Mengapa Saya Menolak Pembinaan TWK KPK?

Tata Khoiriyah
Mantan pegawai KPK
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2021 7:53 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
108
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tata Khoiriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perjalanan saya menjadi Pegawai KPK yang disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang melanggar HAM dan maladministrasi, menghadapi situasi yang dilematis. Pasalnya saya termasuk salah satu yang dianggap Pimpinan KPK dan Pimpinan 5 lembaga lainnya, kelompok yang masih bisa dibina. Informasi ini disampaikan Pimpinan KPK Alexander Marwata melalui konferensi pers tanggal 25 Mei 2021 di Kantor BKN. Bersamaan dengan pengumuman tersebut, Pimpinan juga menginformasikan bahwa yang tersisa dari 75 pegawai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) tidak bisa dibina karena labelnya merah. Sehingga mereka tidak bisa menjadi pegawai KPK lagi, dan akan diberhentikan 1 November 2021.
ADVERTISEMENT
Anehnya, sesaat setelah saya dihubungi oleh Plt. Biro SDM KPK terkait tawaran pembinaan, saya tidak merasakan bahwa tawaran pembinaan tersebut adalah anugerah. Tidak sedikit pun ada perasaan diselamatkan apalagi beruntung. Dada saya justru merasa sesak karena menahan rasa marah yang luar biasa hebatnya. Bahkan saya tak lagi mampu menahan air mata di tengah forum webinar di mana saya sedang menceritakan pengalaman saya di-TMS-kan lewat TWK yang kontroversial. Perasaan marah tersebut masih diingat betul oleh saya hingga hari ini.
Apa yang membuat saya merasa marah dengan tawaran pembinaan tersebut? Saya beranggapan bahwa tawaran tersebut adalah bentuk pengelabuan dan penghinaan yang luar biasa atas akal sehat, matinya moralitas, pembangkangan hukum serta pembiaran terhadap sejumlah pelanggaran. Saya mencoba untuk menceritakan sekelumit perjalanan hidup menghadapi situasi yang galau. Mencoba memaknai ulang sebuah keputusan yang sudah diambil dan mengambil pelajaran atas penolakan pembinaan tersebut.
ADVERTISEMENT

Pembinaan Mendelegitimasi Institusi Pendidikan Wawasan Kebangsaan Sebelumnya

Mari kita mulai dengan fakta bahwa 7 dari 12 penyidik dalam barisan 75 pegawai KPK yang berstatus TMS adalah mantan anggota kepolisian. Jejak catatan pendidikan mereka beragam, kebanyakan alumni Taruna Nusantara, lulusan Akpol (yang konon lulus yang sangat dihormati di jajaran kepolisian), dan bertahun-tahun merintis karier di Kepolisian. Tujuh penyidik tersebut memutuskan berhenti dari status kepolisian mereka di saat KPK menghadapi salah satu krisis besar yang dicatat sejarah sebagai peristiwa Cicak Vs Buaya jilid II.
Krisis Cicak Vs Buaya jilid II ini terjadi saat KPK tengah menangani kasus korupsi pengadaan simulator SIM pada tahun 2012. Tujuh penyidik Polisi yang dipekerjakan di KPK memutuskan mundur dari jabatan Polisi untuk menjadi Penyidik Independen KPK. Hasil TWK yang menyebutkan tujuh penyidik KPK mantan polisi Tidak Memenuhi Syarat untuk menjadi ASN KPK secara tidak langsung mendelegitimasi pendidikan wawasan kebangsaan yang dilakukan lembaga pendidikan dan Institusi kerja mereka sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi pendidikan diklat dasar yang harus diikuti oleh seluruh pegawai tetap KPK sebelum mulai bekerja. Pendidikan diklat tersebut dilakukan bekerja sama dengan Institusi Kepolisian, Kopassus, BAIS TNI AD dan institusi lainnya. Pendidikan diklat tersebut juga menyertakan pendidikan Wawasan Kebangsaan. Saya sendiri dinyatakan lulus dalam pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Kopassus Batujajar pada tahun 2017 silam.
Dua orang dalam jajaran 75 pegawai yang berstatus TMS pernah mencalonkan diri sebagai calon Pimpinan KPK pada tahun 2019. Salah satu tahapan dalam proses seleksi capim KPK adalah tes anti-radikalisme yang diselenggarakan oleh TNI AD dan BNPT. Kedua orang tersebut dinyatakan lolos dan masuk dalam jajaran 20 besar yang diajukan pansel kepada Presiden Jokowi. Untuk sejenak, kita harus bertanya mengapa kedua orang tersebut bisa lolos tes anti-radikalisme dalam proses seleksi capim, tapi tidak lolos dan bahkan dinyatakan label merah lewat TWK alih status pegawai?
Dokumentasi pribadi saat mengikuti pendidikan dasar (induksi) di Kopassus Batujajar tahun 2017
TWK yang Serba Rahasia
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta yang disampaikan di atas, 11 pegawai KPK yang TMS mengajukan permohonan informasi kepada PPID KPK untuk meminta hasil TWK sebagai bahan perbaikan dan informasi bagi pegawai masing-masing. Bagi saya sendiri, informasi TWK tersebut juga menjadi bahan pertimbangan sikap apa yang diambil atas tawaran pembinaan tersebut. Sayangnya, hingga hari ini pihak-pihak yang terlibat (KPK dan BKN) menyatakan bahwa informasi hasil TWK pegawai KPK adalah rahasia negara. Bahkan dasar hukum yang dijadikan acuan penetapan MS dan TMS pun juga masuk dalam kategori rahasia negara!
Akal sehat kami pun bertanya-tanya. Mengapa hasil TWK dalam tes CPNS bisa sedemikian terbuka dan realtime, tapi tidak dengan hasil TWK alih status pegawai KPK? Seberbahaya apakah informasi tersebut sehingga peserta tes tidak memiliki kesempatan untuk sekadar mengakses atau bahkan mendokumentasikannya?
ADVERTISEMENT
Fakta pelabelan ‘merah’ pada 51 pegawai KPK yang berstatus TMS bagi saya adalah sebuah penghinaan. Berdasarkan informasi yang saya dapat, dari hasil koordinasi diputuskan 24 pegawai masih bisa dibina, sedangkan 51 pegawai tidak bisa dibina berdasarkan hasil nilai TWK dan beberapa indikator yang dipergunakan. Mengapa hasil TWK tersebut bisa diakses oleh pihak-pihak lain yang justru beberapa di antaranya tidak terlibat dalam proses alih status? Mengapa mereka dianggap berhak memutuskan nasib 75 pegawai.
Atas dasar dan pertimbangan indikator seperti apa yang membuat 24 ini masih bisa dibina sedangkan 51 pegawai lainnya tidak bisa? Di kemudian hari kami hanya bisa mentertawakan nasib karena faktanya koruptor saja masih punya kesempatan dibina bahkan digandeng menjadi ‘Agen Antikorupsi’. Sedangkan 51 pegawai tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk berbenah dan memperbaiki diri.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk membagi kelompok 24 pegawai dapat dibina dan 51 pegawai tidak bisa dibina diambil setelah Presiden Jokowi memberikan arah pada tanggal 17 Mei 2021. Pernyataan tersebut masih bisa kita cari jejak digitalnya. Saya menggarisbawahi penyataan beliau:
Apakah ada pembaca yang bisa menjelaskan, dasar apa yang dipergunakan oleh Pimpinan KPK dan Pimpinan 5 lembaga lainnya hanya memberi kesempatan pada 24 pegawai bisa dibina, sedangkan 51 pegawai lainnya diberhentikan karena label merah tanpa ada penjelasan sedikit pun? Penyataan Presiden pada 17 Mei lalu seolah tidak digubris. Diabaikan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tidak ada penjelasan mengapa ada pembagian tersebut? Apa saja yang membuat seseorang masuk dalam indikator hijau, kuning dan merah tanpa ada mekanisme pembuktian dan sanggahan dari masing-masing peserta? Rasanya saya dan kawan-kawan 58 seperti diadili secara sepihak, tanpa ada penjelasan dan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
Pimpinan atau pegawai KPK yang melanggar kode etik, mendapat kesempatan untuk dimintai keterangan oleh Dewan Pengawas. Mereka diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan pembuktian yang meringankan sebelum akhirnya diputuskan oleh majelis hakim. Saya dan teman-teman 58 bertanya, mengapa kami tidak mendapatkan kesempatan yang sama? Padahal hasil TWK kami bukanlah bentuk pelanggaran etik.
Berpose sebelum meninggalkan Gedung Merah Putih KPK di hari terakhir berstatus pegawai KPK
Kinerja Bertahun-Tahun Tidak Sebanding dengan Label Merah
Fakta lain yang menjadi pertimbangan saya adalah kenyataan bahwa kontribusi 51+7 orang pegawai KPK yang berstatus TMS selama ini sama sekali tidak dianggap. Ada Pak Hotman Tambunan, Pak Sujanarko, Pak Chandra, dll yang telah belasan tahun mengabdi di KPK. Mereka generasi pertama yang membangun system KPK dari nol. Dari KPK yang hanya memiliki anggaran hanya Rp 109 sekian juta, hingga kini anggaran KPK yang mencapai Rp 1,3 T.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Novel Baswedan yang telah mewakafkan sebelah matanya sebagai konsekuensi bekerja memberantas korupsi? Atau seorang penyidik yang pernah mengalami teror mobilnya disiram air keras saat menyidik kasus rekening gendut kepolisian? Semua hal telah dipersembahkan baik waktu, tenaga, pikiran bahkan anggota tubuh, kepada kerja-kerja pemberantasan korupsi. Namun secara tiba-tiba semua hal tersebut menjadi tidak sebanding dengan hasil TWK yang tidak memenuhi syarat. Tes selama 2 hari yang menafikan kinerja bertahun-tahun.
Bagaimana dengan prestasi sejumlah pihak dalam kerja-kerja penindakan? Puluhan koruptor yang sudah ditersangkakan, trilyunan uang negara yang diselamatkan dari para maling uang rakyat, atau bahkan rasa keadilan yang dirasakan rakyat kecil ketika Pejabat yang menggarong jatah bansos akhirnya dapat dihukum dan dimintai pertanggungjawaban. Semua itu tidak menjadi hal yang meringankan barisan 58 untuk mendapat kesempatan yang sama untuk dibina.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan dua orang pramubhakti di barisan 58 pegawai yang diberhentikan. Sehari-harinya mereka sekadar menjalankan rutinitas yang telah ditugaskan kepada mereka. Memastikan bahwa gelas bersih tetap tersedia di pantry. Sesekali dimintakan bantuan untuk memindahkan barang, atau menata ruangan untuk sesuatu hal. Mereka tidak tahu menahu jawaban apa disaat wawancara dengan assessor yang membuat mereka dicap tidak pancasilais, tidak netral, atau bahkan dituduh radikal. Tentu pembinaan buat mereka lebih dari sekadar harapan bisa menyambung hidup dari bulan ke bulan. Tapi juga kepastian apakah mereka bisa memperpanjang sewa kontrak untuk sekadar berlindung keluarga yang menjadi tanggungannya. Mereka bahkan tidak bisa menjelaskan apa keanehan TWK yang sejak awal tidak transparan dan akuntabel.

TWK Dinyatakan Maladministrasi dan Melanggar HAM

Soal keanehan penyelenggaraan TWK yang berulang disuarakan oleh banyak pihak, perwakilan 58 pegawai KPK mencoba melaporkan sejumlah temuan dan bukti kepada ORI dan Komnas HAM. Saya bersyukur bahwa hasil penyelidikan ORI keluar tepat sesaat saya harus menjawab kesediaan pembinaan tersebut. Konferensi Pers ORI yang menyatakan bahwa ditemukannya maladministrasi dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK. Kesimpulan maladministratif tersebut didapatkan dari fakta bahwa penyelenggaran alih status pegawai KPK ditemukan penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan assessment, dan sejumlah pengabaian. Dari sejumlah temuan tersebut hal yang menjadi sorotan adalah dokumen kerja sama antara KPK-BKN tertanggal back date.
ADVERTISEMENT
Dalam penanganan perkara, apabila penyidik KPK menemukan dokumen yang tertanggal mundur, biasanya dokumen tersebut menjadi red flag yang menandakan ada yang tidak beres di dalamnya. Perlu ditelusuri apakah ada niat atau kesepakatan jahat yang mengiringinya. Tentu hal ini menjadi ironis, ketika dokumen perjanjian kerja sama KPK-BKN justru berstatus back date. Belakang Wakil pimpinan KPK Nurul ghufron mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya dokumen perjanjian kerja sama (PKS) tersebut tidak dipergunakan.
Lantas, penyelenggaraan TWK alih status pegawai KPK kemarin menggunakan payung hukum yang mana? Tidak ada dokumen lain yang menyatakan pembatalan PKS antara KPK-BKN. Apakah PKS yang back date tidak bisa menjadi bukti kuat bahwa sebenarnya rencana TWK tidak dipersiapkan dengan baik dan diputuskan secara tiba-tiba?
ADVERTISEMENT
Karena poin-poin pertimbangan itulah yang akhirnya menguatkan saya untuk memutuskan menolak tawaran pembinaan. Apalagi setelah saya menyatakan penolakan, Komnas HAM mengumumkan bahwa ditemukan 11 pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan alih status pegawai KPK melalui TWK. Bulat sudah kesimpulannya. TWK tersebut cacat secara hukum karena maladministrasi dan melanggar HAM.
Sesaat setelah melaporkan dugaan maladministrasi bersama kuasa hukum di kantor ORI
Bukannya MA dan MK sudah memutuskan bahwa TWK adalah sah? Mungkin perlu diluruskan dan terus disuarakan penjelasan terkait hal ini. MA dan MK sudah memutuskan bahwa TWK itu sah secara norma. Tapi penyelenggaraan dan hasil TWK bukanlah ranah MA dan MK melainkan diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Di satu sisi, ORI dan Komnas HAM menyatakan bahwa penyelenggaraan TWK alih status pegawai KPK adalah maladministrasi dan melanggar HAM.
ADVERTISEMENT
Mengutip penjelasan Pak Hotman Tambunan di Twitter pada 3 Oktober lalu, setiap lembaga itu punya kewenangan masing-masing. KPK berwenang menyelenggaran TWK. Tapi dalam pelaksanaannya tidak boleh menyalahgunakan wewenang. Analoginya, KPK berwenang berwenang melakukan penyidikan tipikor. Tapi dalam melakukan penyidikan, KPK tidak boleh mengintimidasi, menyiksa atau melanggar peraturan selama memeriksa saksi. Jika hal tersebut terjadi, maka hasil penyidikannya tidak sah. Dalam hal pelaksanaan TWK alih status pegawai KPK, ORI dan Komnas HAM sudah menyimpulkan cacat hukum.
Ketidakadilan dan pelanggaran hukum inilah yang terus disuarakan. Bukan persoalan pekerjaan semata yang diperjuangkan. Tapi hilangnya ruh pemberantasan korupsi di tubuh KPK sendiri. Tidak ada maksud bersikap heroik dengan memutuskan menolak pembinaan. Tapi sebuah sikap dan kesadaran melawan ke-madhorot-an yang lebih besar meskipun ada harga yang dibayar.
ADVERTISEMENT
Jadi apabila saya ditanya kembali hari ini, apakah saya menyesal menolak pembinaan? Tentu saja tidak. Meski sebelumnya keluarga, orang-orang terdekat, rekan kerja, Sekretaris Jenderal, bahkan Pimpinan Nurul Ghufron membujuk saya untuk menerima tawaran tersebut. Saya tidak bisa membayangkan menanggung beban perasaan bersalah telah menutup mata atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pimpinan KPK. Tidur pun tak nyenyak karena ada 57 rekan yang suaranya lebih kencang dari toa aksi massa bayaran yang kerap kali berkunjung ke Gedung Merah Putih.