Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
SELAMETAN PUSER BUMI
23 Maret 2019 11:53 WIB
Tulisan dari Tati Suherman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ribuan Warga Magelang Gelar Umbul Donga di Puncak Tidar
MAGELANG - Berbagai upaya terus dilakukan masyarakat untuk merawat keutuhan bangsa di tengah friksi-friksi perbedaan yang kian meruncing menjelang Pemilu 2019. Setelah terselenggara di sejumlah daerah, kini warga Magelang bakal menggelar Selametan Puser Bumi Merawat NKRI Menjaga Indonesia, Minggu (24/3) di Puncak Bukit Tidar.
ADVERTISEMENT
Arianto, Kepala Desa Jambewangi, Pakis, Kabupaten Magelang mengatakan acara ini berkonsep kenduri, sebuah doa bersama warga desa diakhiri makan bersama.
"Gagasan selametan ini sebenarnya sudah lama diperbincangkan. Kami warga Magelang mendengar apa yang dilakukan warga di Solo dan Pati awal Maret lalu. Ndilalah warga Magelang juga punya keprihatinan yang sama mengenai situasi politik akhir-akhir ini. Kami kesetrum dengan spirit itu dan semakin gumregah setelah pak gubernur Ganjar menggelar Apel Kebangsaan Kita Merah Putih di Semarang kemarin," kata Arianto, Jumat (22/3).
Selametan Puser Bumi di Puncak Bukit Tidar ini bakal dilaksanakan pada hari Minggu, 24 Maret 2019 mulai pukul 14.00 WIB. Setiap desa akan membawa tumpeng sendiri sehingga jumlahnya mencapai 364 tumpeng dan mengusung 21 gunungan.
ADVERTISEMENT
"21 gunungan itu representasi dari 21 kecamatan di kabupaten Magelang. Untuk peserta nanti masing-masing desa akan mengajak 10 orang warganya. Jika ada 364 desa di wilayah Kabupaten Magelang maka akan berkumpul setidaknya 3,600 orang," katanya.
Selain itu, akan ada prosesi Umbul Donga. Setiap warga yang hadir akan menuliskan doa dan pengharapannya untuk Indonesia di secarik kertas. Kertas-kertas doa itu akan ditempelkan pada instalasi dari bambu. Selanjutnya, instalasi itu akan dibakar atau dilarung bersama api dan angin agar naik ke langit, menyatu dengan semesta.
Melalui prosesi ini diyakini bahwa seluruh doa bisa menembus dimensi nubuwah, malakut atau bahkan dimensi ilahiah. Dengan demikian, insyaa Allah doa manusia, dikabulkan.
Arianto menjelaskan, baik persiapan hingga pendanaan acara disengkuyung bersama warga desa. “Semua hal dibicarakan bersama secara terbuka, siapa melakukan apa, dan bahwa ini adalah dari kita oleh kita dan untuk kita,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Arianto tidak sepakat jika Kenduri ini disebut sebagai upaya politis terkait pelaksanaan Pilpres maupun Pileg mendatang. Makanya dia mewanti-wanti warga yang hadir dilarang keras membawa atribut partai maupun salah satu pasangan calon presiden.
"Kami tidak ingin terjebak pada arus politik praktis. Tidak ada atribut partai maupun Paslon presiden, yang ada adalah atribut kebudayaan, pakaian-pakaian adat Jawa, representasi dari laku politik berbangsa yang mengedepankan kebudayaan," katanya.
Ari Sujito, Sosiolog Universitas Gadjahmada Yogyakarta menambahkan, kenduri atau doa bersama adalah wujud kepedulian warga terhadap situasi berbangsa dan bernegara melalui tradisi lokal masing-masing. Kegiatan serupa sudah berlangsung di Solo, Pati, Grobogan, Karanganyar, Blora, Kendal, Temanggung, Klaten juga masyarakat di lingkungan Candi Cetho, bahkan Bojonegoro dan Gresik di Jawa Timur, sebagai rangkaian Kenduri Nusantara 2019.
ADVERTISEMENT
"Ini merupakan perjuangan masyarakat di tengah kemerdekaan, yang dihadapkan pada kondisi politik yang semakin diciutkan menjadi sekadar kalah – menang. Suara yang digalang dan diperebutkan bukan lagi sebagai aspirasi apalagi mandat rakyat. Manusia Indonesia dipandang hanya sebagai angka-angka, bukan sekelompok manusia yang berbudaya," katanya.
Hal senada disampaikan oleh Bambang Paningron, budayawan dari Yogyakarta. Paningron mengatakan bahwa perjuangan melawan gerakan penyempitan makna politik ini memang berat dan sangat mahal. Bangsa ini, menurut Paningron sudah banjir politikus partai politik dan miskin politisi kebudayaan. Tidak mengherankan jika yang diperjuangkan adalah sekadar kekuasaan bukan eksistensi bangsa atau negara secara utuh. Celakanya, jika ada politisi parpol yang mencoba mengambil jalur politik kebudayaan, bukannya didukung penuh tapi justru jadi bahan cibiran. Dia lantas mencontohkan langkah yang diambil Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
ADVERTISEMENT
"Ganjar mencoba mengambil jalur itu, dengan membuat kegiatan Apel Kebangsaan kemarin, yang menjadikan kebudayaan sebagai laku politis. Ya karena memang itu satu-satunya jalur politik yang manusiawi. Sama dengan Kenduri Nusantara yang merupakan strategi kebudayaan, jika kami melalui pendekatan kultural, Ganjar melakukannya dengan pendekatan teknokratis. Tapi tujuannya sama. Impact-nya memang baru bisa dilihat dan dirasakan nanti tidak sekarang. Karena kebudayaan bicaranya soal eksistensi bangsa bukan keuntungan pribadi," katanya.
Kenduri Nusantara ini memang jadi sebuah narasi untuk melawan perongrong keutuhan bangsa yang saat ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Menurut Paningron diperlukan upaya untuk setidaknya mendinginkan suasana. Salahsatunya adalah dengan mengembalikan dimensi manusia yang juga adalah manusia berbudaya.
"Segenap bangsa Indonesia perlu mengingat kembali betapa kaya dan besarnya negeri kita. Juga betapa beragamnya cara bangsa Indonesia mensyukuri karunia itu. Inilah saatnya menata kembali ruang sosial kita, membuka sekat-sekat, membersihkan kembali saluran-saluran kotor, dan menyiraminya dengan nafas kesejukan. Demi cinta bangsa Indonesia. Saya berharap saudara-saudara kita di seluruh pelosok negeri, perlu melakukan hal serupa, mencintai negeri dengan budaya yang dimiliki," katanya.(*)
ADVERTISEMENT