Konten dari Pengguna

Menilik Pro dan Kontra Penerapan Cukai Plastik di Indonesia

Tarisa Khairunnisa
Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia
3 Januari 2022 6:10 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tarisa Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sampah Plastik. Source: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sampah Plastik. Source: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Penemuan plastik sintetis pertama, bakelite, yang mulai diproduksi pada tahun 1907, menandai awal dari industri plastik global. Pertumbuhan pesat dalam produksi plastik global sendiri dimulai tahun 1950-an. Selama 65 tahun berikutnya, produksi plastik tahunan meningkat hampir 200 kali lipat menjadi 381 juta ton pada tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Dengan angka sebesar itu, manusia memproduksi dalam satu tahun jumlah plastik yang diproduksi antara tahun 1950 hingga 1975. Konsumen terbesar adalah negara-negara Barat (lebih dari 100 kilogram plastik per tahun per penduduk) dan potensi pertumbuhan konsumsi plastik terbesar ada di negara-negara Asia, di mana konsumsi plastik per tahun per penduduk mencapai sekitar 20 kilogram.
Konsumsi plastik Indonesia sendiri, berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas), berjumlah sebesar 5,76 juta ton per tahun dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 19,8 kilogram, di bawah Jerman, Jepang, dan Vietnam. Setiap tahun, sekitar 8 juta ton sampah plastik mengalir ke lautan dari negara-negara yang bertepian langsung dengan lautan.
Di Indonesia sendiri, kondisi sampah plastik berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang terbuang ke laut. Indonesia menempati posisi kedua setelah Tiongkok sebagai negara penghasil sampah plastik terbanyak yang masuk ke laut dan berada di atas Filipina pada urutan ketiga.
ADVERTISEMENT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa sejak tahun 2000, jumlah sampah plastik di Indonesia terus mengalami peningkatan sebesar 5 sampai 6 persen setiap tahunnya sejak tahun 2000.
Jumlah sampah plastik yang semakin menggunung dan mengkhawatirkan membuat beragam solusi mulai bermunculan, seperti pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, pelarangan plastik sepenuhnya, pembuatan plastik ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri, tercatat 39 kota dan 2 provinsi yang sudah memberlakukan pelarangan penggunaan plastik, meski terbatas hanya di pertokoan ritel.
Sayangnya, tak semua pihak diuntungkan dengan adanya kebijakan ini. Salah satunya adalah pelaku usaha. Selain penerapan peraturan pelarangan/pembatasan penggunaan plastik, pemerintah sempat berencana menjadikan produk plastik sebagai objek Barang Kena Cukai dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
ADVERTISEMENT
Melalui berbagai tahapan perencanaan penerapan ekstensifikasi barang kena cukai atas produk plastik yang menuai pro dan kontra, pemerintah resmi mengubah RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang telah disahkan pada Oktober 2021 lalu.
Namun, di dalam UU HPP tersebut tidak dapat perubahan atas ekstensifikasi cukai plastik yang berarti pemerintah tidak jadi menerapkan produk plastik sebagai salah satu barang yang termasuk ke dalam objek cukai. Meskipun permasalahan polusi plastik ini sangat mengkhawatirkan, tetapi masih terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari pemerintah untuk membatalkan adanya penerapan cukai plastik di Indonesia.

Urgensi Penerapan Cukai Plastik

Petugas Bea dan Cukai Batam memeriksa kontainer yang berisi sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (15/6). Foto: ANTARA FOTO/Andaru
Urgensi penerapan cukai atas produk plastik adalah untuk mengendalikan eksternalitas negatif yang timbul akibat konsumsi produk plastik. Sampah plastik adalah eksternalitas negatif utama dari produk plastik.
ADVERTISEMENT
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah sampah plastik di Indonesia mencapai angka 64 juta ton per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Sementara itu, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan mencapai angka 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
Konsumsi plastik Indonesia, berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas), sebesar 5,76 juta ton per tahun dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 19,8 kilogram, di bawah Jerman, Jepang, dan Vietnam. Meski begitu, pengelolaan sampah plastik masih sangat kurang.
Naasnya, plastik sendiri sulit terurai secara alami dan membutuhkan waktu ratusan tahun. Permasalahan sampah plastik yang dihadapi Indonesia belum menemui titik temu bahkan setelah beberapa daerah memberlakukan pelarangan/pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Pemberlakuan instrumen fiskal berupa cukai bisa menjadi alat kontrol tambahan terhadap eksternalitas negatif yang ditimbulkan produk plastik.
ADVERTISEMENT
Upaya memasukkan produk plastik sebagai Barang Kena Cukai merupakan salah satu usaha mengurangi eksternalitas negatif produk plastik melalui ekstensifikasi Barang Kena Cukai. Saat ini, hanya terdapat 3 (tiga) jenis Barang Kena Cukai di Indonesia, yakni hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol.
Wacana masuknya produk plastik ke dalam Barang Kena Cukai pun mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Di satu sisi, pemerintah memandang cukai sebagai instrumen fiskal yang efektif untuk mengendalikan konsumsi dan peredaran plastik. Selain itu, cukai bisa juga menjadi pemasukan bagi kas pemerintah. Di lain sisi, pelaku usaha menilai bahwa kebijakan cukai untuk produk plastik akan justru menurunkan keuntungan bisnis dan menguntungkan produk plastik impor.
ADVERTISEMENT

Pro dan Kontra Penerapan Cukai Plastik di Indonesia

Pemulung mengumpulkan sampah plastik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (14/10/2021). Foto: Umarul Faruq/Antara Foto
Penerapan cukai atas produk plastik tentunya menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Seperti yang telah dijelaskan, pemberlakuan cukai atas produk plastik akan mengurangi eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari penggunaan plastik, seperti masalah sampah yang mulai menggunung.
Di sisi lain, kebijakan cukai atas produk plastik juga akan menambah pendapatan pemerintah untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara periode 2022-2023. Penerimaan perpajakan cukai pada 2022 tumbuh 5%-8% dari proyeksi tahun ini sebesar Rp 173,78 triliun. Artinya, tahun depan target penerimaan cukai sebesar Rp 182,46 triliun sampai dengan Rp 187,68 triliun (Sukmana, 2021).
Ekstensifikasi BKC menjadi solusi utama peningkatan pendapatan negara. Untuk skema produk plastik sendiri, kantong plastik sulit terurai rencananya akan dikenakan tarif maksimal, yaitu Rp200 per lembar atau Rp30.000 untuk per kilogramnya. Pada 2017, penerimaan negara dari cukai atas kantong plastik diproyeksikan sebesar Rp1,6 triliun, sebesar Rp500 miliar pada 2018 dan 2019, dan sebesar Rp100 miliar pada 2020.
ADVERTISEMENT
Selama ini, pendapatan negara dari Barang Kena Cukai (BKC) memanglah masih minim dan sangat bergantung dengan hasil cukai tembakau. Dibandingkan negara tetangga, jenis BKC Indonesia masih sangat sedikit dan hanya berupa barang, bukannya jasa. Seperti yang telah disebutkan di atas, pendapatan cukai atas produk plastik bernilai tak sedikit dan mampu menambah kas negara.
Pendapatan tersebut juga dapat diperuntukkan untuk kegiatan yang ramah lingkungan mengingat cukai sangat erat kaitannya dengan earmarking tax. Pemerintah memproyeksikan peruntukan dari cukai kantong plastik ini dalam konsep Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang telah disusun.
Penerimaan dari cukai produk plastik ini dialokasikan untuk kegiatan yang berkontribusi terhadap: 1) penanggulangan pencemaran/kerusakan lingkungan; 2) pemulihan lingkungan; 3) pengembangan industri daur ulang plastik; 4) inovasi produk pengganti produk plastik, dan lain sebagainya (Yolanda, I.R. & Saputra, A.H., 2021: 300).
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, muncul berbagai narasi kontra, terutama dari para pelaku usaha. Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, memandang negatif rencana perluasan cukai pada minuman bergula dalam kemasan, plastik, dan peralatan makan-minum sekali pakai yang tengah dipersiapkan pemerintah dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022.
Beliau menyatakan bahwa ekstensifikasi cukai justru akan menguntungkan impor barang plastik jadi dari luar negeri. Konsekuensinya, utilitas industri plastik dalam negeri diproyeksikan berada di bawah 50 persen alias terhambat akibat meningkatnya peredaran barang jadi plastik impor (Wahyudi, 2021).
Fajar menambahkan bahwa pemberlakuan cukai plastik akan mengurangi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari perusahaan kantong plastik. Dampaknya bisa berupa pemutusan hubungan kerja (PHK).
ADVERTISEMENT
Terlebih, tahun depan, perekonomian Indonesia masih dalam tahap pemulihan. Menurut Fajar, cukai sebaiknya diberlakukan kepada produk impor bahan baku plastik atau produk plastik. Cara ini diyakini dapat dengan mudah mendorong penerimaan cukai tanpa mengganggu perekonomian industri kantong plastik (Santoso, 2021).
Selain itu, penerapan cukai plastik juga akan berdampak bagi industri makanan, minuman, dan kemasan yang menggunakan plastik sebagai bahan baku utama produksi mereka. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) turut menyampaikan bahwa rencana pemberlakuan cukai atas produk plastik ini akan mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap plastik serta menghambat investasi.
Menurutnya, pemerintah harus mengkaji lebih lanjut lagi apakah penerapan cukai plastik ini akan menguntungkan negara atau malah sebaliknya karena penerapan cukai plastik ini sangat berpengaruh terhadap penurunan penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai dan juga Pajak Penghasilan Badan.
ADVERTISEMENT
Para pelaku usaha juga menekankan bahwa penerapan cukai plastik ini juga tidak efektif karena, menurut mereka, langkah yang efektif dalam mengatasi permasalahan plastik adalah manajemen pengelolaan sampah yang lebih efisien. Pendapat serupa disampaikan oleh Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) yang menyatakan bahwa selain pemberlakuan cukai, infrastruktur serta sistem pengelolaan sampah harus sudah siap untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait permasalahan sampah plastik ini.
Hal ini menjadi dilema bagi negara karena cukai plastik ini dapat menjadi salah satu solusi yang tepat untuk mengendalikan eksternalitas, namun di sisi lain akan berdampak terhadap perekonomian negara. Oleh karena itu, pemerintah menghapus cukai plastik dalam UU HPP yang disahkan pada Oktober lalu.
Meskipun cukai plastik ini dinilai sangat potensial untuk mengatasi permasalahan sampah plastik, tetapi pemerintah harus mengestimasikan segala dampak yang akan ditimbulkan melalui penerapan cukai plastik ini baik dari segi ekonomi maupun lingkungan agar penerapan cukai plastik berjalan sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu penyelamatan ekosistem lingkungan serta meningkatkan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT

Plastik Batal Menjadi Objek Cukai Plastik Dalam UU HPP

Petugas mengolah sampah plastik di Pusat Daur Ulang Cicabe, Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/9/2021). Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
Melalui berbagai tahapan perencanaan penerapan ekstensifikasi barang kena cukai atas produk plastik yang menuai pro dan kontra, per Oktober 2021 lalu, pemerintah resmi mengubah RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang telah disahkan pada Oktober 2021 lalu.
Namun, di dalam UU HPP tersebut tidak dapat perubahan atas ekstensifikasi cukai plastik, yang berarti pemerintah tidak jadi menerapkan produk plastik sebagai salah satu barang yang termasuk ke dalam objek cukai. Payung hukum penerapan cukai terhadap produk plastik sebenarnya sudah lama dipertimbangkan oleh pemerintah.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri telah menyetujui usulan pemerintah dalam pemberlakuan cukai plastik. Sayangnya, pengajuan plastik sebagai salah satu Barang Kena Cukai kerap menemui hambatan karena perbedaan persepsi antar instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut, ekstensifikasi objek Barang Kena Cukai terhadap produk plastik memang dinilai sebagai solusi yang tepat karena urgensi penetapan cukai plastik ini didasarkan pada kondisi sampah plastik yang sangat mengkhawatirkan.
Namun, di sisi lain pelaku usaha menyampaikan bahwa perencanaan penerapan cukai plastik ini akan berdampak buruk bagi industri plastik serta makanan dan minuman yang kemasannya berbahan dasar plastik di Indonesia. Di samping itu, penerapan cukai plastik ini dapat menghambat investasi serta mempengaruhi permintaan pasar akan plastik. Oleh karena itu, pemerintah membatalkan ekstensifikasi BKC atas plastik di dalam RUU HPP.
Dalam menekan angka eksternalitas akibat polusi plastik, penerapan cukai plastik ini memang memiliki potensi yang baik. Di sisi lain, pemerintah harus mendukung penerapannya melalui regulasi serta menanggulanginya dengan edukasi bagi masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka pemerintah dapat menekan angka eksternalitas yang semakin mengkhawatirkan akibat konsumsi plastik yang terus bertambah.
ADVERTISEMENT

Referensi

Arief, A. M. (2020). KLHK: Peningkatan Komposisi sampah plastik 6 persen per Tahun. Bisnis.com. Diakses pada 18 Desember 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20200207/257/1198747/klhk-peningkatan-komposisi-sampah-plastik-6-persen-per-tahun
Ayu, I. (2021). Rencana cukai Plastik Kembali Muncul, Begini Kata Industri. Bisnis.com. Diakses 18 Desember 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210506/257/1391496/rencana-cukai-plastik-kembali-muncul-begini-kata-industri
Santoso, Y. I. (2021). Pemerintah Berencana terapkan Cukai Plastik Tahun Depan. PT. Kontan Grahanusa Mediatama. Diakses 18 Desember 2021 dari https://newssetup.kontan.co.id/news/pemerintah-berencana-terapkan-cukai-plastik-tahun-depan?page=all
Wahyudi, N.A. (2021). Perluasan cukai Plastik, Inaplas: Impor diuntungkan. Bisnis.com. Diakses 18 Desember 2021 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20210922/12/1445197/perluasan-cukai-plastik-inaplas-impor-diuntungkan
Yolanda, I.R. & Saputra, A.H. (2021). Penerapan Kebijakan Ekstensifikasi Barang Kena Cukai terhadap Produk Plastik di Indonesia. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 5 (2).