Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perpustakaan Ditelan Gadget: Literasi Kita di Ambang Krisis
28 April 2025 14:07 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Tasya Maura Taroreh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah dunia yang makin serba digital ini, keberadaan perpustakaan seolah-olah makin tersisih. Bukan karena kita kekurangan buku atau fasilitas, tapi karena cara kita memandang literasi sudah berubah, dan sayangnya, berubah ke arah yang cukup mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Sekarang, cari informasi tinggal klik Google, buka Instagram, atau tonton TikTok. Sekejap aja, semua jawaban kayaknya muncul. Tapi, pernah tidak kita refleksi? seberapa dalam sih pemahaman kita terhadap informasi itu? Atau jangan-jangan, kita cuma dapet potongan kecil tanpa pernah benar-benar paham konteksnya?
Di kampus-kampus, termasuk di kampus besar sekalipun, perpustakaan makin hari makin sepi. Rak-rak penuh buku keren, jurnal akademik, referensi penting, semuanya kayak cuma jadi latar belakang foto mahasiswa yang lagi ngonten. Perpustakaan berubah dari pusat ilmu jadi spot estetik buat sekadar numpang lewat.
Literasi kita makin krisis, bukan karena orang males belajar, tapi karena budaya instant knowledge lebih dipuja daripada proses memahami yang butuh waktu dan usaha. Gadget, yang awalnya diciptain buat mempermudah akses informasi, malah secara perlahan "menelan" fungsi dasar perpustakaan: membentuk manusia berpikir kritis dan reflektif.
ADVERTISEMENT
Banyak perpustakaan sekarang sibuk berbenah, digitalisasi katalog, upgrade sistem, bahkan aktif di media sosial. Tapi sayangnya, inovasi kadang berhenti di tampilan, bukan substansi. Akses buku digital makin banyak, tapi nggak semua mahasiswa paham cara mengkritisi sumbernya. Apalagi soal literasi informasi, itu butuh proses panjang yang nggak cukup kalau cuma lewat scroll TikTok lima menit.
Lebih parah lagi, banyak perpustakaan kampus masih terjebak di model manajemen lama: kaku, minim kolaborasi, bahkan belum integrasi antar unit. Padahal tantangan zaman ini butuh perpustakaan yang lincah, adaptif, bukan cuma sekadar tempat numpuk buku atau formalitas akreditasi.
Kalau kondisi ini terus dibiarkan, bisa jadi beberapa tahun lagi, anak-anak kampus lebih hafal trend di media sosial daripada tau cara baca jurnal ilmiah. Kita bukan lagi bicara tentang gap teknologi, tapi soal gap dalam budaya belajar dan berpikir.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya sekarang: kita mau biarin perpustakaan cuma jadi ornamen sejarah? Atau kita siap bergerak, mulai dari membiasakan diri untuk berpikir lebih kritis, memanfaatkan perpustakaan (fisik maupun digital) sebagai ruang belajar yang sesungguhnya, bukan sekadar ruang pajangan?
Perpustakaan bukan sekadar tempat menaruh buku. Ia adalah rumah peradaban. Dan kalau kita benar-benar peduli sama masa depan literasi bangsa ini, kita harus mulai dari diri sendiri: balik ke budaya membaca, menganalisis, dan berpikir mendalam.
Karena di tengah tsunami informasi seperti sekarang, kemampuan membaca dan berpikir kritis bukan lagi sekadar keunggulan, tapi soal bertahan hidup.