidikan adalah urusan bersama yang akan menentukan kejayaan negara di masa yang akan datang, terutama menyiapkan generasi Indonesia Emas.
Ibnu Kholdun pernah berkata:
“Orang Merdeka itu membela ide yang benar dari siapapun. Budak itu membela Tuannya apapun Idenya”.
ADVERTISEMENT
Masuk dalam sebuah lingkaran “Tuan”, bukan berarti harus membela Tuannya apapun idenya. Sikap kritis, analitis dan terbuka berdasarkan kaidah riset dan pengalaman seharusnya masih tetap menjadi pegangan.
Begitupun bagi yang kontra, sikap kritis tidak didasarkan pada kebencian. setiap perubahan yang dikeluarkan oleh “Tuan” tidaklah langsung dianggap sebagai sesuatu yang salah atau bertentanagn dengan kebaikan.
Kemerdekaan tetap harus dimiliki oleh keduanya, di luar kepentingan mendukung atau menolak terhadap kebijakan “Tuan”, dan fokus pada perubahan yang lebih baik.
Kembali pada penjurusan, peminatan atau pemilihan mata pelajaran di tingkat SMA. Dengan bergantinya kurikulum kebijakan inipun terus berganti. Dahulu dikenal dengan istilah jurusan A1, A2, A3, A4, A5; juga ada IPA, IPS, Bahasa; ada juga peminatan IPA, IPS dan Bahasa. Dan sekarang istilah itu diganti dengan pemilihan mata pelajaran.
ADVERTISEMENT
Penjurusan di era kurikulum terdahulu dianggap sebuah kegagalan. Beberapa masalah diantaranya adalah siswa terpaksa harus menerima pelajaran di program tertentu yang tidak ia sukai, karena sudah masuk pada jurusan tertentu. Semisal anak tidak suka fisika, karena dia masuk jurusan IPA maka mau suka tidak suka dia harus belajar fisika. Pertanyaannya apakah itu kemudian dianggap sebuah kegagalan? Tidak adakah hal baik, ketika dia belajar fisika?
Berikutnya, penjurusan dianggap gagal karena lulusan jurusan IPA, IPS atau Bahasa dalam memilih jurusan di perguruan tinggi banyak yang tidak sesuai dengan jurusan di sekolahnya. Misalnya, di SMA nya jurusan IPA, setelah lulus dari SMA Ia mengambil jurusan hukum. atau asalnya jurusan IPS tapi Ketika kuliah mengambil jurusan keperawatan, namun apakah yang demikian juga sebuah kegagalan?
ADVERTISEMENT
Hal lainnya, anggapan kegagalan penjurusan itu adalah adanya anggapan bahwa masuk IPA lebih bergengsi daripada masuk IPS atau Bahasa. Anggapan ini menjadi sebuah stigma negative pada pelebelan IPA, IPS dan Bahasa. Anak yang masuk IPA lebih pintar daripada jurusan yang lain dan bisa menjadi syarat masuk pada sekolah kedinasan tertentu.
Sebetulnya di kurikulum 2013, hal-hal tersebut di atas sudah menjadi pembicaraan dan sudah ada beberapa yang menjadi solusi kebijakan, diantaranya penjurusan yang asalnya didasarkan pada nilai rapor atau tes diubah menjadi peminatan, yang kita kenal dengan peminatan IPA, IPS dan Bahasa.
Siswa dikelompokkan berdasarkan minatnya tidak berdasarkan nilai rapor. Istilah lintas minat dan pendalaman juga sudah muncul, siswa yang mengambil peminatan IPA bisa mengambil pelajaran di peminatan lain seperti IPS dan bahasa. Namun dalam pelaksanaannya terbentur dengan dengan kebijakan lain, seperti setiap guru yang sudah sertifikasi harus mengajar minimal 24 jam, belum sinkronnya keinginan siswa dengan orang tua serta rendahnya pemahaman siswa dalam menentukan masa depannya.
ADVERTISEMENT
Dalam kurikulum merdeka, mulai kelas 11 atau kelas 2 SMA siswa dibebaskan memilih mata pelajaran peminatan tertentu sesuai dengan keinginan dan cita-citanya. Sebagai contoh ia mau masuk kedokteran, maka di SMA nya ia harus memilih mata pelajaran pendukung seperti Kimia dan Biologi, atau Ia akan meneruskan ke Teknik Fisika makai ia harus memilih mata pelajaran pendukung Fisika dan Matematika lanjut.
Kebijakan ini didukung oleh kebijakan-kebijakan kemendikbud yaitu dengan seleksi masuk perguruan tinggi jalur rapor yang memberikan pembobotan lebih pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan jurusan yang ingin siswa ambil. Selanjutnya yaitu dengan dihilangkannya tes mapel pada seleksi perguruan tinggi negeri berdasarkan tes, yaitu dengan hanya memberikan tes litrasi dan tes potensi skolastik tanpa melibatkan mata pelajaran.
ADVERTISEMENT
Penghapusan jurusan di SMA menurut hemat penulis bukanlah akar masalah dari semua kegagalan di atas. Malahan, dengan dengan diberikan kebebasan siswa dalam memilih mata pelajaran akan menimbulkan masalah baru, jika akar masalahnya tidak diselesaikan terlebih dahulu oleh Kemendikbud.
Pertama, terjadi kerentanan salah dalam mengambil mata pelajaran pilihan. Siswa kelas 10 masih dalam kondisi labil, jika kita tanya cita-cita mereka hanya berapa persen yang bisa menjawab dengan pasti. Itu artinya sangat mungkin siswa di tengah perjalanan atau di akhir akan berfikir ulang untuk mengubah cita-citanya termasuk masuk ke jurusan di perguruan tinggi tertentu. Bukankah ini akan lebih rentan daripada penjurusan sebelumnya?
Kedua, kebijakan jam mengajar guru masih mensyaratkan minimal 24 jama pelajaran, bahkan ada beberapa daerah yang mewajibkan 30 jam. Hal ini akan terjadi kerentanan bagi penyelenggara pendidikan level satuan pendidikan untuk mengarahkan peserta didiknya dalam memilih mata pelajaran tertentu supaya terjadi sinkronisasi antara kebutuhan jam mengajar dengan jumlah guru mapel yang ada di sekolah.
ADVERTISEMENT
Ketiga. dikarenakan dibebaskannya pemilihan mata pelajaran berdasarkan minat Satuan Pendidikan dan Kemendikbud tidak akan bisa memprediksi kebutuhan guru tiap tahunnya, yang akan berakibat pada kurang kondusipnya pembelajaran. Mungkin ada guru yang kelebihan jam mengajar, atau justru ada guru yang nganggur.
Keempat, belum sinkronnya dengan perguruan tinggi tertentu. Masih banyak perguruan tinggi yang pada tingkat pertama masih menyelenggarakan TPB, dimana masih mewajibkan mahasiswanya untuk mengikuti pembelajaran wajib seperti Matematika, Fisika, Kimia untuk semua jurusannya. Bisa dibayangkan mahasiswa akan keteteran pada mata pelajaran tertentu karena dia tidak punya dasar di SMA untuk mata pelajaran tersebut.
Kelima, tidak semua siswa SMA akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi, dipastikan lebih dari 50 % siswa SMA tidak melanjutkan ke Perguruan tinggi. Apalagi di sekolah-sekolah pinggiran, ini tidak boleh di napikan oleh pemerintah, seolah semua siswa SMA akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Bagaimana perhatian pemerintah untuk mereka yang tidak akan melanjutkan?
ADVERTISEMENT
Demikian sedikit tinjauan penulis dalam menyikapi penghapusan jurusan di SMA, hal ini di luar sikap pro dan kontra, namun penulis ingin memberikan sebuah gambaran di lapangan yang seharusnya menjadi catatan dan sudah diantisipasi oleh pemerintah supaya anak-anak kita tidak menjadi korban dari sebuah kebijakan.