Pilkada 2020, Pemilih Rasional di Tengah Krisis

Taufan Abadi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mitra PJKAKI KPK, Peneliti Lembaga Pengembangan Wilayah NTB, mitra program Unicef - LPA NTB, AIPJ2-TAF-LPA NTB, tim riset dan publikasi Relawan Sahabat Anak, Editor Jurnal Jatiswara dan Jurnal IUS.
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2020 5:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufan Abadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
ADVERTISEMENT
Pada 9 Desember 2020 mendatang, dengan segala kelelahan dan energi yang terkuras di tengah bayang-bayang COVID-19, kita akan dihadapkan kembali dengan pesta demokrasi untuk pemilihan kepala daerah (pilkada).
ADVERTISEMENT
Total daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Hegemoni
Berbagai rangkaian telah dimulai kembali pada September lalu, setelah sempat mengalami penundaan akibat pandemi Covid-19. Para calon kepala daerah mulai menampilkan diri dan menebar pesona diberbagai media. Gambar-gambar raksasa terpampang sepanjang jalan, dihiasi beberapa baris kata manis, pun tidak lupa merelakan jiwa raga beratraksi dalam keramaian.
Tidak ketinggalan, pasukan di bawah panggung mulai beraksi, ucapkan puja puji, caci maki juga membuka selubung. Perang hegemoni tak terelakan, narasi mengambil posisi. Barangkali, embrio pemikiran Antonio Gramsci ada benarnya bahwa, “ide-ide yang dibungkus dengan bahasa menjadi penting dalam pertarungan kekuasaan”.
ADVERTISEMENT
Obama, mungkin adalah contoh sosok yang memainkan peran bahasa dalam pertarungan kekuasaan, yang kemudian tercermin pula dalam kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada dua periode. Jika memperhatikan artikel Paul R. Baines, Phil Harris dan Barbara R. Lewis (2002) juga uraian dalam buku Firmanzah (2007), pengunaan konsep political marketing bisa menjadi kunci kedua sosok tersebut memenangkan pertarungan.
Di Indonesia, tidak hanya Jokowi, namun tercermin pula pada partai dan para calonnya, sebut saja PDI-P, Gerindra, PKS, Nasdem, Demokrat dan tentu saja PSI. Kemudian calon gubernur, bupati/wali kota, misalnya Anis Baswedan yang mengusung tema, “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” juga Gubernur NTB dengan, “NTB Gemilang”. Semua itu menunjukkan kekuatan bahasa yang sedikit tidak mempengaruhi atau membangun persepsi publik.
ADVERTISEMENT
Masyarakat, tidak tahu menahu soal strategi petarung, bahasa atau political marketing. Masyarakat akan kembali terpukau dengan penuh harap, sebagiannya mungkin mengulum rasa pahit hingga meluah, disesaki janji-janji yang tak kunjung tunai. Namun, memilih adalah hak dan kewajiban untuk diakui sebagai warga negara yang baik, patuh dan taat terhadap hukum serta sebagai wujud cinta tanah tumpah darah. Memilih adalah menitipkan cita kesejahteraan dan keberlanjutan manusia dan alam.
Tidak berlebihan, Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika Serikat memberikan kiasan yang cukup menarik untuk direnungkan, “the ballot is stronger than the bullet”, surat suara lebih kuat dari peluru.
Hukum
Hukum, hadir untuk menengahi, mengatur tata cara bertarung yang baik dan benar juga menepis mereka yang terlibat. Pelaksanaan pilkada tidak lain untuk memenuhi tuntutan reformasi yang dituangkan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 (Konstitusi), bahwa pemilihan dilaksanakan secara demokratis.
ADVERTISEMENT
UU Pemilu dan UU Pilkada telah menerjemahkan konsep demokrasi, sebagaimana amanat Konstitusi, beberapa kali diubah, demi memenuhi standar demokratis, sembari mencari posisi di masa transisi. Diikuti berbagai ketentuan yang dirakit sedemikian rupa, memastikan saluran berfungsi dengan baik untuk menyebarkan vibrasi demokrasi.
Perangkat wasit dan pengawas dipersiapkan, adalah KPU dan Bawaslu. Jika terjadi pelanggaran, tersedia Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), sebagai pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana pemilu, berisi unsur Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan. Dilengkapi pula majelis khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Demokrasi
Juan Linz dalam Vleavages Ideologies and Party Systems menuliskan bahwa, “suatu sistem pemerintahan itu dapat disebut demokratis apabila ia memberi kesempatan konstitusional yang teratur bagi suatu persaingan damai dan jujur untuk memperoleh kekuasaan politik berbagai kelompok yang berbeda tanpa menyisihkan bagian penting dari penduduk melalui kekerasan”.
ADVERTISEMENT
Demokratis berarti rakyat berdaulat, menempatkannya sebagai titik koordinat. Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita menyatakan bahwa “sendi terbaik untuk membangun bangsa Indonesia adalah kedaulatan yang benar-benar ada di tangan rakyat”. Satu rahim dengan ungkapan Abraham Lincoln yang sangat populer, “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” keduanya menyimpan makna bahwa, rakyat memiliki kedaulatan, kekuasaan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang berorientasi “untuk rakyat”. Sebuah amanat yang tidak mudah untuk rakyat.
Matinya Demokrasi
Noreena Hertz dalam The Silent Takeover: Global Capitalism and The Death Of Democracy (2001) menggambarkan tentang kematian demokrasi. Kematian yang dimaksud tidak berarti bahwa sistem demokrasi itu telah mati, semua elemen demokrasi masih tetap ada, tetapi hanya merupakan kamuflase.
ADVERTISEMENT
Para pemimpin negara saat ini, menurut Noreena, memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk melayani pelaku bisnis global yang tidak memilihnya. Para pemimpin bersaing satu sama lain karena para investor hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. Para pemimpin negara tidak berbeda dari salesman atau makelar, menjajakan negaranya kepada investasi asing, dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan, lalu lintas mata uang yang bebas, pajak rendah, upah buruh yang murah, hukum lingkungan yang kompromis dan sebagainya.
Pemilih Rasional
Mencerna sekilas konsep demokrasi di atas, maka pemimpin yang terpilih dapatlah dikatakan sebagai representasi dari wajah rakyat. Wajarlah, demokrasi menuntut sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, guna menggairahkan pemilih yang rasional, tidak menyembah money politics atau tergiur bagi-bagi isi dapur. Dengan perhitungan, pemilih yang rasional dapat menentukan pemimpin yang berkualitas dan seluruh jiwa raganya untuk rakyat. Seperti perkataan Descrates, "rasional menjadikan manusia lebih manusiawi".
ADVERTISEMENT
SDM Indonesia
Untuk mengukur SDM secara kuantitatif, Global Talent Competitiveness Index (GTCI), melakukan pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia. Tahun 2019 lalu, di Asean, Singapura berada di posisi pertama dengan skor 77,27. Kedua ditempati Malaysia (58,62), Brunei Darussalam (49,91), Filipina (40,94), dan Thailand (38.62). Sementara, Indonesia berada di posisi ke enam dengan skor sebesar 38,61, unggul dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Hasil penghitungan Indeks Alibaca pada “Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi Tahun 2019”, memperlihatkan bahwa angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional masuk dalam kategori aktivitas literasi rendah, yaitu berada di angka 37,32. Nilai itu tersusun dari empat indeks dimensi, antara lain Indeks Dimensi Kecakapan sebesar 75,92; Indeks Dimensi Akses sebesar 23,09; Indeks Dimensi Alternatif sebesar 40,49; dan Indeks Dimensi Budaya sebesar 28,50.
ADVERTISEMENT
Dari empat dimensi yang menyumbang pada indeks tersebut terdapat satu dimensi yang cukup menonjol, yaitu dimensi kecakapan yang menunjukkan upaya pemerataan pendidikan sudah cukup baik. Dimensi lainnya yang cukup positif juga tampak pada Dimensi Alternatif, di mana masyarakat secara umum mulai memanfaatkan perangkat teknologi informasi, meskipun akses terhadap komputer dan internet masih perlu didorong lagi pemerataannya.
Berdasarkan data UNESCO pada 2016, indeks minat baca warga Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. World Most Literate Nations mencatat, tingkat literasi Indonesia ada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti, hanya satu tingkat di atas Botswana (61), dan persis berada di bawah Thailand.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) di tahun 2018 juga menunjukkan minat literasi yang kurang di Indonesia. Rangking yang diraih negara ini adalah 62 dari 70 negara yang disurvei.
ADVERTISEMENT
Kondisi SDM demikian, diperparah akibat pandemi Covid-19. Catatan Kementerian Ketenagakerjaan pada Agustus 2020 menunjukkan bahwa bekerja di Indonesia yang di rumahkan atau di PHK mencapai 3,5 juta orang. Jumlah tersebut menambah angka pengangguran terbuka di Tanah Air hingga mencapai 10,3 juta. Selain itu, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang publikasi bulan Agustus juga menyebut sekitar 29 juta warga Indonesia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada masa Covid-19.
Energi
Catatan demokrasi maupun SDM Indonesia di atas, tentu mencemaskan. Tetapi, juga kita kembali mengharap, di luar dari angka-angka statistik yang tidak berpihak, serta kondisi SDM akibat hantaman Covid-19, masyarakat mampu memilih pemimpinnya secara rasional.
Pemilih rasional, sekurang-kurangnya memiliki spirit menyelami visi dan misi para petarung. Visi dan misi yang kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), langkah, inovasi dan arah pengembangan wilayah selama 5 tahun masa kuasa, kemudian akan diikat dengan produk hukum peraturan daerah. Begitu pentingnya posisi RPJMD. Tanpa kejelasan visi dan misi, mustahil menyusun RPJMD yang akurat, juga mustahil mencapai cita-cita dan maksud dari pembangunan.
ADVERTISEMENT
Selain soal visi misi, pesan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt sebagaimana yang tercatat dalam How Democracies Die (2018), patutnya juga kita perhatikan, bahwa kematian demokrasi bukan hanya dengan cara-cara kekerasan (militeristik), ada kalanya, demokrasi mati justru dimulai dengan cara-cara yang demokratis. Hal demikian misal soal ketidakjujuran, money politcs, langkah-langkah yang nyaris tidak kasat mata dan sebagainya. Dengan kata lain, kemunduran atau bahkan kehancuran demokrasi, justru dimulai dari kotak suara. Untuk menghindari kehancuran demokrasi yang dimulai dari kotak suara tersebut, salah satu yang ditawarkan oleh Ziblatt dan Levitsky adalah mengidentifikasi calon-calon yang maju dalam kontestasi politik.
Pada akhirnya, pesan Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, bahwa “demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator”. Maka, tanggungjawab semua unsur dan partisipasi aktif rakyat dalam pilkada merupakan wujud gerak negara demokrasi. Rasionalitas pemilih juga mengandung makna kejujuran dan keadilan sebagai cerminan kualitas demokrasi, adalah jalan tempuh menemukan sosok yang bersenyawa dengan manusia dan alam.
ADVERTISEMENT