Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Represifitas Pemerintah Tiongkok terhadap Suku Uighur: Salahkah Jadi Minoritas?
19 Juni 2022 20:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tarisa Nurahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak di sekolah dasar, kita selalu diajarkan sebuah pepatah yang berbunyi “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina”, mungkin makna tersebut berarti bahwa kita harus mencari ilmu sejauh mungkin yang kita bisa, atau bisa jadi justru arti dari pepatah tersebut adalah, banyak ilmu yang bisa kita gapai di negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, apa jadinya jika ternyata hal yang terjadi di negeri Tirai Bambu tersebut penuh dinamika konflik dan perpecahan yang sama sekali tidak merepresentasikan pepatah tadi. Nahasnya, itulah keadaan yang sebenarnya terjadi.
ADVERTISEMENT
Setidaknya sejak 50 tahun terakhir hingga kini, telah terjadi konflik di daratan Xinjiang, Tiongkok yang masih belum terselesaikan. Konflik tersebut terjadi antara kelompok minoritas terbesar di Tiongkok yang bernama suku Uighur dengan pemerintah Tiongkok itu sendiri. Suku Uighur sendiri adalah orang keturunan Turki yang hidup di Asia Tengah terutama di Xinjiang, Tiongkok. Suku Uighur berbeda ras dengan suku Han yang asli Tiongkok, mereka lebih mirip orang Eropa Kaukus sedangkan suku Han mirip orang Asia (Thayib, 1991).
Konflik ini sendiri terjadi sejak berganti-gantinya kepemimpinan kekuasaan di Xinjiang. Dahulu kala sekitar abad ke-8 hingga 9 Masehi, daratan Xinjiang sempat dipimpin oleh kekaisaran Uighur Khaganate yang berisi orang-orang Turkestan, saat itu pusat kotanya masih bernama Urumqi. Hingga pada 1874, kekuasaan diambil alih oleh Panglima Perang Uzbek dan akhirnya wilayah tersebut berganti nama menjadi Xinjiang yang berarti “Batas Baru”. Dari pergantian kekuasaan tersebut, mulai terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Turkestan dan puncak kekuasaan terus berganti, hingga akhirnya dipimpin oleh Deng Xiaoping dan Mao Tse Tung sebagai pemimpin Tiongkok memutuskan untuk membuat wilayah Xinjiang menjadi Kawasan otonomi.
ADVERTISEMENT
Pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping, masyarakat etnis Uighur bisa menjalani kehidupan dengan cukup tenang, mereka bebas beribadah, merepresentasikan adat istiadat mereka sebagai umat muslim serta merawat budaya asli mereka. Namun, ketenangan tersebut tidak berangsur lama, tanpa mereka sadari, pemerintah Tiongkok ternyata perlahan-lahan mengirim etnis Han asli Tiongkok yang notabenenya lebih mahir berbahasa Mandarin ke wilayah tersebut hingga akhirnya populasinya melebihi suku Uighur yang sudah lebih dahulu menempati wilayah tersebut. Semakin banyaknya etnis Han di wilayah tersebut, maka semakin kentara juga perselisihan terjadi, hal ini disebabkan terjadinya perlakuan tidak adil yang dilakukan pemerintah Tiongkok yang mendahulukan memberi pekerjaan ke etnis Han yang lebih mirip masyarakat Tiongkok pada umumnya daripada etnis Uighur. Hal tersebut mengakibatkan banyak etnis Uighur yang akhirnya kehilangan pekerjaan hingga menjadi jatuh miskin.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, sejak terjadinya kasus terorisme 9/11 di Amerika Serikat yang melibatkan umat Islam, pemerintah Tiongkok pun merespon kejadian tersebut dengan berangsur membuat kebijakan problematik yang memberatkan umat muslim Uighur, seperti pelarangan pembangunan masjid dan madrasah, pembatasan kegiatan keagamaan, hingga pelarangan pelaksanaan ibadah berpuasa dan tarawih di bulan Ramadhan. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok memperlakukan suku Hui yang notabenenya beragama Islam namun memiliki ras dan fisik mirip seperti orang Tiongkok dan tidak satu ras dengan Uighur dengan cara yang berbeda. Perbedaan tersebut sangat kentara, karena suku Hui dibebaskan untuk menjalankan kegiatan keagamaan bahkan hingga pergi haji sedangkan suku Uighur justru sebaliknya.
Ketimpangan tersebut akhirnya membuat pemberontakan pecah pada bulan Juli 2009 di Urumqi atau sekarang Xinjiang. Pemberontakan tersebut menyuarakan separatisme yang ingin dilakukan suku Uighur karena ketidakadilan kebijakan yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Bukannya mendapatkan kemerdekaan, pemberontakan tersebut justru memperparah keadaan suku Uighur, setidaknya ada 184 orang tewas, 1800 orang terluka dan 1434 muslim Uighur diculik dan dihukum oleh pemerintah Tiongkok. Setelah kejadian tersebut, muncul berbagai aksi solidaritas di berbagai belahan dunia untuk mendukung suku Uighur di Tiongkok. Berapa di antaranya adalah demonstrasi di Istanbul pada 12 Juli 2009 yang melibatkan sekitar 10.000 orang, pengecaman parlemen Prancis terhadap tindakan represif pemerintah Tiongkok terhadap suku Uighur dengan mengeluarkan resolusi yang beresiko merenggangkan hubungan Prancis dan Tiongkok, hingga demonstrasi yang terus-menerus terjadi hingga kini di Beijing, Tiongkok yang dilakukan berbagai lapisan masyarakat untuk mendukung suku Uighur dan menentang tindakan yang dilakukan pemerintah Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, dari banyaknya aksi solidaritas yang dilakukan di berbagai belahan dunia, sampai saat ini, belum ada titik terang atau solusi yang diberikan pemerintah Tiongkok atau PBB untuk menyelesaikan konflik tersebut. Bahkan, dari laporan terakhir PBB melalui Organisasi Buruh Internasional pun, diskriminasi pemerintah Tiongkok terhadap masyarakat muslim Uighur terus terjadi. Hal yang dapat disimpulkan adalah, adanya perbedaan politik, identitas, budaya, agama hingga ras, sangat berpotensi mengakibatkan terjadinya perlakuan tidak adil dari otoritas yang bertanggung jawab.
Referensi:
China melarang umat Islam Shalat Jumat, dikases dari http://mohammadihsan.com , diakses diakses Sabtu, 11 Juni 2022
Chinese Torture in East Turkestan, Harun Yahya, diakses dari http://eastturkestan.net/china05.html diakses Sabtu, 11 Juni 2022
Kebijakan One China policy, dan penerapannya pada etnis muslim uighur, diakses dari http://saveuyghur.org , diakses Sabtu, 11 Juni 2022
ADVERTISEMENT
Thayib, A. (1991). Islam di China. Surabaya: Amarpress.