Konten dari Pengguna

Kisruh Proses PPDB: Mengapa Tidak Meniru Seleksi PTN?

Tantan Hadian
Praktiisi Pendidikan, Alumnus S3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, Tinggal di Kota Moci
16 Juli 2023 12:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hadian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana di depan Balai Kota Bandung, Rabu (3/7). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di depan Balai Kota Bandung, Rabu (3/7). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
Ada dua nuansa yang berbeda walaupun dalam satu naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristekdikti) yaitu hebohnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang sekolah menengah di berbagai daerah dan adem ayemnya seleksi penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
ADVERTISEMENT
Penerimaan mahasiswa baru PTN yaitu melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), Seleksi Nasional Berdasarkan Test (SNBT) dan Seleksi Mandiri (SM), cenderung secara umum tidak ada masalah.
Calon mahasiswa, orang tua siswa, masyarakat, LSM, legislatif, eksekutif, yudikatif, aparat keamanan dan seluruh lapisan masyarakat mau menerima hasil seleksi yang diadakan oleh kemendikbud melalui panitia pusatnya.
Namun jika kita melihat PPDB khususnya sekolah menengah (SMP dan SMA) dari tahun ke tahun semenjak otonomi daerah selalu menimbulkan masalah.
Saya katakan semenjak otonomi daerah karena sebelumnya kekisruhan ini tidak terjadi. Ketika pengumuman selesai, mulailah kehebohan terjadi dengan berbagai isu dan yang menjadi objek adalah persekolahan.
Yang menjadi pemikiran saya, mengapa dua hal ini memiliki nuansa yang sangat berbeda? Apakah ini sistem yang salah, pelaksana di lapangan yang salah atau kurangnya kesadaran masyarakat?
ADVERTISEMENT

Seleksi di PTN

Ilustrasi ujian masuk PTN. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Seleksi PTN adalah seleksi terpusat dengan panitia yang ditentukan oleh Kemendikbudristekdikti yaitu Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3) yang sebelumnya dengan istilah LTMPT. Ada tiga jalur penerimaan seperti seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu SNBP, SNBT, dan SM.
Tidak ada istilah zonasi, jalur khusus atau afirmasi tertentu. Konsepnya bukan pada pemerataan pendidikan namun tetap mengusung pada peningkatan kualitas pendidikan.
Siswa dari kalangan masyarakat yang tidak mampu harus berjuang untuk mendapatkan tiket masuk melalui SNBP dan SNBT. Atau dengan istilah lainnya mereka harus berjuang di tingkat SMA nya supaya pintar dan bisa bersaing dengan teman yang lainnya.
Tidak ada spesial karena kurang mampu dapat masuk PTN secara cuma-cuma, namun pendidikan mental tetap diterapkan supaya mereka semangat untuk berjuang masuk perguruan tinggi negeri impiannya.
Ilustrasi Transaksi atau Uang Rupiah. Foto: Shutterstock
Setelah masuk PTN, baru mereka diberikan kompensasi pembiayaan, tidak perlu bayar UKT bahkan untuk sehari-hari mereka mendapatkan uang saku untuk meringankan beban hidup kesehariannya. Menurut saya ini baru keren.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang mampu, maka diberlakukan Uang Kuliah Tunggal (UKT), ada yang bayar hanya Rp 500 ribu sampai dengan puluhan juta rupiah tergantung dari kondisi ekonomi keluarganya. Apakah ini adil, kalau dijalankan dengan benar hal ini saya pikir cukup adil.
Bagaimana kehidupan sekolah swasta? Dengan sistem seperti ini Perguruan Tinggi Swasta (PTS) bisa hidup normal, bahkan berkembang pesat berdampingan dengan PTN.
Tidak ada PTS demo karena kehabisan mahasiswa oleh PTN, adapun yang gulung tikar adalah PTS yang bermasalah saja, dan itu jumlahnya sedikit.
Adakah intervensi dari pihak tertentu? Sejauh ini belum ada pemberitaan PTN di intimidasi oleh pihak-pihak tertentu supaya ‘anaknya’ masuk pada PTN tersebut.

Seleksi di SMP dan SMA

Ilustrasi anak SMA perempuan. Foto: Shutterstock
Seleksi di SMP dan SMA yang dikenal dengan PPDB masih menggunakan peraturan kemendikbud yang lama yaitu permendikbud No 1 tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Dengan 2 tahap jalur seleksi yaitu tahap satu jalur afirmasi KETM, afirmasi ABK, Afirmasi kondisi tertentu, perpindahan orang tua dan anak guru, dan jalur prestasi. Sementara untuk tahap dua adalah murni jalur zonasi.
Berbeda dengan seleksi di PTN, walaupun peraturan ditentukan oleh menteri dan mengacu pada juknis yang ditetapkan pemerintah, serta aplikasi yang digunakan dalam PPDB adalah dari dinas pendidikan, namun tanggung jawab ada pada Kepala Sekolah.
Sehingga wajar kehebohan di berbagai kota yang banyak terjadi seperti diberitakan beberapa media, yang objeknya adalah sekolah karena dengan mudahnya kalangan tertentu untuk mengintervensi.
Tidak heran juga kalau ada sekolah gerbangnya yang digembok masyarakat tertentu, ada tekanan mental kepada panitia dan kepala sekolah, adanya surat-surat sakti dari ‘penguasa’ lokal dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sekolah tidak mengeluarkan surat KETM (keterangan tidak mampu), sekolah tidak mengeluarkan surat keterangan anak berkebutuhan khusus (ABK), dan sekolah pun tidak mengeluarkan surat Kartu Keluarga (KK).
Sekolah hanya memeriksa keabsahan dari surat-surat itu berdasarkan peraturan dalam juknis PPDB.
Mengapa ketika ada penyelewengan surat-surat di atas malah sekolah yang dipersalahkan? Sebagai contoh ada siswa masuk jalur KETM padahal dia orang yang mampu, masyarakat menunjuk sekolah yang curang, padahal sekolah tidak ada kewenangan dan waktu yang banyak sampai mendatangi rumah, dan mewawancara siswa tersebut.
Sekolah hanya memeriksa berkas administrasi saja sesuai juknis yang diberlakukan. Perlu diketahui surat KETM dikeluarkan oleh pemerintah setempat ya.
Atau ketika jalur zonasi, ada kasus anak yang masuk pada Kartu Keluarga saudaranya yang dekat sekolah. Apakah itu kewenangan sekolah? siapa yang mengeluarkan KK tersebut? ketika diverifikasi KK itu sesuai aturan maka panitia pasti akan meloloskannya, dan seharusnya begitu.
ADVERTISEMENT
Ada juga tuduhan bahwa si A masuk karena pakai surat sakti, padahal nilai rapornya bagus dan bahkan masuk dalam 10 besar, bukankah hal itu suatu hal yang keji jika menunjuk sekolah curang?
Jebolnya kuota di sekolah tertentu, saya yakin bukan keinginan sekolah dan sekolah sama sekali tidak diuntungkan.
Tidak ada efek positif terhadap berjubelnya siswa pada layanan peserta didik, yang ada adalah terganggunya sistem pendidikan di sekolah tersebut.
Dalam tulisan ini saya ingin memberikan pencerahan kepada para pembaca, supaya ketika mendapatkan informasi tertentu bisa dikaji terlebih dahulu atau dalam istilah agama Islam kita kenal dengan tabayyun, sebagaimana tertera dalam Al Quran Surat Al-hujurat ayat ke-6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
ADVERTISEMENT

Menanti Peran Pemerintah

Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
Saya bukanlah ahli dalam perencanaan pendidikan, saya hanya seorang guru biasa yang mendambakan sistem penerimaan sistem PPDB yang aman, tentram, adil, dan tidak menimbulkan kekisruhan tiap tahunnya.
Hanya berbekal melihat fenomena yang ada, secara sederhana saya menyimpulkan sistem seleksi di PTN lebih baik dibanding sistem seleksi di tingkat dasar dan menengah.
Istilah sistem PPDB zonasi berjalan di tempat dan bahkan cenderung mundur ke belakang.
Kesadaran masyarakat, harapan perbaikan sistem, penyediaan sekolah negeri baru di tempat yang tidak diuntungkan oleh sistem zonasi dan membangun usaha harmonis dengan sekolah swasta masih belum terwujud.
Dengan tulisan ini saya berharap pemerintah peka terhadap masalah ini, urusan PPDB tahun depan bisa diambil alih oleh pemerintah pusat seperti halnya seleksi PTN.
ADVERTISEMENT
Sehingga di tahun ajaran baru, kami guru-guru bisa lebih konsen untuk mempersiapkan diri dalam menyambut anak-anak didik harapan bangsa.