Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Pola Belajar di Masa Pandemi Membuat Emosi
6 Agustus 2021 17:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Tardi Setiabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, saya melihat potongan video di media sosial, seorang ibu memarahi anaknya hingga menangis “Dasar bodoh, begini saja tidak becus,” seperti itulah kira-kira. Hanya karena anaknya tidak bisa mengisi soal atau tugas dari gurunya, kemungkinan itu. Saya tidak tahu siapa yang salah dan benar, namanya potongan video jelas tidak utuh. Meski begitu, itu adalah bagian dari fenomena yang terjadi semenjak Pandemi COVID-19 menghantam semuanya, termasuk pola belajar di sekolahan.
ADVERTISEMENT
***
Sebelum Pandemi COVID-19, setiap pagi orang tua selalu disibukkan mempersiapkan keperluan anaknya sebelum berangkat ke sekolah. Mulai dari makannya, dan pakaiannya, tanpa merasa repot sedikit pun, Itulah yang saya rasakan pada waktu itu. Betapa bahagianya setiap pagi mengantarkan anak ke sekolah, dengan mengucapkan salam kepada kedua orang tua. Tentu bukan saya saja yang merasakan, mungkin semua orang tua. Namun di masa Pandemi COVID-19 semua itu tenggelam seperti ditelan alam.
Pola belajar anak sekarang, memang harus membiasakan kebiasaan baru. Tapi bukan berarti harus mengurangi kualitas belajar, ada yang harus diutamakan yaitu kesehatan dan keselamatan manusia. Apakah semua orang tua menerima kenyataan ini? Ya “terpaksa”, kadang selalu muncul perasaan emosi, hanya karena ada sebagian pelajaran yang sulit dipahami oleh anak dan orang tua. Dan itu benar-benar merepotkan, meski demikan semua harus memaklumi karena kondisi.
Selain itu, saya melihat gedung-gedung sekolah di kampung terlihat kumuh, dan rumput-rumput di di halaman sudah mulai tinggi mungkin karena kurang terurus. Saya hanya bisa mengelus-elus dada, dalam hati mengucapkan kapankah pandemi COVID-19 ini berakhir? Ingin rasanya melihat anak-anak belajar dan bermain bebas seperti dulu tanpa dihantui kepanikan corona. Semua hanya bisa berdoa kepada Sang Pencipta agar Pandemi COVID-19 segera lenyap.
ADVERTISEMENT
Karena kondisi, saya terseret mengalami kesulitan membantu anak dalam mengisi tugas dari gurunya. Itu bermula dari istri saya yang tidak sempat membantu anak mengisi tugasnya, sehingga terpaksa saya harus turun tangan. Sebenarnya bukan tugas, mungkin belajar jarak jauh yang tugas-tugasnya di kirim oleh guru melalui grup Whatsapp. Memang biasanya yang membuka grup adalah istri bukan saya. Dan yang menyampaikan kepada anak bahwa hari ini ada tugas belajar dari gurunya adalah istri saya.
“Pah banutin ade isi tugasnya ya, mamah menggosok pakaian dulu, khawatir besok tidak sempat." Kasihan juga melihat istri harus pegang ini-itu, malam menggosok pakaian, pagi masak dan mencuci pakaian. Setelah itu, pagi harus dagang untuk membantu nambah-nambah kebutuhan sehari-hari di rumah. Saya pun bergegas membantu anak mengerjakan tugasnya yang masih Sekolah Dasar (SD). Apalagi belajar di masa Pandemi harus banyak bimbingan dari orang tua.
ADVERTISEMENT
Padahal sebelum pandemi, anak saya jarang sekali mengisi tugasnya dengan orang tua, ia biasa sendiri. Namun semenjak Pandemi COVID-19 sekolah tidak begitu aktif, sehingga pola belajar diganti dengan tugas-tugas yang di kirim oleh gurunya melalui media sosial. Akhirnya orang tua di rumah harus repot membantu anak dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dalam benak saya “Bapaknya Sekolah Dasar lagi ini mah,” namun kurikulum zaman saya dulu dengan sekarang berbeda, jadi sedikit geleng-geleng kepala.
Di tengah membantu mengisi tugasnya, saya malah terbawa suasana emosi. Bukan kepada anak, melainkan pada tugas dari gurunya yang sulit dipahami oleh anak dan saya. Entahlah apakah saya yang tidak paham maksud dalam tugas itu, ataukah gurunya yang keliru memberikan tugasnya. Saya melihat, pelajaran dulu dengan sekarang berbeda, dan akhirnya ikut terseret harus belajar lagi.
ADVERTISEMENT
Saking penasarannya saya, meminta tolong kepada istri “Mah coba deh tanya sama teman-teman ade siapa tahu paham maksud tugas ini, kalau sama tidak paham tanya sama orang tuanya ya,” istri saya pun langsung berkomunikasi dengan teman anak saya, ternyata sama. Kemudian kepada orang tuanya, siapa tahu paham, eh sama juga. Saya pun jadi emosi sendiri. Tapi ya sudahlah belajar di masa Pandemi harus banyak sabar, begitulah saya menenangkan pikiran.
***
Pandangan saya, belajar di masa pandemi harus disesuaikan dengan level sekolah. Tidak usah dipaksakan menggunakan ruang daring. Misal menggunakan Zoom atau media sosial, itu tidak mengena untuk pengembangan anak yang masih di bangku Sekolah Dasar (SD). Malah akan merepotkan dan membangun konstruksi emosi di dalam pikiran orang tua, ya walaupun tidak semua. Bukan saya tidak setuju dengan pola tersebut, tapi mari kita cermati.
ADVERTISEMENT
Anak Sekolah Dasar (SD) adalah bagian yang paling vital, perlunya sentuhan hati dan tangan dari seorang guru langsung. Kenapa? Ada karakter-karakter yang harus dikenali oleh guru selain orang tua. Anak yang masih kecil itu repot untuk diarahkan, harus dengan teknik yang khusus. Berbeda dengan anak yang sudah dewasa, sudah mengenali warna merah, biru, hijau dan lainnya misalkan, jadi mudah untuk diarahkan. Nah anak yang baru kelas satu dan dua belajar melalui daring atau media sosial, mana bisa. Malah benar-benar merepotkan.
Bukan saja orang tua yang repot. Seorang guru pun akan merasa bersalah jika anak muridnya tidak berkembang, dan akan banyak pertanyaan terutama dari orang tua. Siapakah yang salah? gurunya, anak muridnya, apa polanya belajarnya. Apalagi guru Sekolah Dasar (SD) di kelas satu dan dua adalah yang paling bekerja keras agar muridnya bisa mengenali huruf dan angka. Bukan maksud saya membanding-bandingkan dengan guru yang lainnya. Tapi itu adalah pandangan saya, kalau ada yang tidak setuju tidak apa-apa.
ADVERTISEMENT
Seorang guru Sekolah Dasar (SD) di kampung, bercerita pengalamannya kepada saya selama mengajar di masa Pandemi COVID-19. “Betapa repotnya mengajar anak-anak yang masih kecil, karena keterbatasan segalanya, sampai sekarang saya belum begitu kenal dengan murid-murid saya sendiri," saya mendengar itu, betapa mirisnya pola belajar yang diterapkan sekarang. Bagaimana seorang guru bisa menilai anak mana yang pintar dan sebaliknya. Saya tidak menyalahkan guru, akan tetapi pola pembelajarannya yang kurang memberi solusi sehingga menimbulkan emosi.
Dalam perspektif saya, pola belajar yang terus dilakukan seperti ini akan berdampak pada pola pikir anak yang stuck. Pandemi COVID-19 memang membuat kita panik, selain itu kebodohan anak akan menghantui orang tua. Mungkin anak akan mengenal tekonologi lebih cepat daripada orang tua dulu. Tetapi apakah tepat jika anak yang masih dini harus mengenal teknologi lebih dalam. Saya khawatir, malah akan terjebak dalam penggunaan teknologi yang salah. Apalagi pengawasan orang tua yang saya lihat selama ini masih lemah, ketika anak-anak sedang menggunakan smartphone misalnya.