RAY BELU: MEMBANGUN DARI “DEPAN”

Taufik RIGO
@rigotaufik
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2018 22:58 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufik RIGO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
…… Kami ingin bisa jadi diplomat, Bapak, bisa kah kami orang Belu diterima menjadi diplomat RI...........
Begitu harapan umum para siswa, guru dan dosen di Kabupaten Belu – Nusa Tenggara Timur saat diplomat Indonesia melakukan pengabdian masyarakat dengan mengajar. Beberapa kelas di SD, SMP dan SMA serta perguruan tinggi menerima diplomat peserta diklat berjenjang tingkat madya, untuk berbagi insipirasi dan cerita di tanah sahabat: Ray adalah tanah, dan Belu bermakna sahabat.
ADVERTISEMENT
Berbakat dan bersemangat, inilah kesan paling kuat tentang para pelajar SMA Katolik Suria di Belu khususnya kelas XII Alam–1. Mengajar di sini, benar benar melihat sorot mata harapan dan cita cita.
Belu adalah wilayah perbatasan Indonesia dengan negara sahabat RDTL / Republik Demokratik Timor Leste (dulunya Timor Timur / Timtim, provinsi ke–27, provinsi termuda NKRI). Pemerintah menyebut wilayah perbatasan seperti Belu, sebagai wilayah pinggiran karena lokasinya di tepian negara jiran.
Kunjungan fihak luar untuk mengajar di kelas dirasakan sangat langka, apalagi buat pengajar dengan latar profesi diplomatik. Kegiatan diplomat mengajar yang menjadi bagian dari kurikulum pelayanan masyarakat, membuka mata bahwa profesi yang kami tekuni ini, ternyata masih perlu dijelaskan. Gambaran tentang profesi ini tidak seterang profesi lainnya, seperti dokter, insinyur, tentara, guru dan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Apa itu diplomat…. Bagaimana caranya agar bisa menjadi diplomat…. Apakah diplomat artinya bekerja di luar negeri….. Bagaimana kesan orang luar negeri tentang Indonesia” menjadi pertanyaan khas yang dilontarkan para pelajar. Tanggapan pun saya susun dalam rumus bangun sederhana, tentu contoh contoh praktis pekerjaan diplomatik membantu terangnya pemahaman para pelajar.
Usai mengajar, satu pesan dititipkan oleh Kepala Sekolah Romo Benyamin Seran: “Bisakah pemuda pemudi Belu diberi kesempatan menjadi diplomat…” Pertanyaan Romo Min, demikian beliau akrab dipanggil, tentunya –dapat kita duga-- juga disimpan oleh warga perbatasan NKRI lainnya di Kalimantan (Utara), Papua, atau Kepulauan Riau. Sayangnya, perguruan tinggi yang memadai untuk mengembangkan bakat dan harapan tersebut, belum terbangun di perbatasan. Kualifikasi akademik menjadi persoalan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Namun, bisa. Tentu saja bisa. Orang Belu bisa menjadi diplomat.
Diskriminasi positif, proyek afirmasi, yakni rekrutmen terukur yang dikhususkan untuk WNI dari wilayah perbatasan, perlu lebih serius lagi dipertimbangkan. Rasio proporsionalitasnya juga memerlukan kajian. Kategori kualifikasi akademiknya perlu bijaksana saat dipertimbangkan. Yang pasti, keuntungan merekrut mereka tidak dapat diragukan.
Gadis Belu (foto oleh Google)
ADVERTISEMENT
Suara dari perbatasan, adalah gambaran terbaik untuk memetakan semua soal yang dihadapi Indonesia dalam membahas dinamika perbatasan. Siapa lagi yang lebih menghayati suara perbatasan bila bukan orang yang berasal dan besar dari sana…. Dari Ray Belu: tanah para sahabat inilah, permenungan ini muncul.
Bukankah pejabat diplomatik seyogyanya diisi oleh mereka yang berasal dari kehidupan akar rumput. Mereka yang berlatar upbringing warga kebanyakan Indonesia, yang menapaki jenjang anak tangga sosial melalui belajar, yaa, sungguh sungguh belajar.
Bila kebijakan luar negeri adalah perpanjangan kebijakan dalam negeri, maka diplomasi Indonesia sepantasnya menggambarkan hal hal yang riel dialami masyarakat: diplomasi yang membumi. Para diplomat baiknya terdiri dari sekumpulan anak Indonesia kebanyakan yang sukses dalam belajar dan mengejar cita cita.
ADVERTISEMENT
Harini dengan mengajar di Belu, saya belajar tentang harapan dan cita cita para pelajar. Dia tidak boleh pupus oleh ketiadaan akses internet. Pelajar perlu membaca, setidaknya melalui akses elektronik: baik kepada buku elektronik, jurnal elektronik, ataupun sumber terbuka lainnya yang bermanfaat. Di perbatasan Belu, bukan hanya akses internet khususnya untuk sekolah yang terbatas, bahkan operator telekomunikasi pun hanya Telkomsel yang terkadang bisa beri sinyal.
Membangun prasarana pendidikan yang memadai perlu diutamakan, khususnya dengan dukungan penuh Pusat. Saya juga mencatat, betapa moratorium rekrutmen PNS / ASN perlu dikecualikan atas tenaga edukatif, selain tenaga medik. Guru yang memiliki kualifikasi mengajar yang cukup, sangat kurang, apalagi yang berstatus PNS. Dengan jumlah siswa didik hingga jenjang perguruan tinggi mencapai 70 ribu orang, di Belu, guru komite dibayar Rp.100 – 200 ribu per bulan…
ADVERTISEMENT
Bukan Pinggiran, namun Terdepan
Saya bilang: alih alih disebut daerah pinggiran, perbatasan sesungguhnya adalah daerah terdepan, daerah terluar yang harus diperhatikan lebih dari semuanya. Bukan pinggiran, bukan marjinal. Seluruh wilayah perbatasan adalah daerah terdepan dan sebagai daerah terdepan, wajib untuk ditata lebih serius, dimajukan dan dibangun lebih pesat lagi. Dibangun infrastruktur pendidikannya, dibangun generasi mudanya. Membangun bukan dari Pinggiran. Membangun itu dari Depan, dari tapal batas negeri.
Ibarat orang akan bertamu: memasuki daerah terdepan rasanya seperti memperhatikan pagar rumah, pekarangan dan ruang tamu…. Membangun infrastruktur jalan penting tentunya, namun tak kalah penting adalah membangun generasi, membangun sumberdaya manusianya.
Menyusuri jalan berliku usai mengajar, untuk menuju perbatasan Motaain ke titik PLBN (Pos Lintas Batas Negara), serasa memutar ulang rekaman sejarah lama saat saya pernah susuri arah sebaliknya dari Balibo ke Batugade menuju Atambua. Permenungan dari tanah sahabat, Ray Belu, bangkitkan jalan kenangan.
ADVERTISEMENT
Yaa, sejarah pada tahun 1999, saya adalah CPNS calon atase diplomatik, dan menerima dengan semangat patriotik perintah penugasan pertama guna menjadi pemantau resmi Pemri untuk Jajak Pendapat dalam kerangka Perundingan Tripartit di bawah naungan Sekjen PBB. Timtim menolak Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh Jakarta. Tiba tiba saja, Timtim menjadi negara sendiri, dan Motaain – Atambua menjadi perbatasan NKRI.
Sungguh, mengajar di Tanah Sahabat seperti menyemangati diri sendiri. Ray Belu, terima kasih: Obrigado !