Konten dari Pengguna

“Kawin Tangkap” di Sumba: Analisis Sosial dan Psikologi Feminisme

Tasya Rambu
Mahasiswa Psikologi Univesitas Mercu Buana Yogyakarta dan Ketua Komisariat Ester MB 2023-2024 GMKI Yogyakarta
15 Oktober 2024 17:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasya Rambu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dua wanita Sumba dan seorang anak di rumah tradisional Sumba. Sumber: shutterstock/xtine_surya
zoom-in-whitePerbesar
Dua wanita Sumba dan seorang anak di rumah tradisional Sumba. Sumber: shutterstock/xtine_surya

Overview

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tradisi kawin tangkap adalah bentuk perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan adat di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kawin tangkap dikenal dengan berbagai macam nama, seperti Wenda Mawine yang artinya kawin culik di Sumba Barat Daya (Suku Wewewa), Yappa Mawinni yang artinya tangkap Perempuan di Sumba Tengah (dialek Anakalang) dan Kedu Ngidi Mawinne yang berarti membawa lari Perempuan di Sumba Barat (dialek Loli) (Setyaningrum, 2023). Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat Sumba mewarisi dan mempraktikkan nilai-nilai budaya mereka, meskipun saat ini tradisi tersebut tengah diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Menurut Tylor (1871) menyatakan bahwa “kebudayaan atau peradaban adalah satuan kompleks yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, akhlak, hukum, adat, dan banyak kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Dengan mempertimbangkan perspektif Tylor, kita dapat melihat bahwa kawin tangkap bukan hanya sekadar praktik sosial, tetapi juga mencerminkan dinamika budaya dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Sumba saat ini.
Perdebatan ini mencakup dua sisi. Pertama, tradisi kawin tangkap dianggap sebagai simbol identitas budaya yang kuat; sementara sisi lainnya menganggap bahwa praktik ini dapat menimbulkan masalah, terutama bagi perempuan yang sering menjadi korban dalam prosesnya.
Secara prinsip kebudayaan kawin tangkap menjadi bagian dari identitas budaya yang kuat dalam lingkup sosial di Masyarakat Sumba. Namun pemikiran kritis lainnya dari kawin tangkap adalah hilangnya esensi asli kawin tangkap kemudian menyebabkan praktik ini bermanuver menjadi pemaksaan sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan yang terarah kepada aspek keperempuanan sebagai korban dari proses kawin tangkap, di mana mereka sering diperlakukan sebagai objek dalam proses pernikahan bukan sebagai individu dengan hak dan suara.
ADVERTISEMENT
Kawin tangkap menjadi kontradiktif apabila kita menggunakannya dengan pemikiran kritis dan feminisme. Perdebatan kritis ini perlu dipandu dengan mempertanyakan tentang tanggapan pemikiran sosiologis dan psikologis feminisme terhadap eksistensi tradisi kawin tangkap di Sumba.

Fenomena Sosio-Kultural “Kawin Tangkap”

Sebuah riset yang dilakukan oleh Doko dkk (2021) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kawin tangkap di Sumba meliputi ekonomi terkait hutang, strata sosial, pendidikan, dan kepercayaan. Mengacu pada riset tersebut, aspek pendidikan menjadi salah satu latar belakang yang kuat bagi eksisnya tradisi kawin tangkap. Pendidikan yang rendah di Sumba menghasilkan mindset yang kurang terbuka terhadap perubahan, sehingga praktik tradisional seperti kawin tangkap tetap dijalankan dan dinormalisasikan di tengah perkembangan pemikiran modern. Adapun juga, rendahnya kualitas pendidikan menciptakan siklus yang berulang, di mana masyarakat tidak memiliki akses atau pemahaman yang cukup untuk mempertanyakan atau menilai kembali relevansi tradisi ini.
Tradisi Pasola sebagai adat Sumba. Sumber: shutterstock/GUNAWAN SIDIK
Selanjutnya, kondisi ekonomi yang termasuk hutang memainkan peran penting dalam kawin tangkap serta perbedaan status sosial dapat berimplikasi pada cara individu atau keluarga terlibat dalam kawin tangkap, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban yang sering kali mendorong praktik ini sebagai cara untuk menyelesaikan masalah ekonomi atau sosial. Masyarakat Sumba meyakini bahwa tradisi ini merupakan bagian dari budaya yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun (Doko dkk, 2021; Bembot dkk 2022).
ADVERTISEMENT
Selain pendidikan, ekonomi dan strata sosial yang rendah, eksisnya kawin tangkap juga adalah wujud dari kepercayaan. Kawin tangkap merupakan tradisi masyarakat sumba dengan tujuan untuk menjodohkan dengan dasar kesepakatan dari kedua belah pihak dan melalui proses adat yang berlaku, tetapi banyak kasus kawin tangkap yang terjadi belakangan ini menunjukan adanya reduksi makna pada tradisi ini. Kesepakatan yang menjadi esensi dari kawin tangkap ini dihilangkan oleh kepentingan sebelah pihak dan mengatasnamakan budaya untuk mengambil perempuan secara paksa.

Benturan Psikologis "Kawin Tangkap"

Tersirat dua perangkat teoritis dalam memahami kawin tangkap sebagai wujud benturan perspektif psikologi yaitu psikologi budaya dan psikologi feminisme. Psikologi budaya merupakan cabang psikologi yang berfokus pada bagaimana emosi dan perilaku kita dipengaruhi atau berakar pada budaya individu kita (Hamilton dan White, 2023). Psikologi budaya adalah studi tentang bagaimana budaya mencerminkan dan membentuk proses psikologis anggotanya–yang tergolong ke dalam komunitas masyarakat secara adat, sosial, dan identitas. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pikiran dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dan saling membentuk, alhasil konsep tersebut melibatkan proposisi bahwa masyarakat dibentuk oleh budayanya dan kebudayaan dibentuk oleh masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, hubungan antara budaya dan psikologi sangat kompleks dan saling terkait. Budaya membentuk pola pikir, emosi, dan perilaku individu, sementara individu juga berkontribusi pada perkembangan dan transformasi budaya. Perilaku dan pola pikir diintervensi oleh kehidupan kebudayaan dan menjadi determinan kebiasaan masyarakat, begitu juga tentang apa yang terjadi di Sumba sebagai budaya kawin tangkap. Unsur budaya yang kuat akan menormalisasikan hal-hal yang barangkali janggal secara nilai sosial.
Ilustrasi wanita yang depresi. Sumber: shutterstock/Doidam 10
Psikologi feminisme adalah pendekatan yang mengkaji dampak ketidaksetaraan gender terhadap perilaku dan pengalaman individu, terutama kepada perempuan. Pendekatan ini berfokus pada keadilan dan persamaan hak, sekaligus mengkritik ketidakadilan sistemik yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, psikologi feminisme menganalisis asal usul perbedaan gender dalam proses psikologis, membantu memahami bagaimana struktur sosial dan budaya dapat menciptakan atau memperkuat ketidakadilan tersebut.
ADVERTISEMENT
Isu kawin tangkap adalah contoh nyata dari ketidakadilan gender. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi korban dari praktik ini, di mana hak dan pilihan mereka sering diabaikan. Pendekatan psikologi feminisme mengajak kita untuk merenungkan bagaimana tradisi dan norma sosial yang ada dapat diperbaiki untuk menciptakan keadilan gender. Perspektif psikologi feminisme menawarkan wawasan penting mengenai kesehatan mental dan kesejahteraan individu, serta bagaimana dinamika gender mempengaruhi pengalaman hidup mereka. Melalui analisis yang lebih dalam, kita dapat berupaya untuk merumuskan perubahan yang diperlukan dalam struktur sosial agar dapat mencapai keadilan gender yang lebih baik.
Pola perilaku perempuan yang menjadi korban kawin tangkap berpengaruh besar terhadap kondisi psikologis mereka. Dalam kerangka psikologi feminisme, yang berkomitmen pada keadilan sosial, perhatian diberikan pada pengalaman perempuan dalam berbagai konteks sosial. Seringkali kawin tangkap dipengaruhi oleh norma dan budaya setempat bisa menciptakan beragam masalah psikologis seperti trauma, rasa rendah diri, depresi, dan gangguan mental lainnya. Masalah-masalah psikologis ini sering kali diabaikan dan perempuan yang mengalami kawin tangkap tidak lagi hanya dianggap sebagai korban.
ADVERTISEMENT
Mereka mulai disebut sebagai penyintas (survivor), yang mencerminkan perjalanan mereka dalam mengatasi trauma dan tantangan. Istilah "penyintas" bukan hanya menunjukkan bahwa mereka bertahan dari pengalaman tersebut, tetapi juga menandakan bahwa mereka berhasil tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat dan lebih baik setelah menghadapi kesulitan. Proses menjadi penyintas ini melibatkan pemulihan yang mendalam, di mana perempuan belajar untuk memahami pengalaman mereka, membangun kembali rasa percaya diri, dan menemukan identitas baru.
Ini adalah perjalanan yang kompleks dan sering kali membutuhkan dukungan psikologis serta perhatian dari masyarakat agar mereka dapat sepenuhnya menjalani proses pemulihan dan pertumbuhan. Dengan demikian, penting untuk meningkatkan kesadaran akan dampak psikologis dari kawin tangkap, serta memberikan dukungan yang diperlukan bagi para penyintas. Memahami dan mengakui perjalanan mereka tidak hanya membantu individu tersebut, tetapi juga berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas menuju keadilan gender.
ADVERTISEMENT
Dengan menggabungkan pemahaman dari psikologi budaya dan feminisme, kita dapat melihat bagaimana tradisi kawin tangkap menciptakan benturan antara nilai-nilai budaya dan hak asasi manusia. Untuk mencapai keadilan gender dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan, masyarakat perlu secara kritis mengevaluasi dan mereformasi tradisi yang telah ada, sambil tetap mempertahankan aspek-aspek positif dari budaya yang mengikat mereka.

Catatan Refleksi Budaya

Ada dua sisi dari perdebatan ini. Pertama, kawin tangkap dianggap sebagai identitas budaya yang kuat; kedua, praktik ini dapat menimbulkan kekerasan dan pelanggaran hak perempuan. Tulisan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pendidikan yang rendah dan kepercayaan masyarakat berkontribusi pada normalisasi tradisi ini, yang seringkali merugikan perempuan.
Dari perspektif psikologi, artikel ini menyoroti dampak kawin tangkap terhadap kesehatan mental Perempuan sebagai korban. Psikologi budaya menjelaskan bagaimana tradisi ini membentuk perilaku dan pola pikir masyarakat, sementara psikologi feminisme mengeksplorasi ketidakadilan gender yang dialami perempuan. Korban kawin tangkap sering menghadapi masalah psikologis, seperti trauma dan depresi, yang kerap diabaikan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, penting untuk memahami bahwa meskipun perempuan menjadi korban, banyak yang bertransformasi menjadi penyintas, menunjukkan ketahanan mereka dan karena upaya normalisasi oleh masyarakat sehingga kerap terjadi pengabaian terhadap keadaan korban. Refleksi terhadap praktik ini mendorong diskusi tentang perlunya perubahan dalam cara pandang terhadap tradisi dan hak-hak perempuan di Sumba. Ini akan memungkinkan terciptanya ruang bagi perempuan untuk memiliki suara dan pilihan dalam hidup mereka, sekaligus menghormati warisan budaya yang ada.

Referensi

Doko, E. W., Suwitra, I. M., & gayatry Sudibya, D. (2021). Tradisi Kawin Tangkap (Piti Rambang) Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(3), 656-660.
Bembot, L., & Sermada, D. (2022). TRADISI KAWIN TANGKAP DI SUMBA NTT PERSPEKTIF FILSAFAT MORAL EMMANUEL KANT. SAGACITY: Journal of Theology and Christian Education, 3(1), 70-78.
ADVERTISEMENT
Toriq, A. R. (2023). Analisis Yuridis Tradisi Pemaksaan Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Kawin Tangkap di Suku Sumba Nusa Tenggara Timur). Gema Keadilan, 10(3), 138-152.
John Hamilton (2023). Cultural Psychology Definiton, Importance, & Challenges Definiton, Importance, & Challenges
Lianawati, E. (2021). Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan. Buku Mojok.