Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seruan Frugal Living sebagai Kecaman Nyata oleh Masyarakat atas Kenaikan PPN 12%
25 November 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Tasya Ummayyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Frugal Living secara sederhana sering dimaknai sebagai gaya hidup hemat atau irit terhadap pengeluaran agar dapat menabung lebih banyak, bahkan gaya hidup ini cenderung dinilai pelit oleh sebagian orang. Seruan untuk menjalani frugal living semakin menggema di tengah masyarakat Indonesia. Tren ini muncul sebagai reaksi atas berbagai tekanan ekonomi, termasuk rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan ditetapkan paling lambat pada Januari 2025. Namun, lebih dari sekadar pilihan gaya hidup, tren ini telah berkembang menjadi simbol kritik terhadap pemerintah. Bagi sebagian masyarakat, seruan hidup hemat mencerminkan kekecewaan terhadap kebijakan yang dinilai membebani rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN ini dianggap sebagai langkah kecil yang tidak adil, terutama karena dilakukan di tengah situasi ekonomi yang masih rapuh pasca-pandemi. Frugal living tidak lagi sebagai sekadar pilihan ekonomis, melainkan kecaman diam-diam yang menunjukkan bahwa masyarakat merasa dibiarkan menanggung beban ekonomi sendirian.
Kenaikan PPN Mengapa Dipersoalkan?
PPN adalah pajak yang langsung dirasakan masyarakat karena dikenakan pada hampir semua barang dan jasa, termasuk kebutuhan sehari-hari. Melalui Undang Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tepatnya pada April 2022 tarif PPN telah berubah menjadi 11% dan kemudian direncanakan akan ada kenaikan kembali menjadi 12% yang diterapkan paling lambat pada Januari 2025. Kenaikan tarif dari 11% menjadi 12% secara otomatis menaikkan harga barang, yang berdampak langsung pada daya beli, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
Banyak yang menilai kenaikan ini kurang mempertimbangkan kondisi masyarakat yang masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Tingginya biaya hidup akibat inflasi, pemulihan pasca-pandemi, dan rendahnya kenaikan upah menambah beban masyarakat. Alih-alih merespons dengan kebijakan yang meringankan, kenaikan PPN justru menambah tekanan.
Dalam konteks ini, frugal living menjadi lebih dari sekadar gaya hidup. Ini adalah cara masyarakat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang mereka anggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Pesan yang tersirat jelas: jika pemerintah menaikkan pajak, maka masyarakat akan berhemat hingga konsumsi berkurang drastis yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan negara.
Seruan ini juga menunjukkan bahwa masyarakat merasa tidak mendapatkan timbal balik yang setimpal atas pajak yang mereka bayar. Jika layanan publik, kesejahteraan sosial, dan transparansi pengelolaan anggaran tidak membaik, maka seruan frugal living akan semakin menguat sebagai bentuk kritik sosial.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN sebenarnya dapat dimaklumi jika digunakan untuk mendanai program-program yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, banyak masyarakat yang meragukan efektivitas alokasi dari dana ini, mengingat masih adanya praktik korupsi, inefisiensi, dan rendahnya kualitas layanan publik.
Kritik utama terhadap kenaikan PPN adalah ketimpangannya. Pajak ini bersifat regresif, artinya membebani masyarakat berpenghasilan rendah lebih berat dibandingkan kelompok kaya. Hal ini menciptakan kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan stabilitas anggaran negara daripada kesejahteraan rakyatnya.
Jika tren frugal living terus berkembang sebagai respons atas kenaikan PPN, efeknya tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Penurunan konsumsi rumah tangga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, menekan sektor usaha, dan bahkan mengurangi penerimaan pajak yang diharapkan dari kenaikan PPN itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, jika masyarakat merasa tidak diwakili dalam kebijakan fisikal, risiko ketidakpuasan sosial dapat meningkat. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menciptakan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah, yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan ekonomi negara.
Dengan demikian pemerintah perlu menjawab kecaman ini dengan kebijakan yang lebih adil dan mendukung, sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan anggaran negara. Jika tidak, maka frugal living bisa berkembang menjadi bentuk resistensi ekonomi yang merugikan semua pihak, termasuk pemerintah itu sendiri. Sebuah negara tidak hanya membutuhkan penerimaan pajak, tetapi juga kepercayaan rakyat sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.