Cerita Dari Hong Kong : Uang Jin Dimakan Setan

Tati Tia Surati
Buruh Migran di Hong Kong
Konten dari Pengguna
8 Mei 2018 11:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tati Tia Surati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ketekurr, kurr, kurrrrrrrrrr...
srekk, srekk, sreekkksssssttttssstttt....
dukkk dukkk dukkkkkkkk
ADVERTISEMENT
Bunyi burung Perkutut yang hinggap diatas tempat AC yang terbuat dari baham seng di luar jendela kamarku memaksaku untuk membuka mata, dan bangun dari tidur mimpi indahku, sambil sesekali merenggangkan tangan ke samping kanan dan kiri, kemudian menguap panjang, huamzzzzz.
Perlahan aku sibak kain korden penutup jendela dan ku biarkan saja kain putih itu bergerak-gerak karena tertiup angin. Di Luar jendela, ternyata ada beberapa ekor burung perkutut, ku lihat mereka sedang asik saling beradu mulut dengan pasangannya dan sibuk berebut makanan yang mereka bawa.
Sinar matahari yang memantul lewat kaca jendela menyilaukan mata, ini menandakan bahwa hari sudah bukan subuh lagi, tapi sudah waktunya untukku turun dari ranjang empuk, segera membersihkan diri di toilet dan memulai aktifitasku sebagai Babu Cino Asli alias Pekerja Rumah Tangga.
ADVERTISEMENT
Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi, aku berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan menyedu kopi instan. Setelah selesai sarapan, aku membuatkan segelas minuman biji Chia untuk memperlancar pencernaan Nenek yang aku rawat karena dia susah untuk Buang Air Besar bila tidak cukup serat.
Selain menyiapkan minuman segar dan obat diabetes Nenek, tugas rutinku dipagi hari adalah harus membangunkan Tuan Putri untuk siap-siap berangkat ke tempat kerjanya dan aku juga bantu dia menyiapkan sarapan serta bekal makan siangnya.
Hari ini menu makan siang Tuan Putri, Menantu sang Nenek yang reseh itu adalah nasi goreng jahe daging Kepiting ditambah Tim Ayam bumbu kecap, serta buah-buahan segar yang sudah aku siapkan di dalam wadah cantik miliknya. Aku katakan Sang menantu itu reseh karena sikapnya yang intoleran dengan Buruh Migran dan selalu bersikap tidak sopan kepada Mertuanya, si Nenek yang aku rawat.
ADVERTISEMENT
Pukul 12 siang waktu Hong Kong, Tuan Putri itu melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah dan seperti biasa dia selalu menyuruhku untuk mengunci pintu, membereskan meja makan, membersihan toilet yang berantakan olehnya dan mencuci perkakas dapur bekas masak bekal kantornya tadi itu.
Setelah Tuan Putri pergi, rasanya plong, mau ngapain saja tidak ada yang mengganggu karena tidak banyak kerjaan, apalagi si Nenek masih tiduran. Aku bisa duduk santai di ruang tamu, sambil baca buku, menulis atau sekedar main facebook di HP androidku, pemberian dari anak ke Enam Nenek yang kerja di Kantor Post.
Ketika sedang fokus membaca artikel di sebuah laman berita tentang Buruh Migran Indonesia di Arab Saudi yang tiba-tiba pulang ke Tanah Air setelah puluhan tahun menghilang tiada kabar, tiba-tiba aku teringat akan sahabatku, ketika aku dulu kerja di kawasan Consoltation Clove- Taipo, New Teroteris Hong Kong, yang bernamanya Zen (nama panggilan).
ADVERTISEMENT
Zen itu adalah salah satu sahabat baikku ketika pertama kali aku berada di Hong Kong. Zen itu orangnya cantik, supel, dan berasal dari Batu, Malang-Jawa Timur. Dia bekerja di Hong Kong sudah cukup lama dan tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di Indonesia setelah kontrak pertamanya usai.
Dulu, Zen kerap kali bercerita tentang kisah hidupnya yang pahit, dan memilukan hati kepadaku. Kata Zen, setelah kontrak pertama berakhir dia tidak pernah lagi bisa mendengar kabar dari keluarganya di kampung karena malu. Orang tuanya sudah tahu kalau Zen banyak sekali mengalami masalah keuangan di Hong Kong.
Di kontrak pertama Zen bekerja di kawasan Pok fulam Hong Kong, selama dua tahun Zen digaji dibawah standar upah minimum Hong Kong. Dulu Zen hanya digaji HKD 2500 per bulan dan potongan agen tetap sama dengan mereka yang memiliki gaji full sesuai standar upah di Hong Kong yaitu tujuh bulan.
ADVERTISEMENT
Dimasa kontrak pertama Zen, tidak bisa menabung karena uang yang dia dapatkan selalu dikirim ke keluarga dan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri di Hong Kong karena punya majikan yang super duper pelit dengan makanan. Kata Zen kontrak kelar, uang pun habis. Lalu, karena ingin sekali membahagiakan orang tua, akhirnya Zen mencari pekerjaan baru dan tidak segera kembali ke tanah air demi irit uang tiket.
Uang tiket yang Zen dapat dikirim ke Kakak kandungnya agar diserahkan ke Ibu dan buat jajan keponakannya. Di majikan ke dua, Zen pikir nasibnya akan lebih baik, tapi nyatanya dia dipermainkan oleh agen, hingga dia terpaksa harus berutang kepada teman ataupun kepada tetangga kampungnya yang sama-sama berada di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Untuk menutup utang-utangnya Zen gali lobang tutup lobang dan terpaksa juga utang ke Publik Financial di Hong Kong dan menjadi saksi dari temannya yang ternyata kabur tak bertanggungjawab. Sudah jatuh tertimpa tangga pula itulah yang menggambarkan nasib Zen saat itu.
Gara-gara menjadi saksi yang harus bertanggungjawab atas uang yang dibawa kabur temannya itu Zen tergiur uang anakan yang ditawarkan oleh renterner dari komplotan sesama BMI dengan menggadaikan pasportnya.
Jika Zen tidak mampu membayar uang anakan itu, maka bunganya akan semakin bertambah dan tinggi sehingga kerap kali Zen kebingungan cari pinjaman kesana kemari demi menutup bunga pinjaman dari renterner itu.
Di Taipo ini, rumah majikan Zen dan majikanku bersebelahan sehingga kalau Zen sedang dimarahin majikan karena ngerusakin barang, aku pasti mendengar triakan majikannya itu dan demikian juga sebaliknya Zen pasti juga sering mendengar majikanku ngomel-ngomel kepadaku.
ADVERTISEMENT
Menurut Cerita Zennya sendiri, Ia kerap kali merusakan barang milik majikannya, mungkin sebulan bisa dua atau tiga kali padahal sudah berusaha kerja dengan hati-hati tapi tetap ada saja barang yang rusak dan majikan selalu minta ganti. Meski ada aturan terkait pemotongan gaji karena ngerusakin barang dan majikan selalu mengambil melebihi ukuran, tapi zen tidak berani minta surat bukti dan tidak berani melapor ke Labour.
Aku jarang berkomunikasi dengan zen sejak aku pindah majikan di Taikoo dan mulai aktif berorganisasi. Lalu, Zen juga pindah majikan di kawasan Tae Mei Tuk, Taipo dan hanya sesekali saja mendengar kabar tentangnya dari tetangga dan sahabatnya Si Dian yang hampir setiap minggu aku jumpai di Terminal Bis, Tin Hau.
ADVERTISEMENT
Kata Dian, kalau Ia melihat Zen itu rasanya kasihan banget apalagi dia paling dekat dengan keluarga zen di tanah air. Zen terlilit banyak utang di Hong Kong karena kecerobohannya sendiri. Padahal, kata Dian keluarga di Kampung sudah bantu jual sawah untuk melunasi utangnya, tapi Zen tetep bersikeras tidak mau pulang.
"Bapaknya Zen itu marah banget dan ngancam mau bunuh dia kalau tidak mau pula. Zen itu tidak tahu kalau Ibunya sakit keras dan mungkin tidak tahu kalau Ibunya sering masuk rumah sakit karena kepikiran dirinya. Bahkan mungkin Zen tidak sadar kalau Ibunya kini telah tiada, dia tetap masih di Hong Kong dan aku tidak tega kasih tahu dia langsung. Biarlah Zen tahu dengan sendirinya," tutur Dian seraya menghapus air mata yang menetes di pipinya.
ADVERTISEMENT
Setelah bertemu dengan Dian, aku berusaha menghubungi Zen melalui sambungan telephone dan Facebooknya. Aku ceritakan semua yang aku dengar dari Dian dan Zen pun nangis dan izin kepadaku untuk pergi melaksanakan kewajiban salat dan berjanji menghubungiku setelah selesai.
Di Sore harinya Zen menghubungiku dan menceritakan apa saja yang ada di hati dan pikirannya. Ternyata sebenarnya kata Zen, Ia sudah tahu kalau Ibu telah tiada berdasarkan feelingnya karena Ibunya kerap hadir dalam mimpinya dengan pakaian serba putih.
"Aku sudah menghubungi kakak dan mbakku yang ada di Surabaya. Setiap aku tanya kondisi Ibu, jawaban kedua kakakku itu cuma bilang kalau Ibu keadaannya sudah sangat baik dan setiap aku ingin ngobrol sama Ibu mereka selalu menghindar dengan banyak alasan. Kata mereka Ibu lagi tidur, susah banguninnya karena sudah nyenyak dan lain-lain. Walaupun aku mohon- mohon sampai nangis, tapi tetap saja mereka diam dan malah menutup telephone," cerita zen kepadaku.
ADVERTISEMENT
Zen juga bercerita kalau Ibunya kerap hadir dimimpi. Di dalam Mimpinya itu Zen melihat Ibunya tersenyum bahagia, berpakaian putih dan memintanya untuk selalu berdoa untuknya dan berpesan agar zen tidak usah mengkhawatirkan Ibunya lagi.
"Ibu tidak mau emas intan permata tapi maunya kamu tenang Nduk, anak bontotku. Doa dan tengoklah Ibu ya Nduk, kamu itu anak kesayangan Ibu dan jangan cemasin Ibu, jaga baik-baik dirimu dan Ibu menghilang dengan melambaikan tangannya. Sejak saat Itu aku mulai Salat dan kirim Alfatehah untuk Ibu. Engkok kastah kaelangan Embhu'. Bahkan pas embhuk pegghe' napas engkok tak ekaberin. Kastas ongghu eomorrah, polan oreng se terro e ephunga, malah ring-gerringan polan ngiding kabher jeng anak'en tak na-genna. Engkok bejik ke tang tetanggeh se aberrik kaber jubek ke tang Ebhok. Bahwa engkok alakoh majer otang ke rentenir, " sesalnya.
ADVERTISEMENT
Diakhir telephonenya Zen mengatakan kepadaku kalau dia sudah siap kembali ke tanah air untuk menengok pusara Ibunya dan kemungkinan akan menikah dengan orang Ponorogo, seorang pria TKI dari Jepang yang selama ini selalu menemaninya dalam suka maupun duka. Aku juga mengucapkan selamat atas keputusannya, tak pernah aku sangka sebelumnya kalau zen sudah begitu sangat siap menata masa depannya di Tanah Air.
Sebelum tidur aku sempat melamun dan bergumam pada diri sendiri. Kapan ya aku nikah? kekasih yang aku harapkan sudah aku putuskan di malam lamarannya karena terhalang restu orang tuaku dan kini dia akan menikahi sahabatku sendiri, ngenes sekali. Tiba-tiba laptop hitamku jatuh dari atas ranjang tingkat dan hang.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialami Zen, aku jadikan pelajaran untuk diriku sendiri agar hati-hati dalam pergaulan dan menjaga pasport dengan baik. Pasport sebagai data diri adalah nyawa Buruh Migran di Luar Negeri. Kalau sudah berani menggadaikan pasport dan tergiur uang riba apapun alasannya itu sudah sangat melanggar hukum negara dan hukum agama.
"Pasport adalah Nyawa Kita, jadi jangan pernah pertaruhkan nyawa kita untuk hal yang tidak baik dan bila di pertaruhkan maka akan hilanglah nyawa itu. Bila sudah hilang, siapa yang peduli dengan nasib kita? tertipu teman karena meminjamkan data diri adalah kesalahan yang fatal dan jangan sampai kejadian seperti itu terus berulang. Hati-hati dengan teman yang seperti itu, jauhilah mereka yang berniat jahat dengan memanfaatkan rasa Iba," itulah pesan yang aku dan teman organisasiku selipkan ketika sedang bersosialisasi tentang aturan hukum perburuhan di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Sering kali menangani kasus gali lobang tutup lobang dengan uang anakan dari renterner membuat kupingku panas dan disela sela jam kerjaku, aku tulis kejadian-kejadian itu melalui laman facebookku pribadi dan sempat ada salah seorang teman asal Banjarnegara-Jawa Tengah, berkomentar dan menceritakan pengalaman hidupnya sebagai pelaku renten dikalangan BMI Hong Kong.
Sebut saja namanya Mami (nama samaran) wanita paruh baya ini tak sungkan untuk berbagi kepadaku, kisah mengapa dia berani menjadi maklar uang anakan atau seorang renterner yang akhirnya mendapat hidayah dari Alloh SWT.
Berdasarkan cerita mami, awal mula Ia menjadi renterner adalah karena dia dulunya pernah menjadi salah satu orang yang meminjam dana dari renterner lain karena kebutuhan darurat untuk menghidupi keluarganya di Kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Punya suami seorang TNI angkatan Darat yang tidak bertanggungjawab, dan kasar memaksanya kabur dari rumah dan pergi ke luar negeri demi menghidupi kedua buah hatinya yang semakin hari semakin bertambah dewasa dan butuh biaya banyak untuk bersekolah.
Ketika menjadi maklar uang anakan Mami berada di Hong Kong sudah puluhan tahun dan awal mula ke Hong Kong Ia masih dalam masa potongan sehingga kebingungan dalam membagi keuangan untuk menafkahi buah hatinya. Sudah berusaha meminjam kesana kemari tapi tidak ada yang mau percaya untuk memberi pinjaman. Kemudian Mami mendapat informasi kalau ada orang sesama BMI meminjamkan uang anakan, dan terpaksalah hal itu dia lakukan demi anak-anak tercinta agar tidak kelaparan dengan perjanjian tiap bulan bunganya bisa bertambah kalau dia tak sanggup bayar.
ADVERTISEMENT
Melihat rentener itu dengan mudahnya meminjamkan uang dengan jaminan pasport dan menerima setor bunga tiap bulan diluar uang pinjaman pokok peminjamnya akhirnya hal tersebut memotivasi dirinya untuk melakukan hal yang sama.
"Saya akui mbak ilmu agama saya itu nol banget dan pendidikan saya juga rendah. Setelah mengurus perceraian dengan suami akhirnya aku terjun jadi renterner, awalnya modalku kecil karena hanya dari gaji bulanan saja yang aku pinjamkan ke teman-teman terdekat dan lama kelaman modalku semakin besar karena aku tidak pernah memakai uang gajianku itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. kebutuhan keluarga cukup dari uang anakan yang aku dapat dari para peminjam," kata Mami melalui inbok.
Mami juga bercerita segala kebutuhan anak-anaknya terpenuhi. Apa saja yang anaknya minta selalu Mami berikan. Setiap bulannya hampir empat atau lima kali perbulan bisa kirim hingga puluhan juta hasil dari ngerenten itu. Sikap Mami yang tadinya lembut keibuan, sejak jadi renterner malah jadi kasar dan tidak pernah sama sekali ibadah ataupun sedekah.
ADVERTISEMENT
"Kalau ada orang lewat minta sedekah. Aku bisa tersenyum sinis dan bila peminjam tidak tepat waktu dalam melunasi utangnya, aku bisa kasar dan mengancam mereka dengan meneror rumah majikannya sehingga si peminjam ini takut dan tidak berani lagi. Aku juga boro-boro bisa nangis kalau denger orang sedang berdoa. Denger suara adzan aja aku bisa tertawa berisik dan gak punya toleransi, hatiku keras bagaikan batu. Uang bikin orang jadi bisa gila," kata Mami.
Keesokkan harinya, aku ditugasi Nenek untuk mengantar makanan ke Mei foo. Saat kereta yang membawaku itu melaju kencang, aku duduk manis sambil iseng membuka pesan suara dari si Mami
Dalam pesan suara yang masuk ke Handphoneku, Mami melanjutkan ceritanya tentang kisah mengapa Ia bisa hijrah kembali ke jalan Alloh.
ADVERTISEMENT
"Aku bisa hijrah saat aku sakit parah, masuk rumah sakit karena kepalaku rasanya mau pecah, tensi darah selalu tinggi bawaanya emosi, makan dan tidur pun tidak bisa. Uang yang aku kirimkan ke tanah air selalu habis tak berbekas. Aku kadang berpikir apa ini azab seorang renterner, harta yang dihasilkan adalah uang panas, tidak barokah dan jadi bebal sampai-sampai aku sakit saja tidak ada yang mau menjenguk padahal ketika aku punya uang semua temen mendekatiku. Kemudian barulah aku teringat Alloh disaat aku kritis itu," paparnya.
Mami juga berceritanya tentang kondisi kesehatannya dan keluarganya.
"Aku inget Alloh saat sakit dan ketika aku sakit antara sadar dan tidak aku lihat ada orang-orang berpakaian hitam menarik-narik dengan kasar dan memaksaku ikut dengannya. Aku bisa lepas dari orang orang itu karena aku melihat setitik cahaya dari ruangan yang gelap gulita.Tiba-tiba saja ada suster yang membangunkanku dan membantuku minum obat. Ternyata di kampung anakku mengadakan pengajian untuk mendoakan kesembuhanku dengan mengundang anak-anak yatim," kata Mami.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari setelah di rawat di Rumah Sakit Queen Elisabeth, kondisi kesehatan Mami semakin membaik dan setelah sembuh dari sakit Mami mulai rajin ibadah , meninggalkan dunia renten dan aktif menghadiri pengajian yang diadakan oleh berbagai organisasi Muslim di Hong Kong.
"Aku yakin Alloh masih sayang dan menerima taubatku. Aku sujud syukur dan mulai hidup baru. Aku tinggalkan dunia kelam itu, dan Alhamdulilah doa dari anak-anakku selalu menguatkanku. Meski hidup sederhana tapi rasanya bahagia tiada terkira. Harapan Mami adalah tidak ada orang yang mengikuti jejak kelamku itu. Sungguh hamba malu kepadamu ya Rabb, maafkan hamba yang pernah kufur nikmat ini, amin." pungkas Mami.
Ting tuuuung, the next Station is Lai Chi Kok. Mendengar pengumuman speaker dari kereta bawah tanah Mass Realway Transit, aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju depan pintu kereta yang terbuka. Ternyata satu station lagi aku nyampai Mei foo dan kembali ke peran utamaku sebagai aktris Buruh Migran.
ADVERTISEMENT
Hidup ini bagaikan roler coster dan ceramah pengajian dari Ustaz dan Ustazah yang sering aku dengar ternyata benar. Banyak uang itu percuma bila tidak di dapat dengan cara yang halal ibarat kata Uang Jin dimakan setan, tidak akan berkah. Sedangkan Hidup itu Indah bila mencari berkah. (Tati Tia Surati)