Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Preseden Buruk Putusan Pengadilan Mengabulkan Gugatan Seorang Buronan
14 Agustus 2024 17:20 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Tareq Elven tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika bersabar adalah salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan dalam Olimpiade, mungkin masyarakat Indonesia akan menjadi pemenangnya. Mengapa? Karena publik Indonesia bertubi-tubi disuguhkan dengan berita-berita yang menyayat hati nurani dari lembaga peradilan, hingga seakan-akan telah kehilangan marwahnya sebagai ruang untuk memberikan keadilan. Sebut saja kasus dugaan salah tangkap Pegi Setiawan dan vonis bebas Ronald Tanur yang tentu dapat menjadi preseden buruk putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti disitu, kini masyarakat kembali dikejutkan dengan dikabulkannya gugatan Tata Usaha Negara (TUN) yang diajukan oleh seorang buronan, yakni Michael Steven, pemilik Kresna Group dalam perkara pencabutan sanksi Cabut Izin Usaha PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) melawan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebelumnya, Michael Steven selaku Penggugat telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim) pada bulan September 2023 atas kasus gagal bayar di Kresna Sekuritas.
Alih-alih menyerahkan diri, Michael Steven justru melarikan diri dari proses hukum hingga Bareskrim menetapkannya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Anehnya, meskipun dalam pengejaran oleh pihak kepolisian, Michael Steven tetap mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) Jakarta dan diproses oleh pengadilan.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi persoalan utama, gugatan yang diajukan oleh Michael Steven selaku buronan tersebut justru dikabulkan oleh PTUN. Dalam putusan Nomor 475/G/2023/PTUN.Jkt tanggal 22 Februari 2024, PTUN Jakarta membatalkan Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-42/D.05/2023 tanggal 23 Juni 2023 yang mencabut Izin Usaha di Bidang Asuransi yang dimiliki oleh Kresna Life.
Ajaibnya, putusan tingkat pertama tersebut justru kuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta setelah diajukan Banding oleh OJK. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim kedua lembaga peradilan tersebut sama sekali tidak mengindahkan status DPO Michael Steven.
Sehingga timbul pertanyaan, apakah seorang buronan dapat mengajukan upaya hukum di lembaga peradilan? Bukankah dengan tindakan melarikan diri dari proses hukum pihak tersebut telah menghina lembaga peradilan?
ADVERTISEMENT
Mengenal Konsep Fugitive Disentitlement Doctrine
Berkaca pada kasus Michael Steven v. OJK di PTUN Jakarta, sejatinya terdapat konsep hilangnya hak seorang buronan untuk mengajukan upaya hukum. Konsep tersebut dikenal dengan istilah Fugitive Disentitlement Doctrine atau FDD yang berkembang dari konteks hukum pidana.
FDD mengatur batasan atau pencabutan hak seseorang yang sedang menjalani proses pidana namun berstatus buron atau dalam pencarian/pengejaran untuk mengajukan banding atas kasusnya tersebut. Dalam arti khusus, FDD lazimnya digunakan sebagai alat bagi para hakim untuk menjustifikasi penolakan terhadap kasus-kasus tertentu yang diajukan oleh seorang buronan (fugitive).
Secara historis, FDD berkembang dalam sistem hukum Amerika Serikat dan tidak hanya menyangkut hukum pidana, melainkan juga hukum perdata dan keimigrasian. Seperti kasus Smith v. United States, 94 U.S. 97 (1876), pemohon (Smith) melarikan diri ketika permohonan banding atas kasus hukumnya tinggal menunggu putusan akhir pengadilan.
ADVERTISEMENT
Menilai Smith mungkin tidak hadir saat pembacaan putusan akhir, Majelis Hakim memutuskan menghentikan proses perkara kecuali jika Smith menyerahkan diri sebelum masa akhir sidang (conditional dismissal), “It is clearly within our discretion to refuse to hear a criminal case in error, unless the convicted party, suing out the writ, is where he can be made to respond to any judgement we may render”.
Serupa tapi tak sama, dalam kasus Allen v. State of Georgia, 166 U.S. 138 (1987), seorang terdakwa (Allen) pada tingkat banding yang telah diputus dengan hukuman mati melarikan diri ketika perkara sedang bergulir di Mahkamah Agung negara bagian Georgia. Setelah berhasil tertangkap dan dijatuhi hukuman ulang, Allen menuduh pengadilan telah melanggar proses hukum dengan tidak melanjutkan permohonan bandingnya, kendati pengadilan sebelumnya telah memberikan batas waktu jika Allen menyerahkan diri, maka permohonan bandingnya akan dilanjutkan (conditional dismissal).
ADVERTISEMENT
Dalam putusannya, Hakim Agung Georgia menyatakan tindakan Allen yang melarikan diri selama proses persidangan merupakan penghinaan terhadap institusi pengadilan dan mencederai kehormatan badan yudikatif.
Dalam konteks hukum perdata di Amerika Serikat, pengadilan pernah menerapkan asas FDD dalam kasus Degen v. United States, 517 U.S. 820 (1996). Terdakwa (Degen) terkait dalam 2 (dua) kasus hukum dan melarikan diri ke luar negeri setelah perkara pidana dan perdata terhadapnya diproses. Meskipun Degen tidak memiliki niat untuk menyerahkan diri untuk menghadapi proses hukum pidananya, ia mengajukan jawaban atas gugatan perdatanya sebagai tergugat.
Pengadilan setempat pada akhirnya mengabulkan gugatan perdata yang diajukan terhadap Degen atas dasar status buronnya dalam perkara pidana dan menyatakan 3 (tiga) alasan mengenai FDD:
ADVERTISEMENT
Fugitive Disentitlement Doctrine dalam Tatanan Hukum Indonesia
Dalam tataran praktis di Indonesia, tidak sedikit buronan yang mengajukan upaya hukum atas penetapan status DPOnya tersebut ketika sedang melarikan diri. Meskipun telah diatur ketentuan pengadilan harus menolak upaya hukum yang diajukan oleh seorang terdakwa/terpidana yang melarikan diri “in absentia” atau melalui kuasa hukumnya, dalam beberapa perkara, pengadilan, bahkan Mahkamah Agung sendiri, justru menerima dan mengabulkan permohonannya dengan membebaskan mereka yang kabur dan dihukum bersalah.
Sayangnya, ketentuan FDD dalam tatanan hukum Indonesia tersebut belum diatur secara lengkap dan komprehensif dalam peraturan perundang-undangan. Sejauh ini, para hakim hanya dapat berpegangan pada Surat Edaran Mahkamah Agung, khususnya Nomor 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana “In Absentia” (SEMA 6/1988), yang kemudian diperbarui dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (SEMA 1/2012).
ADVERTISEMENT
Dalam SEMA 6/1988, Mahkamah Agung meminta kepada setiap hakim di pengadilan negeri untuk menolak atau tidak melayani penasehat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa yang tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara patut, baik pada pemeriksaan tingkat pertama maupun tingkat banding.
Sedangkan dalam SEMA 1/2012, Mahkamah Agung menegaskan permintaan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya. Permintaan yang diajukan oleh kuasa hukum tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.
Selain 2 (dua) ketentuan di atas, terdapat juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status DPO (SEMA 1/2018). Pada praktiknya, SEMA 1/2018 ini pernah diterapkan dalam kasus korupsi Mardani Maming tahun 2022 lalu, dimana hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak permohonan praperadilan dengan alasan tersangka sudah berstatus buron atau masuk DPO.
ADVERTISEMENT
Aturan khusus mengenai FDD yang diatur dalam Undang-Undang sejauh ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010). UU ini pada dasarnya mengimplementasikan konsep FDD dengan perspektif yang sedikit berbeda, yakni upaya hukum banding terhadap putusan yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama tetap dapat dilakukan oleh terpidana selama dilakukan secara langsung dan hadir di pengadilan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 80 ayat (2).
Pengadilan dan Gagasan Keadilan
Pada akhirnya, upaya hukum yang dilakukan oleh seorang buronan atau DPO jelas memunculkan perdebatan mengenai pembatasan hak seorang warga negara, namun akan menjadi rancu jika ternyata putusan yang dikeluarkan justru menguntungkan buronan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Michael Steven v. OJK, putusan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang dikhawatirkan menjadi preseden buruk penegakkan hukum di Indonesia serta membuat publik semakin mempertanyakan kewibawaan lembaga hukum peradilan karena dapat dengan mudah menerima dan mengabulkan upaya hukum dari pihak yang jelas-jelas telah membangkang terhadap hukum.
“Keistimewaan” ini tentu harus dibatasi dan diatur dengan jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak hanya terbatas pada SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan dalam kasus money laundering saja, namun juga dapat diterapkan tidak hanya dalam lingkup perkara pidana, melainkan perkara-perkara lainnya.
Sebagai alternatif, pun dapat dipertimbangkan penerapan conditional dismissal sebagaimana contoh kasus Smith v. United States dan Allen v. State of Georgia dengan meminta para buron atau DPO untuk menghadap di muka persidangan jika ingin perkara tetap diteruskan. Serta, mengkombinasikannya dengan konsep FDD dalam perkara-perkara di luar perkara pidana, seperti dalam kasus Degen v. United States, oleh majelis hakim pengadilan tersebut ketika menguji kedudukan hukum (legal standing) para penggugat atau para pemohon yang berstatus buronan atau DPO dan mempertimbangkannya dalam putusan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, marwah institusi peradilan di Indonesia sebagai lembaga yudikatif, tidak hanya PTUN dalam kasus Michael Steven v. OJK, dapat terjaga dengan baik, serta tidak hanya kepastian hukum, melainkan keadilan dan kemanfaatan pun dapat ditegakkan.