Menjadi Duta Lewat Sikap dan Perilaku

Tatang Muttaqin
Fellow di Groningen Research Centre for Southeast Asia and ASEAN.
Konten dari Pengguna
5 Mei 2020 5:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tatang Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjadi Duta Lewat Sikap dan Perilaku
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis merupakan anggota James Coleman Associations, menyelesaikan PhD di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda dan Executive Education di Harvard University, Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan keterampilan dalam mengolah data, suatu ketika saya ikut bergabung dalam suatu kegiatan Data Analysis dari berbagai negara yang bertempat di Kota Warsawa, Polandia, tepat di akhir Ramadhan. Ramadhan di negeri yang jarang sekali umat Islamnya tentu terasa lain, apalagi jika dikumpul dalam suatu kegiatan dan tinggal bersama. Kegiatan baru selesai sepekan setelah hari raya Idul Fitri sehingga saya pun tak merasakan suasana Lebaran, berkumpul bersama anak dan istri.
Penduduk Polandia sebagian besar atau mencapai 96 persen beragama Katolik Roma dengan etnis tunggal Polski yang mencapai 97 persen. Di saat perang dunia kedua berkecamuk di Eropa, Polandia menjadi negara paling luluh lantah karena menjadi medan pertempuran paling sengit antara tentara NAZI Jerman dengan tentara Beruang Merah, Uni Soviet, yang merenggut sekitar 6 juta rakyat Polandia tewas. Perang akhirnya dimenangkan Uni Soviet sehingga Polandia menjadi Republik Komunis dalam barisan Blok Timur dengan kesepakatan Pakta Warsawa yang menjadi kerja sama militer negara-negara Eropa Timur untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari aliansi Altantik Utara (NATO). 
ADVERTISEMENT
Kini Pakta Pertahanan Warsawa telah tumbang seiring dengan memudarnya kekuasaan negara adidaya, Uni Soviet. Kesepakatan pertemuan di kota Praha pada pertengahan tahun 1991 merupakan awal runtuhnya Uni Soviet yang bersamaan dengan dirobohkannya tembok Berlin sebagai pertanda bersatunya kembali kembali Jerman Timur dan Jerman Barat.
Sebagaimana negeri di Eropa Timur pada umumnya, persentuhan warga Polandia dengan Islam sangat terbatas, sehingga lebih merasa asing dibanding dengan persentuhan Islam di Eropa Barat. Persentuhan dalam beragam kesempatan lintas-bangsa secara sekilas membuktikan pesan Ilahi, saling mengenal (taaruf) dan juga peribahasa: Tak kenal, maka tak sayang.
Setiba di Hotel Falenty tempat kami bekerja dan menginap, saya mendapat kamar berdua dengan peneliti lembaga Riset Polandia, bernama Andreanoviska. Sebagaimana lazimnya kegiatan di beragam negeri Eropa selalu diawali dengan pesta perkenalan bersama. Diawali dengan minum dan makan bersama, kalau di Groningen terkenal dengan acara pekanan Borel alias “minum wine atau bir bersama." Borel ini ditujukan untuk mengurangi kepenatan bekerja sepekan sekaligus menjalin keakraban. Kebetulan acara pembukaan berlangsung di musim panas. dan udara mendukung sehingga acara dilakukan di luar sekaligus panitia menjadikannya sebagai pesta barbeque.
ADVERTISEMENT
Kami semeja berlima, saya dan empat lainnya peneliti Polandia. Karena saya tak mengambil beragam daging bakar yang tersedia, mereka menganggap saya sebagai vegetarian, suatu yang cukup lazim di Eropa Timur dan Eropa Barat. Namun mereka cukup terheran ketika semuanya bergantian dalam antrean memilih beragam minuman penghangat yang beralkohol dan dikenal berkualitas aduhai, saya berulang hanya mengambil jus jeruk.
Beberapa kali mereka menawarkan beragam minuman yang katanya sangat sensasional dan maknyus. Baik buatan Eropa maupun minuman berpenghangat yang secara khusus diimpor dari Amerika Latin. Tentu saya tak mencicipinya, dan cukup menyampaikan saya tidak merokok dan minum yang beralkohol. 
Usailah pesta ice-breaking, kami berjalan-jalan menyusuri pinggir danau yang asri dengan udara musim panas yang terasa sangat nyaman sehingga tak terasa sudah cukup malam sekalipun masih terang. Saat musim panas tersebut, matahari di Polandia baru terbenam sekitar jam 23.00, lebih lambat dari Belanda yang sekitar jam 22.00. Tepat pukul 22.30, saya pamit duluan untuk menyiapkan diri acara besok hari yang cukup padat, bahkan relatif lebih panjang dibanding irama kerja di kampus. 
ADVERTISEMENT
Selama sekamar dengan saya, Andreanoviska mengamati perilaku saya yang bangun dini hari sekitar jam 3.15 sebagaimana jadwal subuh di Groningen yang nampaknya keliru karena sekalipun jamnya sama namun terbit dan terbenamnya matahari di Polandia selisih 1 jam lebih sehingga seharusnya subuh jam 2.30. Tak bisa menahan keheranannya, Andreanoviska bertanya: "Setiap dini hari, kamu bangun ke kamar mandi terus seperti melakukan gerakan-gerakan dan lalu tidur kembali. Apa yang kamu kerjakan tiap malam tersebut?".
Saya jelaskan: Saya bangun untuk salat atau berdoa. 
"Memang agama kamu apa?" tanyanya berkerut
Saya jawab: Agama saya Islam. 
Jawaban biasa ini ternyata cukup membelalakkan mata Andreanoviska. Mungkin bagi Andreanoviska yang nyaris tak pernah bersentuhan dengan orang Islam secara dekat merasa terkejut. Di samping ada raut muka terkejut, Andreavoviska juga tak bisa menutupi kecurigaannya terhadap saya yang beragama Islam. Obrolan tersebut menjadi semacam obrolan perpisahan karena paginya Andreanovista sudah mengepak koper dan pamitan tak kembali tidur sekamar. Dia beralasan mau tidur di rumah agar bisa sekalian ke kantor untuk menyelesaikan pencetakan laporan.
ADVERTISEMENT
Nampaknya, persentuhan Islam dengan Eropa Timur agak sedikit mirip dengan Asia Timur sebagaimana pengalaman saya beberapa tahun sebelumnya sewaktu mengikuti pelatihan di Jepang dan juga Korea Selatan. Terbatasnya interaksi saat itu, membuat mereka tak cukup mengenal dekat dengan orang-orang beragama Islam kecuali dari berita yang secara umum tidak bersahabat dan sering disalahpahami, serta stigmatik. Untuk Asia Timur, saat ini sudah mengalami perubahan besar dengan semakin tinggi interaksi mereka dengan orang-orang Islam, terutama melalui kunjungan wisatawan Timur Tengah ke Jepang dan Korea Selatan.
Fakta tersebut berbeda dengan Eropa Barat, di mana banyak umat Islam yang bermigrasi atau sekolah di sana sehingga seterbatasnya perkenalan orang di Amerika Serikat, Inggris, atau Australia yang di kota besar masih sedikit punya pemahaman interaksi dengan Muslim sehingga relatif lebih ramah. Tak aneh juga, jika dengan mudah ditemui masjid di belahan negara tersebut, sekalipun untuk di permukiman pinggiran yang didominasi penduduk lokal tetap masih dirasa asing.
Kenyataan tersebut menyiratkan pesan kepada kita semua bahwa semua orang merupakan duta agama yang dianutnya. Oleh karena itu, sebagai Muslim kita juga dituntut mengenalkan wajah Islam ke berbagai belahan dunia dengan sikap dan perilaku kita. Menjadi duta yang baik adalah dengan akhlak yang baik yang membuat banyak orang merasa aman dan penuh respek (pikabitaeun), termasuk saat menjadi pribumi perlu menyebarkan kedamaian dan mengayomi kepada orang yang berbeda atau asing, termasuk keyakinan yang kita tak tahu. Kehidupan itu bertimbal balik (resiprokal), jika kita penuh respek dan toleran terhadap keragaman maka akan berkembang juga toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan kita. Sebagai pendatang kita patut mengikuti peribahasa: di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
ADVERTISEMENT
Maha benar Allah SWT, yang jauh hari menyampaikan pesan agung yang popular di telinga kita: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling taqwa". (Al-Hujuraat: 13). Wallahu’alam. [***]