Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kesehatan Mental Remaja: Dari Stigma Hingga Akses Layanan yang Masih Terbatas
2 Desember 2024 11:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tardi Setiabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tardi Setiabudi: Dosen Universitas Setia Budhi Rangkasbitung
Saat ini, kesehatan mental remaja di Indonesia menjadi masalah yang semakin penting. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa sekitar 25% remaja Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun mengalami gangguan kecemasan atau depresi. Angka-angka ini pasti tidak dapat diabaikan. Tapi meskipun masalah ini semakin sering dibicarakan, banyak orang masih tidak tahu apa yang harus mereka lakukan atau bahkan menganggapnya sebagai masalah kecil. Meskipun demikian, gangguan mental di usia muda adalah masalah serius yang memiliki dampak pada masa depan mereka secara sosial, akademik, dan pribadi.
ADVERTISEMENT
Remaja Indonesia hidup di dunia yang penuh tekanan saat ini. Di luar masalah pribadi mereka, mereka juga harus menghadapi dunia digital yang seringkali tidak menyenangkan. Penggunaan media sosial yang berlebihan, misalnya, telah terbukti meningkatkan perasaan cemas dan depresi. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana untuk bersosialisasi malah sering kali justru menciptakan perbandingan sosial yang tidak realistis. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam The Lancet Child & Adolescent Health (2021), remaja yang terlibat dalam aktivitas media sosial memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami kecemasan. Mereka sering merasa bahwa hidup orang lain lebih baik, lebih sempurna, yang akhirnya membuat mereka merasa tidak cukup.
Selain itu, tekanan akademik di sekolah semakin tinggi. Prestasi, baik dari teman sebaya maupun lingkungan sekolah, berkontribusi secara signifikan terhadap kesehatan mental. Stres untuk selalu mendapatkan nilai terbaik dan memenuhi ekspektasi orang tua, tanpa dukungan emosional yang memadai, sering kali berujung pada kelelahan mental dan fisik. Di sinilah masalahnya: semakin besar tekanan yang mereka hadapi, semakin besar juga risiko gangguan mental yang akan muncul.
ADVERTISEMENT
Meskipun kita sudah semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental, stigma sosial masih menjadi halangan besar di Indonesia. Banyak orang yang masih menganggap gangguan mental sebagai masalah yang seharusnya “disembunyikan” atau bahkan dianggap sebagai tanda kelemahan. Stigma ini sering membuat remaja merasa malu untuk mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan. Padahal, sebagaimana yang diungapkan oleh World Health Organization (WHO), mengakui masalah kesehatan mental adalah langkah pertama untuk bisa pulih. Sayangnya, stigma ini seringkali membuat remaja merasa terisolasi dan memilih untuk tidak mencari pertolongan. Ini memperburuk keadaan mereka, dan masalah mental yang tadinya ringan bisa berkembang menjadi lebih serius.
Tidak hanya stigma, akses terhadap layanan kesehatan mental juga masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Di kota besar, meskipun sudah ada beberapa layanan psikologis di sekolah dan rumah sakit, kenyataannya tidak semua remaja bisa mengaksesnya. Biaya yang tinggi dan ketidaktahuan mengenai layanan yang ada sering kali menjadi penghalang utama. Bahkan di beberapa daerah, layanan psikolog dan konselor sangat terbatas. Data dari Kementerian Kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa sekitar 75% orang dengan gangguan mental di Indonesia tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Hal ini harus segera diperbaiki agar setiap remaja—terutama yang tinggal di daerah terpencil—dapat mendapatkan bantuan tanpa hambatan.
ADVERTISEMENT
Penting bagi kita untuk mulai memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan mental remaja. Edukasi dan kesadaran adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Remaja harus diberi pemahaman tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, bagaimana cara mengenali gejala gangguan mental, dan yang terpenting, bahwa mereka tidak perlu merasa malu untuk mencari bantuan jika diperlukan. Program-program edukasi tentang kesehatan mental harus dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, agar remaja bisa mengenal masalah ini lebih dini dan tahu bagaimana cara menangani perasaan mereka dengan cara yang sehat.
Selain itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memperluas akses ke layanan kesehatan mental. Platform telemedicine untuk kesehatan mental bisa menjadi solusi praktis, terutama untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil. Dengan adanya layanan psikolog online, remaja tidak perlu pergi jauh-jauh ke klinik untuk mendapatkan bantuan. Pemerintah juga bisa menambah anggaran untuk menyediakan lebih banyak konselor di sekolah-sekolah, memastikan setiap remaja memiliki akses mudah dan terjangkau untuk mendapatkan dukungan.
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental remaja adalah isu yang harus kita tangani bersama, bukan hanya sebagai masalah individu, tetapi juga sebagai masalah sosial yang berdampak pada masa depan bangsa. Dampak dari mengabaikan masalah ini bisa sangat besar—bukan hanya bagi remaja itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga, sekolah, dan masyarakat secara umum. Jika kita tidak segera bertindak, kita berisiko kehilangan potensi besar dari generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Mengatasi stigma, meningkatkan kesadaran, dan memperluas akses layanan kesehatan mental adalah langkah-langkah yang harus kita ambil sekarang. Semua pihak, mulai dari pemerintah, keluarga, hingga masyarakat, harus bersatu padu untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental remaja, agar mereka dapat tumbuh dengan lebih sehat dan siap menghadapi tantangan hidup di masa depan.
ADVERTISEMENT