Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Review Film Semesta Karya Nicholas Saputra
8 Oktober 2021 20:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari tasya kania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang paling dekat dengan kata Indonesia selain alamnya? Ialah kebudayaan dan kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Kedua hal tersebut menggambarkan Indonesia secara utuh, karena Indonesia bukan sekadar Jakarta, Bali, dan Jawa. Akan tetapi, Indonesia berbicara tentang keberagamannya.
Sebuah film dengan judul Semes7a (dibaca Semesta) produksi Tanakhir Films berkisah tentang bagaimana campur tangan kebudayaan dan kepercayaan membuat alam menjadi lebih ‘waras’.
Film Semesta juga menjadi salah satu film dokumenter panjang yang dibentangkan di layar bioskop Indonesia pada tahun 2020 silam. Dengan durasi 1,5 jam, film ini menyuguhkan bukti nyata Indonesia melalui sudut pandang kebudayaan dan kepercayaan dalam memelankan krisis iklim.
Film Dengan Isu Perubahan Iklim Tidak Selalu Menyorot Kerusakan Alam
Ada yang berbeda dari film Semesta dengan film dokumenter bertema perubahan iklim lainnya, karena Semesta akan mengajak kita menjelajah tujuh wilayah Indonesia lengkap dengan alam, tradisi, hingga berbagai cara yang dilakukan tujuh tokoh protagonis dalam film ini untuk menghormati dan merawat alam melalui iman dan kepercayaan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Di permulaan cerita, penonton akan diguyur dengan suasana Bali yang dituntun oleh Tjokorda Raka Kerthyasa, yang tentunya bukan bicara mengenai keindahan laut dan kepopuleran Bali di mata asing. Namun, Tjokorda membantu membuka mata manusia untuk melihat ritual Nyepi sebagai waktu ‘tidur siang’ bagi alam untuk beregenerasi.
“Saat Nyepi-lah alam mengadakan pembenaran diri sementara. Walaupun, hanya satu hari dalam setahun, itu memberi dampak,” ungkap Tjokorda dalam film.
Selanjutnya, cerita mengalir ke arah Sungai Utik, Kalimantan Barat. Di sana masyarakat adat menjaga dan mengelola hutan-hutan terbaik dunia. Melalui sebuah petuah nenek moyang Suku Dayak Iban, yang menyebutkan siapa pun yang tinggal di hutan tersebut maka isi dari alam (hutan) milik masyarakat adat yang menempatinya. Maka dari itu, mereka harus mempertahankan isinya.
ADVERTISEMENT
Selain petuah nenek moyang, ada juga satu kalimat yang digenggam oleh Suku Dayak Iban yaitu, “Tanah adalah ibu dan air adalah darah.”
Tujuh kata itu ditanam dalam hati dan jiwa mereka untuk dijadikan peringai dalam menjaga alam teritorialnya.
“Baik manusia, baik alam. Buruk manusia, buruk alam..”
Semesta tidak hanya menawarkan keindahan sinematografi Indonesia, tetapi sentuhan emosi dari cerita para tokohnya pun dapat menggerakkan penonton untuk merenungkan apa saja yang sudah mereka lakukan untuk memelankan krisis iklim.
Bicara menunda laju krisis iklim itu tidak memandang siapa yang bergerak. Seperti yang dilakukan oleh Pastor Katolik dan masyarakat NTT, yang memilih untuk memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) untuk menjadi solusi penyediaan listrik di lima desa pedalaman NTT.
ADVERTISEMENT
Solusi ini juga menjadi gagasan untuk memanfaatkan potensi air yang melimpah dan mengurangi polusi yang disebabkan oleh generator berbahan bakar solar.
Kemudian, cerita ini juga berlari ke sudut pandang mama-mama Papua, tepatnya di Kapatcol, Papua Barat. Di sana kelompok Wanita Gereja Lokal Papua mengadakan tradisi Sasi untuk membuat hasil laut tidak surut secara cepat oleh keserakahan manusia. Selain itu, tradisi ini memberikan napas bagi biota laut untuk beregenerasi.
Sasi juga dianggap sebagai tabungan laut menurut Amina Kacili, “Dengan adanya sasi seperti ada tabungan. Walau, tidak ada uang.”
Setelah cerita dari Timur, Semesta juga membawa kisah dari Barat. Memperlihatkan bagaimana masyarakat Pameu, Aceh yang ladang dan kebunnya rusak karena gajah liar dari hutan turun ke desa.
ADVERTISEMENT
Namun, dari kasus tersebut membuat masyarakat desa menuruti berdamai dengan alam untuk lebih saling mengenal dan saling memahami.
Dari semua kisah di atas, Semesta memberikan pandangan dan solusi penunda laju akibat krisis iklim melalui usaha-usaha kecil yang tentunya dapat mengalir kepada orang lain. Seperti cerita dari Yogyakarta yang meniti dari praktik kolaborasi permakultur dan thayyib, untuk berfokus pada hubungan timbal balik antara manusia dan alam.
Di menit-menit terakhir, Semesta ditutup dengan cerita dari ibukota yang menyinggung sebuah kebun urban di tengah Kota Jakarta sebagai solusi untuk masyarakat kota agar tidak terputus dengan alam dan juga menghargai setiap senti lahan di perkotaan yang bisa menjadi sumber kehidupan yang segar ketika dimanfaatkan untuk alam.
ADVERTISEMENT
Memahami Alam dalam Naungan Budaya dan Kepercayaan
Melalui film Semesta, dari tujuh kisah dan tujuh budaya membuktikan kepada manusia ketika nilai budaya, dorongan agama, dan kearifan lokal yang berbeda dapat menjaga kelestarian alam.
Cara-cara sederhana dalam ketujuh cerita ini berfokus dalam penggambaran kebersamaan dan kerendahan hati manusia untuk tidak serakah pada alam, karena menekan laju krisis lingkungan itu tergantung dengan cara manusia menghormati alam.
Sehingga, alam, kebudayaan, dan kepercayaan adalah campur tangan sempurna untuk mengenal dan memahami alam semesta karena dalam prosesnya membutuhkan keikhlasan, kepasrahan, kepekaan terhadap sekitar, hingga kesabaran.
Film Semesta juga bisa menjadi pilihan tontonan bagi siapa pun yang sedang merindukan kebersamaan, tradisi, hingga alam Indonesia, karena permasalahan krisis iklim ini dibungkus dengan sudut pandang yang lebih segar dan ringan dengan vibrasi keberagaman Indonesia.
ADVERTISEMENT