Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Implementasi 20 Persen Ketahanan Pangan Ragu Berhasil
1 Februari 2022 8:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tardi Setiabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan teman di sebuah gubuk kecil yang temanya adalah penggunaan dana desa (DD) 20 persen untuk program ketahanan pangan. Penggunaan dana tersebut berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022. Kebijakan yang mirip dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa pada waktu dua tahun yang lalu, yaitu dasar dari Instruksi Presiden langsung.
ADVERTISEMENT
***
Setiap tahun pemerintah desa disuguhi kebijakan prioritas penggunaan dana desa yang berbeda oleh pemerintah pusat. Tujuannya agar desa di seluruh Indonesia bisa memanfaatkan dana desa yang baik dalam mendukung menuju desa sejahtera dan mandiri. Namun semua itu tidak mudah bagi desa untuk mewujudkan harapan tersebut, walaupun selalu diberikan anggaran yang besar setiap tahun oleh pemerintah pusat karena masih terbatasnya sumber daya yang di miliki.
Salah satunya adalah kebijakan 20 persen untuk ketahanan pangan tidak bisa ditawar lagi. Bila dihitung kasar misalkan, pemerintah desa menerima dana desa sebesar 900 juta rupiah dalam satu tahun, maka 20 persennya 180 juta rupiah. Sudah menjadi sebuah konsekuensi pemerintah desa ketika telah menerimanya. Bukan hanya itu saja, harus memikirkan bagaimana hasil dari program bisa terus berlanjut ketika programnya sudah selesai. Dengan kata lain, kebijakan yang memaksa, pelaksanaan harus tepat, dan ekonomi masyarakat bisa pulih akibat hantaman Pandemi Covid-19 kurang lebih 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi tanda tanya, baik dari unsur pemerintah desa sebagai pelaksana kebijakan, ataupun dari unsur masyarakat desa sebagai penerima outcome perihal bentuk programnya. Yang jelas, program ketahanan pangan desa yang dimaksud itu tidak seperti bantuan sosial berupa bahan pokok yang diberikan kepada masyarakat desa pada umumnya. Namun lebih menekan pada penguatan ketahanan pangan nabati dan hewani. Misalnya, pengembangan usaha pertanian, perkebunan, perhutanan, peternakan dan lain-lain.
Melihat kondisi sekarang, program ketahanan pangan yang akan dilaksanakan di tahun 2022 ragu berhasil sesuai yang diharapkan. Bukan maksud tumbuh rasa pesimis, karena melihat belum mendukungnya sumber daya yang kuat, mulai dari pemerintah desa, lembaga desa sampai pada sasarannya. Justru akan terjadi pemborosan pembiayaan dan mangkraknya hasil program akibat dari belum didukung dengan perencanaan yang matang di tingkat desa sebelum adanya kebijakan.
ADVERTISEMENT
Di samping itu diperkuat Perpres 104 Tahun 2021 agar direvisi pada pasal penggunaan dana desa dari Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI). Tuntutan tersebut dilakukan melalui unjuk rasa menuju ke Jakarta dengan massa yang lebih banyak dari berbagai daerah dengan harapan dapat dikabulkan. Dari kejadian tersebut sudah jelas bahwa, pemerintah desa sebagai implementasi kebijakan paling bawah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat desa, tidak mendukung pada perpres tersebut. Karena akan memberatkan serta telah memenggal kewenangan desa dalam mengatur rumah tangganya (otonomi desa) sesuai kebutuhan desa.
Maka sudah dapat disimpulkan, tidak sejalannya antara pemerintah pusat dengan pemerintah desa atas kebijakan serta programnya. Alasannya, pemerintah desa belum siap untuk melaksanakan kebijakan tersebut dikhawatirkan anggaran yang akan dipergunakan gagal dalam menyukseskan program karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Sementara pertanggung jawaban berat dibuat dan dilaksanakan. Bukan hanya itu, masih ada yang lebih prioritas daripada program 20 persen, yaitu impian masyarakat menginginkan infrastruktur jalan yang bagus agar selalu lancar dalam beraktifitas sehari-hari baik bagi pedagang, masyarakat luas serta anak-anak sekolah layaknya seperti di kota.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pemerintah desa sekarang masih perlunya diberikan pembinaan dari pemerintah perihal peningkatan sumber daya manusia dalam mengidentifikasi kebutuhan dan cara mengelola desanya dengan baik, bukan dipaksa menjalankan program yang belum mampu. Jika hal tersebut masih saja terus dilakukan apalagi secara berulang-ulang, tidak menutup kemungkinan pemerintah desa akan kaku, dan yang dikhawatirkan hanya sekadar menggugurkan kewajiban dengan cara menghabiskan anggaran.
Pemerintah desa sebenarnya masih fokus pada tuntutan masyarakat desa yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya yaitu infrastruktur. Secara umum, masyarakat desa menilai pemerintah desa dikatakan gagal dalam mengelola pemerintahan jika akses penghubung antar wilayah sulit untuk dilalui. Pada akhirnya merasakan jenuh, marah atau emosi dengan kondisi itu, lalu diungkapkan melalui media sosial berharap agar ditanggapi dan ditangani oleh pemerintah desa. Cara tersebut tidak elok untuk dilakukan, karena akan berdampak pada kualitas desa menjadi lemah di mata yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Selama pandemi Covid-19, pemerintah desa sudah rendah membangun infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat desa seperti jalan poros desa, dan jalan lingkungan desa. Itu disebabkan prioritas penggunaan dana desa yang disalurkan kepada pemerintah desa telah diatur langsung oleh pemerintah pusat untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta penanganan pencegahan Covid-19 yang cukup besar. Saat itu, pemerintah desa mendukung karena keadaan yang sangat genting. Namun berbeda dengan kondisi saat ini, para pekerja yang dulu di rumahkan, para pedagang yang dulu diberhentikan sementara waktu, kini semuanya sudah normal kembali.
Untuk itu bila kebijakan dan program ingin berhasil harus saling mendukung dan memahami prioritas pembangunan desa antara pemerintah desa dengan pemerintah pusat sebagai pelayan publik. Dan perlunya harmonisasi untuk saling menguatkan dimulai dengan merumuskan kebijakan bottom-up bukan top-down, sehingga kewenangan desa yang tercantum undang-undang tentang desa tetap kokoh.