Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pembangkangan Konstitusi Lembaga Legislasi
24 Agustus 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Tareq Elven tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap pembelajar hukum di Indonesia pasti sepakat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat. Di kelas-kelas Hukum Tata Negara di setiap kampus, mahasiswa hukum diajari tentang norma tersebut sebagai amanat konstitusi yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Secara sederhana, Putusan MK harus dimaknai sebagai putusan yang tidak dapat diganggu gugat. Suka tidak suka, itulah tata bernegara di Indonesia, terkadang bisa diterima, namun tidak sedikit membuat luka.
ADVERTISEMENT
Pada 20 Agustus 2024 lalu, MK mengeluarkan 2 putusan yang menggembirakan banyak massa; pertama, MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 (Putusan 60/2024) yang mengabulkan sebagian gugatan ambang batas pencalonan kepala daerah (regional head threshold) dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada dan membatalkannya; dan kedua, MK menolak gugatan syarat umur pencalonan gubernur yang meminta penentuan syarat usia 30 tahun ditentukan sejak pelantikan pasangan terpilih melalui Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 (Putusan 70/2024).
Mengutip kalimat Titi Anggraini, pembina Perludem, kedua putusan MK tersebut bak oase bagi kemarau demokrasi Indonesia. Mengapa bisa? Sejak Pemilihan Presiden terakhir tahun 2024, masyarakat dibuat geram melihat “drama Korea” yang terjadi di tubuh lembaga negara. Dimulai dengan keluarnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90/2023) yang “mengakali” syarat umur pencalonan Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan penambahan norma yang dapat mengecualikan syarat tersebut, yaitu sepanjang pernah menduduki jabatan hasil Pemilu atau Pilkada, hingga pelanggaran etik 2 ketua lembaga negara yang semestinya menjalankan amanat demokrasi, yakni Ketua Hakim Konstitusi dan Ketua Komisi Pemilihan Umum.
ADVERTISEMENT
Rapat Secepat Kilat
Demokrasi Indonesia kembali diuji. Kedua putusan MK yang menjadi bukti demokrasi Indonesia masih memiliki taji berusaha dikangkangi, tidak lain dan tidak bukan oleh lembaga legislasi itu sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Melalui merevisi UU Pilkada, DPR RI berupaya “mengakali” Putusan 60/2024 dengan berusaha mengembalikan norma syarat threshold pencalonan kepala daerah seperti semula.
Selain itu, DPR RI juga mencoba “mengingkari” Putusan 70/2024 yang menolak merubah norma syarat umur pencalonan menjadi saat pelantikan dan justru mempertegas penghitungan sejak penetapan pasangan calon. Hal mana tindakan tersebut biasa dikenal dengan istilah pembangkangan konstitusi atau constitutional disobedience. Pasalnya, DPR RI terlihat sangat bersemangat membahas revisi UU Pilkada pasca Putusan MK ini, hingga Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI selesai dalam waktu yang sangat singkat secepat kilat, yakni 1 jam saja pada hari Selasa, 21 Agustus 2024.
ADVERTISEMENT
Tindakan DPR RI membangkangi putusan MK bukan barang baru. Sebelumnya, DPR RI pernah menggelar rapat “marathon” untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Dalam kurun waktu 7 bulan saja dan setidaknya 64 kali rapat, termasuk dini hari, akhir pekan, hingga saat reses sejak draf pertama kali dinyatakan rampung oleh pemerintah pada 12 Februari 2020, draf telah dibahas dalam rapat paripurna oleh DPR RI dan disahkan pada 5 Oktober 2020, yang kemudian diundangkan pada 2 November 2020 melalui UU Nomor 11 Tahun 2020.
Merespon UU Cipta Kerja yang kontroversial, masyarakat mengajukan pengujian undang-undang ke MK. Setelah proses sidang yang berlangsung cukup panjang, akhirnya pada 25 November 2021 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK memutuskan mengabulkan sebagian dan menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), memberikan waktu 2 tahun kepada DPR RI untuk melakukan perbaikan. MK menilai UU tersebut cacat formil karena dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan, yakni melibatkan partisipasi publik (meaningful participation).
ADVERTISEMENT
Jika dalam kasus UU Pilkada yang membangkang adalah DPR RI, dalam kasus UU Cipta kerja, aktornya adalah Presiden. Alih-alih memperbaiki UU Cipta Kerja pasca Putusan MK 91/2020 yang menjadi kewajiban DPR RI, Presiden justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 untuk “mengakali” Putusan MK yang meminta perbaikan tersebut. Tindakan mengeluarkan Perppu oleh Presiden tersebut sejatinya jelas bertentangan dengan syarat pembentukan Perppu itu sendiri, yakni hanya dapat dilakukan dalam keadaan “kegentingan yang memaksa”.
Keliru Memahami Aturan
Dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR RI disepakati aturan yang dipakai merujuk pada Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 atas uji materil Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 terkait syarat umur pencalonan gubernur terhadap UU Pilkada. Putusan MA tersebut mengatur calon gubernur harus berusia minimal 30 tahun dan calon wakil gubernur berusia 25 tahun saat pelantikan.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, MK dalam Putusan 70/2024 menolak permohonan untuk merubah norma syarat umur pencalonan gubernur dalam UU Pilkada sesuai dengan Putusan MA. MK justru mempertegas dalam Pertimbangan Hukumnya halaman 50 bahwa norma tersebut sudah sangat jelas, terang benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga tidak perlu lagi diberikan atau ditambahkan makna lain, yakni persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan pasangan calon, bukan pada saat pelantikan. Lantasi bagaimana jika terjadi pertentangan 2 putusan dari 2 lembaga peradilan negara?
Persoalan tersebut sejatinya sudah selesai sejak lama. MK dan MA sudah membuat Nota Kesepahaman yang mengatur bilamana terjadi UU yang dijadikan dasar pengujian di MA diuji di MK, maka setiap pengujian di MK tersebut harus diberitahukan ke MA, dan MA akan menghentikan/menunda sementara pengujian hingga UU yang diuji di MK selesai diputus. UU yang telah diputus oleh MK tersebut lah yang kemudian akan dijadikan dasar pengujian oleh MA.
ADVERTISEMENT
Pun secara tata negara, pengujian materiil di MA merupakan pengujian legalitas peraturan perundang-undangan terhadap UU. Sedangkan pengujian materiil di MK menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945. Sehingga jika dihadapkan pada 2 pilihan antara Putusan MA dan Putusan MK, maka yang harus didahulukan adalah Putusan MK. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex superiori derogate legi inferiori yang bermakna hukum lebih tinggi selalu mengalahkan hukum yang lebih rendah.
Dalam hal ini bukan soal mana-mana putusan antara MK dan MA yang lebih tinggi dan rendah karena keduanya sama-sama berdiri sendiri (self-executing) dan berlaku secara umum (erga omnes). Hal yang harus dilihat adalah dasar pengujiannya, yakni UU terhadap UUD 1945 untuk MK dan peraturan perundang-undangan terhadap UU untuk MA, sebagaimana hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Praktik ini sejatinya sudah menjadi norma dasar jika terjadi kebuntuan dalam hukum jalan keluar satu-satunya adalah kembali pada asas hukum. Karenanya, keliru adanya jika Baleg DPR RI memutuskan memilih Putusan MA daripada Putusan MK dalam menentukan syarat umur pencalonan gubernur dalam revisi UU Pilkada.
Konsekuensi Nyata
Terkait Putusan 60/2024, Baleg DPR RI menyepakati untuk menolaknya. Semula, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki sekurang-kurangnya 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% suara sah dalam Pemilu anggota DPRD di daerah tersebut. Pasca Putusan MK, norma tersebut diubah menjadi persentase perolehan suara sah tergantung pada jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada masing-masing daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam Rapat Panja, diputuskan untuk menambahkan frasa “yang memiliki kursi di DPRD” bagi syarat 20% kursi dan “yang tidak memiliki kursi di DPRD” bagi syarat presentase perolehan suara sah sebagaimana Putusan MK 60/2024. Dalam konteks praktis, implikasi dari norma tersebut mengharuskan partai parlemen memenuhi 20% syarat kursi di DPRD untuk mencalonkan pasangan calonnya di Pilkada.
Sebaliknya, partai non-parlemen dapat mencalonkan pasangan calonnya jika memenuhi syarat presentase suara sah sebagaimana Putusan MK 60/2024.
Sebagai contoh, implementasi norma tersebut di Daerah Khusus Jakarta dengan DPT sebanyak 8.252.897 dan total suara sah 6.067.241 pada Pemilu 2024 lalu, partai non-parlemen harus memiliki sekurang-kurangnya 7,5% suara sah atau 455.043 untuk dapat mengusung pasangan calon kepala daerahnya di Pilkada.
ADVERTISEMENT
Pun secara logika sederhana, jika mengikuti kemauan DPR RI, maka dapat disimpulkan partai parlemen harus memiliki minimal 20% kursi untuk mencalonkan pasangan calonnya. Sedangkan partai non-parlemen hanya perlu mendapatkan presentase tertentu suara sah berdasarkan DPT di daerahnya sudah dapat mencalonkan pasangan calon. Oleh karenanya, terjadi ketidakadilan bagi partai parlemen itu sendiri.
Konsekuensi lain dari tindakan pembangkangan DPR RI terhadap putusan MK ialah potensi terjadi kekacauan hukum (judicial disarray). Bagaimana tidak, pada akhirnya, MK juga yang akan mengadili sengketa Pilkada. Sehingga, setiap calon kepala daerah yang ditetapkan menggunakan UU yang inkonstitusional berpotensi didiskualifikasi. Hal ini tentu dapat menimbulkan persoalan baru dan protes di tingkat daerah akibat adanya “dualisme” norma penetapan pasangan calon Pilkada.
ADVERTISEMENT
Penting disampaikan bahwa sejak tahun 2018, MK melalui Putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018 sudah menegaskan setiap putusan terkait konstitusionalitas sebuah UU, baik suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, harus dipatuhi tanpa terkecuali.
Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan, “…dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi.” Apabila tidak, maka tindakan tersebut akan bersifat bertentangan dengan hukum (illegal).
Sebagai bukti ialah Putusan 90/2023, meskipun terdapat cacat etik hingga diproses oleh Majelis Kehormatan MK, pada akhirnya Putusan tersebut tetap diterima, termasuk DPR RI dan Presiden, karena menghormati prinsip final dan mengikat Putusan MK. Berbanding terbalik DPR RI dan Presiden terhadap Putusan 60/2024 dan Putusan 70/2024 yang berusaha dikangkanginya.
ADVERTISEMENT
Harapan Besar Kedepan
Gelombang protes masyarakat atas tindakan DPR RI yang mencoba untuk membangkang terhadap Putusan MK dengan melakukan revisi UU Pilkada jelas harus dihentikan. Hal ini bukan demi nasib politik perseorangan ataupun partai politik tertentu, melainkan demi menjaga marwah demokrasi bangsa dan negara.
Sejak keluarnya Putusan 90/2023 terkait syarat batas umur pencalonan Pilpres, citra MK telah jatuh, hingga publik menjulukinya “Mahkamah Keluarga” atau “Mahkamah Kakak” karena hanya menguntungkan suatu individu dalam keluarga. Namun, melalui Putusan 60/2024 dan 70/2024, citra tersebut kembali membaik dan masyarakat kembali memercayai lembaga peradilan di Medan Merdeka Barat tersebut. Seperti memecah kebuntuan yang selama ini ada karena selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan politik yang sudah “disiapkan” penguasa.
ADVERTISEMENT
Harapan besar untuk mendapatkan kontestasi politik yang tidak hanya dipenuhi gimik, melainkan gagasan dan ide kembali menguat. Kedua putusan MK tersebut telah menyuburkan demokrasi, menyegarkan dinamika politik lokal dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi setiap individu untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Momen ini harus dimanfaatkan sebagai momen yang tepat untuk kembali membangun demokrasi Indonesia yang sebelumnya sudah hampir hancur berkeping-keping tak bersisa.