Belajar dari Adat Baduy untuk Menghadapi Pandemi

Tardi Setiabudi
Tardi Setiabudi lahir di Lebak bertempat tinggal di Kampung Kandangsapi Desa Kandangsapi Kecamatan Cijaku Kabupaten Lebak. Saat ini aktif sebagai pemerhati sosial masyarakat desa dan pengajar di STISIP Setia Budhi Rangkasbitung Kabupaten Lebak
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2021 20:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tardi Setiabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret masyarakat Adat baduy sedang panen durian sebelum Pandemi COVID-19. Foto: Tardi Setiabudi
zoom-in-whitePerbesar
Potret masyarakat Adat baduy sedang panen durian sebelum Pandemi COVID-19. Foto: Tardi Setiabudi
ADVERTISEMENT
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di masa Pandemi COVID-19 memang sudah terlihat oleh mata. Apalagi kemarin-kemarin Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai dari mikro, darurat sampai tingkat level. Sehingga sebagian perusahaan ada yang mengurangi pegawainya kurang lebih 50 persen. Entahlah kebijakan seperti apa lagi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, bila orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 di setiap daerah masih saja memuncak.
ADVERTISEMENT
Memang, masyarakat di daerah saya mayoritas mencari uang banyak yang menjadi pekerja dibandingkan berwirausaha atau bertani. Sehingga Pandemi menghantam ekonomi keluarga banyak yang keteteran. Selain itu, masyarakat yang mempunyai rasa bertani pun sekarang sudah mulai menyusut, terutama dari kalangan anak-anak muda. Entahlah apakah lahannya sudah dijual, ataukah tergusur oleh proyek-proyek besar. Secara garis besar, bisa kita lihat dengan mata telanjang, jalan-jalan dan gedung-gedung berdiri kokoh di tanah yang luas yang awalnya tanah tersebut adalah milik masyarakat.
***
Saya teringat ucapan dari salah satu pakar kesehatan yang disiarkan di stasiun televisi, mungkin semua orang juga sering mendengarnya sehingga tidak asing lagi “Makan-makanlah yang sehat di masa Pandemi COVID-19, seperti sayur-sayuran, buah-buahan karena mengandung vitamin dan dapat meningkatkan imunitas tubuh”. Seperti itulah kira-kira yang saya tangkap.
ADVERTISEMENT
Saya pun mulai merenung “ya mungkin benar apa yang dikatakannya. Bukankah dari dulu sampai sekarang semua orang sudah tahu, bahwa sayur-sayuran dan buah-buahan adalah asupan yang bergizi bagi tubuh manusia dan bisa menyehatkan tubuh"
Nah pertanyaannya, bagaimana kalau seseorang tidak punya pekerjaan bagaimana harus mengikuti anjuran itu? Buat makan sehari-hari saja harus diirit-irit. Saya rasa, anjuran tersebut lebih tepat dilakukan dengan cara memberikan pendampingan bercocok tanam sayur-sayuran di lahan pekarangan masyarakat yang tersedia. Untuk apa? agar ketahanan pangan keluarga di masa pandemi tetap tersedia tanpa harus beli. Kalau hanya bersifat anjuran, saya tidak yakin masyarakat akan mengikutinya.
Coba kita lihat ke pasar-pasar, harga rempah-rempah, cabai, tomat, bawang dan yang lainnya sudah dianggap cukup mahal bagi masyarakat di kampung. Saya tidak tahu seberapa mahal harga di pasaran. Tapi saya tahu itu dari keluh-kesah ibu-ibu rumah tangga dan pedagang sayur yang selalu keliling setiap pagi di depan rumah. Mungkin dengan digalakkannya bercocok tanam di lahan pekarangan masyarakat, bisa membantu ketahanan pangan keluarga untuk menghadapi Pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Cara tersebut sebenarnya sudah lama dilakukan oleh masyarakat Adat Baduy di Kabupaten Lebak salah satunya. Itu merupakan cara yang paling ampuh dalam menstabilkan kebutuhan rumah tangga dalam penyediaan ketahanan pangannya. Dari dulu hingga sekarang, masyarakat Adat Baduy tetap konsisten dengan caranya. Bila mereka melanggar aturan tersebut, bisa saja akan mengalami hal-hal yang dialami masyarakat umum, bisa terdampak pandemi COVID-19, karena segala kebutuhan rumah tangga harus selalu menggunakan uang dan bekerja dengan orang lain.
Masyarakat Adat Baduy bukan tidak mengenal uang, mereka tahu uang seperti masyarakat bisa pada umumnya. Mereka biasa berdagang ke daerah-daerah luar Baduy tujuannya sama mencari uang, misalnya menjual madu dan kerajinan tangannya. Masyarakat Adat Baduy tidak bisa dibedakan mana keluarga miskin dan keluarga yang kaya semuanya sama. Mulai dari rumahnya, pendapatannya dan juga lahan penghasilannya semua sama. Kehidupan masyarakat Adat Baduy tidak terpengaruh tidak ada uang. Kalaupun barang dagangannya tidak laku di pasaran ya tidak masalah, semua kebutuhannya sudah tersedia dari tahun ke tahun dengan bercocok tanam.
Potret rumah Adat Baduy. Foto: Tardi Setiabudi
Setiap pagi masyarakat Adat Baduy biasa pergi ke ladang bekerja sebagai petani. Mereka bertani di lahannya sendiri-sendiri, mulai menanam padi huma, rempah-rempah dan sebagainya. Semua itu tidak ada matinya, yang namanya beras atau kebutuhan-kebutuhan pokok tidak perlu khawatir, hasil alam adalah keberkahan bagi mereka. Bahkan kalau musim buah durian, orang-orang luar malah berdatangan ke Baduy untuk membelinya, karena terkenal dengan rasa manis dan legitnya.
ADVERTISEMENT
Bila kita berkunjung ke Adat Baduy pada siang hari, hanya sedikit bisa bertemu langsung dengan masyarakat Adat Baduy, paling hanya bertemu dengan penjaga ronda di siang hari sekitar 6 orang. Sedangkan masyarakat yang lainnya, mulai dari istri, suami, dan anak-anaknya semua di ladang mengurusi pertaniannya. Jadi bila ingin melihat berkumpulnya masyarakat Baduy harus di malam hari bukan di siang hari.
Dulu saya pernah ngobrol dengan beberapa orang Baduy yang ronda di siang hari “Mengapa harus dijaga di siang hari, bukankah kalau dijaga itu malam hari?” Ia menjawab “Buat apa dijaga malam hari, kan malam hari banyak orang”. Saya berpikir benar juga ya. Berbeda dengan budaya di saya, yang namanya ronda ya di malam hari, padahal di siang hari kita juga sama mempunyai aktivitas seperti masyarakat Baduy. Karena tingkat kerawanan Adat Baduy itu di siang hari, bukan di malam hari. Kerawanan di Baduy bukan pencurian seperti di kita tapi rawan kebakaran, karena semua rumahnya terbuat dari bahan mudah terbakar.
Warga Baduy mengikuti Tradisi Seba di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat (21/5/2021). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
Sepertinya, kita semua harus banyak belajar dari salah satu Adat Baduy. Mereka bisa hidup mandiri dengan keadaan seadanya tanpa harus banyak uang. Bahkan tidak punya uang pun mereka tetap bisa bertahan hidup. Kenapa bisa begitu? karena stok pangan mereka tetap stabil. Sehingga mereka tidak terpengaruh oleh kebijakan Pemerintah yang namanya PSBB, PPKM Mikro, darurat dan level-level-an. Mereka santai dan nyaman-nyaman saja dari dulu sampai sekarang, tetap konsisten swasembada pangan di ladang yang luas dan seadanya.
ADVERTISEMENT
Anak-anaknya pun ketika sudah menikah, ia diberikan sebagian tanah kosong atau ladang oleh warga atau orang tuanya untuk ditanami padi dan sebagainya. Ia mengikuti jejak atau warisan leluhurnya untuk bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Bahkan rumahnya pun dibuatkan oleh warga dengan cara gotong-royong. Mereka tidak begitu mengandalkan uang untuk beli ini-itu karena semuanya sudah tersedia.
Betapa kerennya cara hidup mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Uang bukanlah segalanya, tetapi menghasilkan bahan pokok adalah segalanya. Banyak uang berlimpah juga sepertinya percuma, apa yang bisa digunakan uang itu. Buat beli barang mewah tidak bisa, buat bangun rumah permanen juga tidak bisa. Sampai saat ini pun kadang saya suka bertanya-tanya, dikemanakan uang mereka selama ini dari hasil dagangannya. Itulah uniknya masyarakat Adat Baduy.
ADVERTISEMENT
***
Sungguh jauh berbeda dengan kehidupan kita yang selalu mengandalkan 90 persen uang, tidak ada uang rasanya tidak karuan dan tidak keren. Kadang saya melihat seseorang lesu, keluh-kesah ketika tidak punya uang, wajar saja karena banyak yang harus dipikirkan. Mulai dari biaya anak sekolah, bayar cicilan bulanan, dan kebutuhan yang lainnya. Apalagi di masa pandemi COVID-19, tidak sedikit orang yang menjadi pencuri karena tidak punya pekerjaan, sedangkan kebutuhan keluarga harus terpenuhi. Bukankah itu sangat miris sekali.
Ilustrasi memasuki daerah Adat Baduy sebelum Pandemi COVID-19. Foto: Tardi Setiabudi