Konten dari Pengguna

Kurikulum Merdeka: Buat Siswa Merdeka dalam Memilih Tanpa Dibatasi

Tantan Hadian
Praktiisi Pendidikan, Alumnus S3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, Tinggal di Kota Moci
17 April 2023 5:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hadian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembelajaran (foto dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembelajaran (foto dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Selama menjadi guru, saya telah mengalami lima kali perubahan kurikulum, yakni kurikulum merdeka (tahun 2021-sekarang), kurikulum 2013 (tahun 2013-2020), kurikulum tingkat satuan pendidikan (tahun 2006-2013), kurikulum berbasis kompetensi (2004-2006), kurikulum 1994 dan suplemen 1999 (1994-2004).
ADVERTISEMENT
Salah satu perubahan yang membedakan antara kurikulum merdeka dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya adalah dengan dihapusnya penjurusan/peminatan di Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pada kurikulum 2013 kita mengenal ada peminatan IPA, IPS, dan Bahasa, siswa memilih peminatan mulai dari kelas 10.
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikenal dengan penjurusan, ada jurusan IPA, jurusan IPS dan jurusan bahasa, siswa dijuruskan mulai kelas 2 SMA.
Sementara itu pada kurikulum 1994 dan suplemen 1999 dikenal dengan penjurusan fisika(A1), biologi(A2), sosial(A3) dan bahasa(A4), siswa mulai dijuruskan pada kelas 2 SMA.
Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutterstock
Penghapusan ini dilandasi dengan banyaknya masalah pada penjurusan siswa di SMA, di antaranya:
Pertama, masih banyaknya siswa yang salah dalam memilih jurusan di SMA, sehingga ketika lulus dari sekolah mereka mengubah haluan pada jurusan di perguruan tingginya. Banyak anak IPA yang melanjutkan ke prodi manajemen atau hukum, atau anak IPS yang melanjutkan ke prodi keperawatan.
ADVERTISEMENT
Kedua, sistem paket jurusan (IPA:Kimia, fisika, biologi, IPS: Sosiologi, geografi,ekonomi, Bahasa: Antropologi, sastra Indonesia, sastra Inggris dan bahasa asing), memaksa siswa untuk mengambil mata pelajaran dipaket tersebut. Sebagai contoh walaupun siswa tidak suka fisika, tapi tetap harus juga belajar fisika karena mengambil jurusan IPA.
Ketiga, Masih ada anggapan bahwa jurusan IPA adalah jurusan elite, sehingga banyak siswa dan orang tua siswa yang cenderung memaksakan untuk masuk IPA walaupun minat dan kemampuannya tidak di jurusan IPA.
Ilustrasi anak SMA perempuan. Foto: Shutterstock
Hal-hal tersebut di atas merupakan permasalahan yang umum terjadi di persekolahan. Kegelisahan-kegelisahan siswa dan orang tua siswa saat setelah penjurusan menjadi perhatian Menteri Nadiem Makarim, sehingga peminatan/penjurusan di SMA dihilangkan.
Siswa diberi waktu untuk menelusuri, memahami dan mengeksekusi pilihan mata pelajaran selama satu tahun, tentunya dengan melihat prioritas mata pelajaran yang harus di kuasai pada jurusan di perguruan tinggi nantinya.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui bahwa mata pelajaran di SMA dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok wajib dan kelompok pilihan.
Kelompok wajib merupakan mata pelajaran umum yang wajib diambil oleh siswa.
Sementara kelompok pilihan adalah kelompok mata pelajaran yang bisa dipilih oleh siswa sesuai dengan minatnya, mata pelajaran pilihan ini minimal sekolah harus menyediakan 7 mata pelajaran pilihan baik dari kelompok IPA, IPS, maupun Bahasa, sesuai dengan rambu-rambu struktur kurikulum yang diberikan oleh Kemendibudristekdikti.
Ilustrasi anak SMA belajar. Foto: Dok. Istimewa
Pengelolaan pemilihan mata pelajaran di persekolahan sangat variatif, tergantung bagaimana manajemen sekolah menyikapi pola perubahan ini. Permasalahan di lapangan tidak semudah membaca kebijakan atau teori, memahamkan siswa, orang tua siswa bahkan guru-guru di sekolah berkaitan dengan pemilihan mata pelajaran pilihan ini cukup pelik dan menyita waktu serta tenaga.
ADVERTISEMENT
Mungkin berbeda dengan masyarakat di kota-kota besar, pemahaman dan kesadaran dalam memahami tujuan menyekolahkan anaknya di SMA jauh berbeda dengan masyarakat di pinggiran dan kota-kota kecil.
Ada yang berpikir gimana nanti saja, ada berpikir keluar SMA harus kerja, ada yang menyerahkan ke sekolah dan sama sekali tidak tahu mau bagaimana nanti anaknya setelah keluar SMA.
Menyatukan pemikiran yang berbeda antara orang tua (Ibu dan Bapak) nya di rumah kadang perlu mediasi dari pihak sekolah, masih untung kalau bisa disepakati di awal kelas 11, sering terjadi setelah pemilihan mata pelajaran kemudian berubah, atau anaknya mogok sekolah karena berbeda pilihan dengan orang tuanya di rumah.
Ilustrasi anak SMA belajar. Foto: Dok. Pemprov Jateng
Itulah sekelumit permasalahan yang sering terjadi, alih-alih mereka sudah matang dalam menentukan pilihan mata pelajaran, namun yang terjadi masih tetap gabut untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Belum lagi dengan permasalahan manajemen sekolah yang tidak semua paham dan mau untuk mengubah sistem pemilihan mata pelajaran ini.
Cara-cara lama seperti penentuan juruasan/peminatan digunakan kembali, yang penting anak tidak ada yang protes, pembelajaran di kelas berjalan normal dan tunjangan sertifikasi guru aman, sehingga tidak bermasalah dengan guru yang ada di sekolah.
Pelik memang kalau berbicara pendidikan di Indonesia ini, dengan berbagai kultur, agama, letak geografis, pemerataan sarana dan prasarana sekolah, kompetensi dan kesejahteraan guru, dan kesadaran masyarakat akan pendidikan itu sendiri, menyebabkan pendidikan kita lamban untuk menggeliat menuju perubahan ke arah yang lebih baik.

Upaya Perbaikan yang Harus Dilakukan

Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutter Stock
Upaya memerdekakan siswa dalam memilih mata pelajaran di SMA kelas 11 bukan suatu hal yang mudah, perlu kerja sama yang inten antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Berikut upaya-upaya perbaikan yang semestinya dilakukan;
Pertama, sosialisasi ditingkat SMP.
Ada hal yang berbeda ketika siswa lulus dari SD kemudian masuk SMP, dibandingkan dengan ketika mereka lulus SMP. Setelah lulus SMP mereka bisa memilih dua jalur yaitu SMA atau SMK.
Pemahaman ini kadang tidak menjadi pertimbangan orang tua dalam menyekolahkan anaknya, yang ada dalam benak sebagian orang tua adalah asal sekolah saja dengan gratis.
Tidak sedikit siswa masuk SMA namun tujuan setelah selesai SMA ingin masuk ke dunia kerja, hal ini merupakan salah satu yang membuat kegalauan mereka dalam pemilihan mata pelajaran di kelas 11.
Sosialisasi tersebut tidak hanya oleh guru BK SMP saja, namun perlu secara masif dilakukan oleh Kemendikbud, pemerintah daerah, atau perusahaan pengguna jasa lulusan SMK, sosialisasi bisa menggunakan media sosial, media online, ataupun media televisi.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemberian informasi ketika siswa mendaftar sebagai calon siswa.
Dengan diberikan informasi-informasi yang memberikan gambaran mereka mengikuti pembelajaran yang kontinu sampai ke perguruan tinggi. Bila perlu, alur lanjutan pendidikan SMA dan SMK terpampang di depan posko pendaftaran.
Ketiga, setelah dinyatakan lulus di SMA dilakukan wawancara.
Wawancara dengan siswa dan orang tua siswa yang mendalam tentang keberlanjutan siswa tersebut setelah nanti keluar dari SMA, sehingga sekolah punya data awal siswa untuk membuat pola pengkelasan berbasis matpel pilihan yang kira-kira akan diambil oleh siswa.
Keempat, pembinaan yang inten oleh guru BK SMA tentang pola karier siswa baik secara individu maupun secara kelompok. Guru BK membuat pola pembinaan yang mengarah pada perkembangan pola karier siswa setelah belajar selama kurang lebih satu tahun di sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan orang tua pun sangat diperlukan, minimal dua kali dalam satu semester harus terjadi komunikasi tatap muka dengan pihak sekolah/BK untuk mendiskusikan perkembangan pola pembelajaran anaknya.
Kelima, dilakukan psikotes untuk memastikan kesesuaian antara minat dan bakat siswa terhadap pola karier dan keberlanjutan pendidikan siswa tersebut di perguruan tinggi.
Hasil psikotes wajib disosialisasikan kepada siswa dan orang tua siswa untuk secara bersama-sama menentukan mata pelajaran pilihan yang akan diampu siswa di kelas 11.
Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutter Stock
Upaya-upaya tersebut merupakan beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh sekolah.
Pemerintah harus memberikan kelonggaran dalam ketentuan pemberian tunjangan sertifikasi guru, tidak mesti 24 JP untuk mata pelajaran pilihan dalam pencairannya.
Dengan dimerdekakannya pilihan mata pelajaran di kelas 11 dan 12 memungkinkan terjadi ketimpangan ditribusi jam pelajaran, yang tadinya bisa mencapai 24 JP mungkin saja berkurang dengan drastis karena sepi peminat dari siswa,atau mungkin ada mata pelajaran favorit sehingga jumlah jam guru menjadi membengkak
ADVERTISEMENT
Jika ini tidak disikapi bersama, maka dikhawatirkan terjadi manipulasi kemerdekaan dalam pemilihan mata pelajaran yang diinginkan siswa.