Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Napak Tilas Jejak Kejayaan Imperium Usmani
10 Mei 2020 13:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Tatang Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Turki merupakan negara dengan penduduk Muslim yang paling banyak jumlah kunjungan wisatawannya. Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2019 mencapai 51,9 juta (Turkish Statistical Institute, 2020). Adapun kota yang paling banyak dituju oleh para turis adalah Istanbul yang mencapai 15 juta kunjungan.
ADVERTISEMENT
Konstantinopel, sebelum berganti menjadi Istanbul merupakan kota yang tua yang sangat bersejarah sebagai ibu kota imperium Romawi Timur (Byzantium). Letak Konstantinopel yang sangat strategis karena berada di antara Benua Eropa dan Asia, juga antara Laut Marmara dan Golden Horn menjadi episentrum dunia sehingga menjadi kekaisaran terkaya di Eropa dan Asia Barat yang melampaui pamor kembarannya, Romawi Barat yang berpusat di Roma. Pada tahun 1453, Turki Usmani di bawah kepemimpinan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II) menaklukan Kota Konstantinopel, dan mengubahnya menjadi Istanbul. Dengan demikian, ada empat imperium yang pernah berkuasa di wilayah ini: Romawi, Romawi Timur, Latin dan Turki Utsmani.
Imperium Usmani mampu bertahan selama enam abad, di mana era pemerintahan Sulaiman I (1520-1566) merupakan puncak kejayaannya sehingga cengkraman kekuasaannya membentang dari Asia, Afrika dan Eropa. Menurut Rogan (2015) dalam The Fall of the Ottomans, di masa Sulaiman, Imperium Usmani merangsek sampai ke pintu masuk Kota Wina (kini Austria) sehingga melahirkan ketakutan di seluruh Eropa.
Di penghujung abad ke-19, Imperium Usmani mulai mengalami titik balik dengan lepasnya negara-negara Balkan seperti: Romania, Serbia, Montenegro dan otonomi untuk Bosnia, Herzegovina dan Bulgaria. Sementara itu, beberapa kekuatan dunia, seperti: Inggris Raya, Perancis, dan Russia mulai menggerogoti wilayah kekuasaan Usmani dengan mengambil alih Ciprus dan Mesir, Tunisia, serta negara-negara Kaukasus. Dalam Perang Dunia Pertama, Imperium Usmani berkolaborasi dengan Kekaisaran Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia yang juga semakin melemahkan kedigjayaan Usmani.
ADVERTISEMENT
Tekanan dan kekalahan berperang dengan negara lain merontokkan kewibawaan Usmani sekaligus melahirkan perlawanan dari dalam. Perlawanan dari dalam mencapai klimaknya, saat sidang Majelis Nasional Agung pada bulan Februari 1924, memutuskan menghilangkan posisi khalifah dan memaksa Abdul Majid II beserta keluarganya mengungsi ke Swiss. Ini menjadi akhir Imperium Usmani yang telah berkuasa lebih dari enam abad untuk berakhir pada 3 Maret 1924 dan berganti menjadi Republik Turki.
Perubahan besar lanskap politik tersebut tak serta merta membuat Turki, wabilkhusus Istanbul mengalami kemajuan. Penulis beken yang meraih Nobel Kesusasteraan, Orpan Pamuk dalam buku bertajuk Istanbul: Memories and the City (2003) menyebutkan bahwa tak banyak kemajuan yang terjadi, Istanbul yang pernah menjadi rebutan karena kemakmuran dan letaknya yang strategis mulai diabaikan seiring bubarnya Usmani. Kegemilangan Istanbul memudar dan menjadi lebih miskin, kumuh dan terasing sehingga masyarakatnya hidup dalam kemiskinan ditemani kenangan era kejayaan.
Sejarah panjang Istanbul yang melegenda dengan beraneka versi menjadikannya sebagai destinasi wisata. Pucuk dicinta, ulam tiba, De Groningen Moslem Society (De Gromist) mengadakan rihlah bersama ke Istanbul dan tanpa berpikir panjang saya sekeluarga ikut mendaftar. Prosesnya serba online dan relatif cepat sehingga akhirnya kami berangkat ke Istanbul dari Bandara Eindhoven, Belanda.
ADVERTISEMENT
Setiba di pusat kota, nampak beraneka bangunan tua peninggalan sebuah peradaban besar yang pernah ada. Empat imperium dunia, sekaligus pergeseran tradisi Kristen, Islam dan kemudian tradisi sekuler terwakili dengan lokasi pertama dikunjungi, Hagia Sophia. Hagia Sophia yang dibangun atas perintah Kaisar Justinius I (527–565) sekitar tahun 532–537 merupakan gereja yang bermakna Gereja Kebijaksaan Suci Tuhan, the church of the Holy Wisdom of God terjemahan ho naos tēs Hagias tou Theou Sophias (Detorakēs, 2004). Saat penaklukan, 29 Mei 1453, Sultan Mehmed II masuk dan bersujud serta mengubahnya menjadi mesjid sampai Republik Turki menjadikannya sebagai museum.
Hagia Sophia terlihat mencolok dengan kubahnya yang besar yang dikelilingi delapan kubah kecil. Penampakan dari jauh begitu megah dengan warna yang khas, dan ketika masuk di lantai dasar, kita akan melihat keindahan pilar-pilar penopang dengan ukiran artistik yang sangat detail. Prinsip mengalahkan yang dibarengi perawatan nampak ketika kita menatap bagian kubah, kombinasi yang tidak lazim, di mana kaligrafi lafadz Allah dan Muhammad yang bagian tengahnya terpampang gambar Yesus. Di dalam ruangannya dihiasi dengan lampu-lampu yang berkarakter namun tak terlalu gemerlap sehingga menambah megah dan memberi kesan romantis. Tepat di depan Hagia Sophia, ada Mesjid Biru yang besar dan megah.
Antrean situs selanjutnya terletak tepat di barat daya Hagia Sophia, Basilica Cistern (Yerebatan Sarnici) yang merupakan objek wisata sekaligus landmark Istanbul. Lokasinya berada di bawah tanah seluas hampir 1.000 meter yang memiliki jumlah pilar sebanyak 336 pilar. Masing-masing pilar tingginya sekitar sembilan meter. Di dalamnya, kita bisa menikmati indahnya pilar-pilar yang terbuat dari batu marmer yang berada di atas permukaan air. Pilar-pilar tersebut tertata dengan sangat apik dan beraturan, di mana ada 12 baris pilar dan di tiap baris terdiri dari 28 pilar yang masing-masing memiliki jarak sekitar 4,8 meter. Langit-langit dibuat melengkung menghubungkan puncak satu pilar dengan yang lainnya. Dengan banyaknya jumlah tiang yang tinggi menjulang, menjadikan Basilica Cistern ini menyerupai istana sehingga dikenal The Sunken Palace.
ADVERTISEMENT
Terdapat lokasi yang menarik dan menjadi ajang berfoto. Pertama, tiang yang di bagian dasarnya terdapat pahatan yang membentuk kepala mitologi Medusa. Kedua, Pilar Menangis (Crying Pillars) yang katanya dibangun untuk mengenang pekerja yang tewas saat proses pembangunan situs tempat wisata ini. Menjelang pintu keluar sudah ada antrian untuk berfoto dengan pakaian khas kebesaran Turki, bisa untuk berfoto sendirian atau keluarga.
Tujuan situs hari selanjutnya Istana Topkapi yang merupakan kediaman para sultan Usmani. Antrean yang mengular sempat membuat kami agak putus asa, baiknya untuk mengunjungi situs secara efektif dan menyenangkan membeli tiket satu paket kunjungan semua lokasi sehingga tidak antri berganda: antre beli tiket dan antre masuk. Setelah antre cukup lama yang ditemani hujan rintik-rintik, kami bisa memasuki Istana Topkapi dengan pemeriksaan dan pemantauan yang ketat, terutama ketika memasuki ruangan yang berisikan benda-benda peninggalan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Di ruangan ini kita bisa melihat pakaian, pedang, bejana sampai rambut dan jenggot Nabi Muhammad SAW namun jangankan difoto, berbisik saja sudah ditegur petugas. Di ruangan paling diawasi ini, terdapat Qari yang melantunkan ayat-ayat Al-Quran selama 24 jam secara bergantian sehingga menambah suasana syahdu dan khusu’.
Menyusuri bagian kedua arah ke kiri, terdapat bangunan yang terkenal dengan sebutan Tower of Justice. Di bawah Tower of Justice, ada pintu masuk Harem. Kita bisa menikmati keindahan beraneka mosaik dan ubin berwarna cerah memikat. Semakin jauh menyusuri lorong-lorong, semakin nampak keindahannya, semua detail emas, penggunaan warna, jendela kaca patri, teks-teks Alquran di atas bebatuan marmer dan emas semuanya nampak luar biasa. Lokasi memikat selanjutnya adalah kamar Putra Mahkota dan Imperial Hall, di mana Tahta Sultan disimpan. Ada juga ruangan khusus, Sultan Murad III yang juga tak kalah indahnya dilengkapi dengan air mancur sehingga menghadirkan suara air mengalir dalam kaskade.
ADVERTISEMENT
Untuk melihat miniatur denyut nadi ekonomi, perjalanan dilanjutkan ke Grand Bazaar, sekaligus mencicipi hidangan santap siang. Usai makan siang, kami mengunjungi panorama dan mesjid yang mengkombinasikan arsitektur Islam dan Byzantium yang terletak di bukit, Masjid Raya Sulaymaniah. Sorenya kami menuju selat Bosphorus yang memisahkan Turki bagian Eropa dan Turki bagian Asia. Tepat di bawah jembatan Galata, kami makan malam bersama sekaligus menikmati indahnya panorama di selat bosphorus.
[***]
*Penulis merupakan anggota James Coleman Associations, menyelesaikan PhD di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda dan Executive Education di Harvard University, Amerika Serikat.